Oleh : Muhammad Hidayat Djabbari*
Anarki bisa saja muncul dari sebutir benci atau sebongkah trauma, mengusik undang-undang dasar cinta, merongrong pancarindu dibibirku, dan aku gagal mengobarkan sumpah pemuda dibibirku
(Puisi Joko Pinorbo : Malam Rindu)
Disuatu malam pedalaman gunung di Sulawesi Selatan, aku tiba-tiba ditelpon oleh orang yang tak asing aku ceritakan dalam setiap tulisanku, seolah tak percaya dia masih mengigatku dan memesan waktu untuk berdiskusi lewat telpon.”Ini siapa ?” jawabku langsung setelah mendengar dering nada telpon Indonesia Raya di Hp-ku.
”Apa betul ini dengan tokoh dalam novel hebat Negeri Sang Pengolah ? jawabnya. Sontak aku heran tersipu malu, bertanya dalam hati,”Siapa orang yang tau judul novel fiktif Negeri Sang Pengolah itu ?” kataku dalam hati. Niany-pun langsung menyahut protes dengan sendirinya,”Oi, Kamu kok diam?” protesnya. Mendengar suara yang sedang protes itu, aku semakin mengenalinya,” ini kamu Niany ? tanyaku. ”Yaa Elah, iya ini aku”,jawabnya. ”Tumben kamu hubungi aku”, tanyaku. Niany-pun tertawa sambil mengejek,”Haha, eh novel fiktif itu kapan jadinya ?” tanya dia kepada saya.
Saya ingat kalau pernah aku menceritakan suatu novel dan buku berjudul Negeri Sang Pengolah kepada Niany saat masih kuliah dulu, yah novel itu memang fiktif bahkan sesorang teman ingin meminjamnya setelah aku sering post kata-kata by Negeri Sang Pengolah yang aku buat sendiri.
”Oh, Soal itu belum sempat aku tulis soalnya akhir-akhir ini aku punya banyak hal yang aku sudah rencanakan dengan baik dan matang kedepannya, bahkan aku tanggalkan kebiasaan lamaku untuk mengejar rencana itu”, jawabku. Niany-pun protes sekali lagi,”yah serius amat, kayaknya rencana penting agenda presiden aja ?” protesnya.
”Iya, itu sangat penting bagi saya, itu tentang rencana hidup dengan siapa aku hidup, dan cara apa yang harus aku lakukan hingga aku bisa sampai ketujuan itu, tapi sudahlah rencana itu sudah tak berarti lagi dan harapan itu sudah mengembil hilang lenyap atau sekedar mengambil jedah, namun soal itu mungkin dijeda ini aku bisa memiliki waktu untuk merampungkannya”, kataku pada Niany. ”Eh, ngomong-ngomong soal rencana, gimana rencanamu ? kamu jadi lanjut sekolah formal pasca di Universitas yang hampir swasta itu ?”, tanya Niany.
”Iya aku udah lanjut sekolah”, jawabku. Niany lalu menyanggah dengan penuh semangat,”yah ampun, setia betul kamu di universitas itu”, sanggahnya sambil ngegas. Langsung aku serang balik,”iya aku memang setia, seperti aku setia merawat cintaku yang pernah ada”, gombalku kepada Niany. Setalah itu kami berdua asik bercerita sesekali bernyanyi “Kesaksian” dan lagu bertemakan cinta dari Vannesa Angel dan Nicky Tirta yang berjudul Indah Cintaku, sesekali juga kami berpuisi karya Joko Pinorbo dan membahas novel Tere Liye dari “Pulang” hingga “Pergi”.
Asik rasanya berdiskusi seperti ini, membuat hati tak teriris oleh sepi, dan memulangkan rindu yang tak kunjung temu. Kira-kira seperti itulah rasanya, kami memang sering berdiskusi bersama tentang “Buku, Pesta dan Cinta” kala satu diantara kami dirintih sakit dan pusing yang tak berkesudahan, baik soal Negara, soal diri dan sesama sebaya saat mahasiswa dulu. Perbincangan aku dan Niany malam ini tentang kecintaan kami yang pada keresahan dan kegundahan, tentang carut-marutnya negera ini, hingga masa depan yang masih panjang dan garis akhir yang kami pandang.
Perbincangan itu diawali dengan resahnya Niany megungsikan diri #dirumahaja,”Jujur aku sudah bosan mengungsikan diri, rasanya ingin meledak tanpa berkumpul dan berdiskusi” ucap Niany dengan penuh jenuh. ”#dirumahaja ini membuat segalanya tidak pasti, dirumah lapar dan keluarpun rumah juga lebih bahaya, mungkin begini juga yah dampak ekonomi yang lahir dari kebijakan pemerintah tanpa karantina wilayah (Lock Down), semuanya serba tidak pasti”, lanjut Niany.
Pembahasanpun mulai agak berat-berat dengan keluhannya itu,”Nah, itulah dampak dari #dirumahaja dan tanpa Karantina Wilayah, malah yang ada itu kebijakan Darurat Sipil mirip-mirip dengan PTNBH, atau emang ada pulau di Indonesia ini yang sedang ingin mendirikan negara atau lagi membuat kerusuhan atau kita harus menghidupkan kembali Muh Natsir untuk memberikan Mosi Integral ?”, jawabku dengan mantap.
“Dibeberapa literature dan diskusi membahas tentang bagaimana dampak ekonomi antara Social Distancing (#Dirumahaja) dan Karantina Wilayah (#Lockdown) khususnya di Sulawesi Selatan, menurut analisis dan data dari Logov Celebes bahwa perkiraan pertumbuhan ekonomi 2020 di Sulsel tanpa Covid-19 itu sebanyak 6,60%. Jika kebijakan dalam penangan Covid-19 ini dilakukan dengan Social Distancing maka pertumbuhan ekonomi Sulsel 2020 sebesar 4,61% dengan alasan bahwa Social Distancing ini sulit untuk diprediksi ekoniminya disebabkan dari aktifitas yang boleh keluar dan dirumah aja.
Namun, jika dibandingkan dengan penanganan Covid-19 dengan kebijakan Karantina Wilayah, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Sulsel 2020 sebesar 5,05%, angka tersebut lebih tinggi pertumbuhan ekonimonya dibanding dengan kebijakan Social Distancing, dengan syarat di quartal 1,2 dan 3 itu akan mengalami penurunan laju ekonomi dan penangan Covid-19 selesai di quartal ke 3 sehingga dikuartal ke 4 untuk perbaikan ekonomi”, ucapku kepada Niany via telpon.
Namun, Niany menyanggah pendapatku,”tapi kan kalau pemberlakuan kebijakan karantina wilayah dalam penanganan Covid-19 itu sesuai dengan peraturan karantina wilayah bahwa pemerintah harus menggung kebutuhan masyarakat yang masuk dalam daerah yang dikarantina ?”, sanggah Niany. ”Iya betul dalam aturan tersebut dikatakab bahwa Negara wajib memenuhi kebutuhan masyarakat dan kebutuhan ternak mereka yang dalam wilayah karantina.
Soal kebutuhan yang ditanggung oleh Negara, seperti analisis dan data dari Logov Celebes bahwa dari kebijakan Karantina Wilayah yang diberlakukan, itu yang terdampak ekonominya disektor rumah tangga sebesar 9,8 Milyar yaitu kurang lebih sebanyak 809.000 orang dan disektor non rumah tangga itu sebesar 9,5 Milyar, jadi ada sekitar 19,2 Milyar jumlah kebutuhan yang harus dipenuhi. Sedangkan, di Sulsel sendiri berdasarkan hasil rapat badan anggaran di DPRD Sulsel dimana anggaran yang diberikan kepada pemerintah Sulsel dalam penanganan COVID-19 itu sebesar 500 Milyar yang bisa dicairkan dalam 2 tahap. Namun, analisis ini belum mencakup secara keseluruhan variable yang ada termasuk inflasi dll”, jawabku. “Iya sih”, kata Niany penuh cemas. “Tapi itu diSulsel, kita gak tau kenapa pemerintah pusat tidak mengambil kebijakan Karantina Wilayah”, Lanjut Niany penuh penasaran.
”Pemerintah pusat kewalahan dalam penangan kasus Covid-19 ini, dibeberapa permasalahan perencanaan belum bagus sehingga APBN kita tidak cukup untuk membiayai kebutuhan pada saat Karantina Wilayah, kemudian anggaran untuk pembangunan ibu kota baru masih dalam prioritas dibanding memprioritaskan orang-orang sebanyak 4.557 orang yang sudah menjadi korban dari keganasan Covid-19 ini,”ucapku.
“Selanjutnya malah pemerintah pusat seolah mendelegasikan kewenangan itu kepada Pemerintah Daerah karena ketidak mampuan membiayai kebutuhan masyarakan dan pemerintah belum fokus dalam penangan Covid-19 ini, buktinya OMNIBUSLAW masih dibahas, Pembuatan Perpu No.1 tahun 2020 yang tujuannya untuk mengamankan APBN, dan pemberlakukan PSBB (Pembatasan Social Berskala Besar) seperti di Jakarta yang perizinannya sangat berbelit-belit padahal orang sudah sekarat dirumah sakit, bahkan dibeberapa wilayah yang ingin mengajukan perizinan melakukan PSBB justru ditolak”, tambahku melangkapi jawaban sebelumnya.
Menjelang akhir diskusi malam kami berdua, kami berpikir bahwa dinegara ini ekonomi menjadi prioritas dibanding kemanusiaan, sesekali kami mengutip perkataan dari presiden Ghana,”Kami yakin perekonomian bisa dikembalikan tapi nyawa orang tidak bisa dikembalikan lagi”. Itulah kata yang menyanyat hati kami berdua, seolah diskusi ini akan menjadi “Sakit yang nyenyak dalam tidur” seperti puisi Joko Pinorbo.
Berdiskusi dengan Niany memang sangat mengasikkan membuat semua masalah bisa terabaikan, namun akan datang lagi bila sudah berakhir, seperti “Pulang dan Pergi” tentang pulang adalah cara bersyukur, berjuang dan bejalan bersama, namun ada kalanya pergi, yang hilang lenyap atau sekedar mengambil jedah, sungguh aku tak bisa berucap kata, hanya mengurung diri dalam ruang dan berjalan sendiri mengenang kegagalan juang.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Unhas.