Beranda Hukum Buku Sebagai Barang Bukti, Mengadili Pikiran dan Kemuduran Demokrasi

Buku Sebagai Barang Bukti, Mengadili Pikiran dan Kemuduran Demokrasi

0
Taufik Hidayat

Oleh : Taufik Hidayat*

Manusia adalah makhluk yang sempurna dengan penyerupaan tuhan namun bukan berarti menyerupai. Manusia merupakan gambaran ciptaan dari sang penciptanya. Dengan penyerupaan tuhan akan melihat sendiri dalam manusia itu, bahwa pengetahuan tentang manusia merupakan jalan pencerahan pengetahuan tentang tuhan, jalan panjang dalam mengenal tuhan. Melihat kemampuan manusia yang mampu bertahan dan menyesuaikan dengan segala perubahan yang ada, memberikan gambaran pengetahuan tentang tuhan dan kebesarannya. Mengenal dan memahami manusia dan ciptaan tuhan lainnya berarti jalan pencerahan pengetahuann tentang Tuhan. Memahami manusia dan ciptaan tuhan lainnya memperlihatkan adanya ketidaksebandingan.

Manusia dalam manifestasinya di anugrahi pikiran untuk membaca kehidupan baik tekstual maupun kontekstual. Begitu istimewanya manusia dengan keberadaannya. Manusia sebagai makhluk yang merdeka dalam hati dan pikirannya. Kemudian manusia yang satu bertemu dengan manusia lainnya, manusia yang bertemu itu bersepekat membentuk Negara dan manusia itu berspakat menyebut dirinya sebagai rakyat dengan dasar pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sebagai nilai utama dari penyelenggaraan bernegara yang disebut demokrasi kemudian dipertegas dalam konstitusi bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dengan melekat bersamanya hak untuk memajukan dirinya, menyatakan pikiran sesuai dengan hati nuraninya, kemerdekaan pikiran dalam Negara demokrasi adalah kebebasan yang tidak dapat diadili oleh Negara dengan alat-akat penegak hukumnya.

Akhir-akhir ini dunia pikiran sedang berkabum, Negara sudah mulai menjajah kemerdekaan pikiran rakyat yang sangat di jaga dan dirawat dalam Negara demokrasi. Negara yang seharusnnya menjaga kemerdekaan pikiran kemudian berbalik merobohkan bangunan demokrasi itu. Negara telah memunculkan narasi ketakutan kepada seluruh pecinta kebebasan berpikir. Maraknya razia buku, pembubaran lapak buku yang menyediakan tentang pikiran-pikiran PKI atau bacaan-bacaan tentang gerakan massa, bacaan yang mengkritisi Negara, Negara membangun narasi bahwa rakyat jangan membaca, jangan melakukan diskursus pikiran, Negara seakan-akan mengharapkan rakyatnya menjadi tidak berpikir, kemudian menjadikan buku sebagai barang bukti dalam tindak pidana.

Tindakan polisi yang menjadikan buku-buku kritis dengan semangat perlawanan sebagai barang bukti terhadap penangkapan terduga anarko di Kota Tangerang, para anggota anarko karena diduga melakukan aksi vandalisme dengan membuat coretan di dinding pertokoan yang bertuliskan “Sudah Krisis saatnya membakar”, “mau mati konyol atau melawan” yang dinilai ada nada ajakan untuk menciptakan kerusuhan. Tetapi sangat disayangkan buku-buku yang diduga menjadi bacaan pelaku di jadikan sebagai barang bukti atas tindakan vandalisme pelaku, dalam realitasnya dapat diuraikan bahwa tidak ada hubungan hukum antara tindakan dan buku-buku yang dibaca oleh pelaku. Buku merupakan ruanngnya diskursus, bukan arena diadili. Buku adalah Sumber ilmu pengetahuan, misalkan jika ada buku yang menjelaskan tentang atheisme, maka buku itu tidaklah dapat dipersalahkan jika orang yang membacanya menjadi atheis, kemudian jika ada buku yang menjelaskan tentang strategi gerakan massa, kemudian orang yang membaca buku itu melakukan gerakan massa untuk menjatuhkan pemerintahan, maka buku itu juga tidak dapat dipersalahkan. Karena pada hakikatnya manusia diberikan kemerdekaan berpikir, yang dibatasi adalah tindakannya, sementara buku adalah diskursus pembangunan pikiran, buku adalah tempatnya manusia mengambil pelajaran berpikir, pikiran dan tindakan haruslah dipisahkan dalam pandangan hukum. Kita bisa berpikir dalam pikiran untuk menghilankan Negara, selama itu masih dalam pikiran maka pikiran untuk menghilangkan Negara tidak dapat melahirkan akibat hukum, berbeda ketika telah diwujudkan dalam tindakan untuk menghilankan Negara maka dapat menimbulkan akibat hukum.

Sejumlah buku yang disita polisi sebagai barang bukti itu antara lain Massa Aksi oleh Tan Malaka; Corat-coret di Toilet oleh Eka Kurniawan; Indonesia dalam Krisis 1997-2002 oleh Tim Litbang Kompas; Pencerahan Tanpa Kegerahan oleh Aldentua Siringoringo; Ex Nihilo oleh Dwi Ira Mayasari; Love, Stargirl oleh Jerry Spinelli; Gali Lobang Gila Lobang oleh Remy Sylado; Goresan Cinta Sang Kupu-kupu oleh Fitri Carmelia Lutfiaty; Nasionalisme Islamisme dan Marxisme oleh Soekarno dan Christ the Lord: Out of Egypt karya Anne Rice (Tempo.co). Kemudian bagaimana dengan terorisme yang menjadikan Kitab Suci sebagai dasar pembenaran tindakannya, apakah kitab suci juga dapat dipersalahkan dalam hal ini? Tentu tidak. Jika logika berpikir yang dipakai seperti ini maka hancurlah Negara ini ketika tradisi berpikir pun dikuasai Negara.

Dari sudut pandang hukum terkait penetapan buku sebagai barang bukti dan dapat disita oleh polisi ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP yaitu:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Melihat unsur pasalnya untuk memenuhi dijadikan sebagai barang bukti alasan polisi yang kemudian menetapkan buku sebagai barang bukti dalam kejahatan yang di duga dilakukan oleh anggota anarko tidaklah dapat dibenarkan, karena pelaku dapat kita lihat buku digunakan sebagai suatu teks bukan sebagai fisik bendanya, kemudian tentulah tidak memenuhi penetapan buku itu sebagai barang bukti dalam tindakan oknum anarko berdasarkan pasal 39 ayat (1) KUHAP. Buku tidak dapat dipersalahkan, dengan alasan ketika dibaca kemudian dia bertindak berdasarkan buku itu. Jika salah memahami doktrin, bukan teksnya yang harus dipersalahkan, Melainkan tindakan orangnya yang harus dipersalahkan. Kecuali ada buku tebal digunakan untuk memukul orang kemudian orang itu meninggal, maka buku itu dapat dijadikan barang bukti karena fisiknya digunakan, berbeda dengan teks dalam buku itu tidak dapat dijadikan barang bukti dengan alasan karena mempengaruhi pikiran atau salah memahami doktrin dalam buku itu.

*)Penulis adalah Anggota Lembaga Literasi DPD KNPI Sul-Sel

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT