Beranda Kesehatan PSBB adalah Penanganan Bukan Pencegahan, Wilayah Belum PSBB?

PSBB adalah Penanganan Bukan Pencegahan, Wilayah Belum PSBB?

0
Taufik Hidayat

Oleh : Taufik Hidayat*

Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) adalah kebijakan yang telah dipilih presiden sebagai langkah untuk mengatasi pandemik COVID-19, walau pun langkah presiden tentunya menuai pro kontra di masyarakat, menilai kebijakan penguasa sebagai bagian dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, termasuk dalam kebijakan PSBB ini. Kendali utama dari kebijakan PSBB ini adalah kewenangan penuh presiden melalui menteri kesehatan. Sifat dari kebijkan PSBB tidak langsung diberikan melainkan harus meminta terlebih dahulu kepada sang menkes. Kita mengetahui bersama bahwa seluruh daerah provinsi di Indonesia tak lepas dari infeksi virus mematikan ini. Sifat dari pemberian kebijakan PSBB ini yang bersifat menunggu terjadinya penyebaran baru dapat ditetapkan. jadi kebijakan ini bukanlah langkah preventif atau pencegahan. Kata percepatan penanganan pada permenkesnya mengisyaratkan adanya terinfeksi COVID-19 terlebih dahulu barulah PSBB dapat diberlakukan dengan syarat terjadi peningkatan jumlah dan penyebaran kasus menurut waktu serta adanya kejadian transmisi lokal. Kebijakan PSBB ini bersifat menunggu adanya tumbal terlebih dahulu barulah dapat dilaksanakan. Jadi perlu dipahami bahwa semangat PSBB ini adalah penanganan, bukan pada rana pencegahan. Sementara langkah pencegahan adalah tindakan yang dilakukan sebelum wilayah tersebut terjadi peningkatan jumlah dan penyebaran kasus positif terinfeksi COVID-19 secara cepat. Secara sederhana dapat dibedakan bahwa penanganan adalah tindakan setelah terjadi sedangkan pencegahan adalah tindakan sebelum terjadi.

Semangat kebijakan PSBB inilah yang mengakibatkan permohonan beberapa wilayah ditolak oleh sang menkes. penolakan permohonan wilayah ini tentunya memiliki setidaknya dua pesan disampaikan pertama, bahwa daerah tersebut belum menunjukkan data epidimiologis yang memenuhi syarat, epidimiologis yang dimaksud adalah jumlah kasus positif terinfeksi dan penyebarannya secara cepat yang terjadi di wilayah tersebut. Dapat kita lihat beberapa wilayah yang pengajuan PSBB-nya ditolak seperti Kabupaten Rote Ndao (NTT), Kota Palangka Raya (Kalteng), Kota Sorong (Papua Barat), Kabupaten Fakfak (Papua Barat), Kabupaten Bolaang Mongodow (Sultra), Kabupaten Mimika (Papua Barat) dan Provinsi Gorontalo. Pesan dalam penolakan ini dapat diterima dengan syukur, Karena daerah belum terjadi penyebaran secara cepat atau kecewa karena ditolak akibatnya tidak dapat bertindak lebih cepat untuk melindungi masyarakat daerahnnya.

Dapat kita lihat juga dari adanya penolakan seperti menyampaikan bahwa komunikasi dan koordinasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang tidak berjalan. Semangat PSBB yaitu penanganan mengalami kemacetan pemahaman di lingkup pemerintah daerah, hal ini dapat kita maklumi karena dalam masa kedaruratan kesehatan masyarakat ini hak dan kewajiban pemerintah daerah menjadi tidak jelas, karena yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah daerah sebelum masa kedarutan kesehatan masyarakat, tidak menjelaskan tanggung jawab pemerintah daerah pada masa kedaruatan kesehatan masyarakat bagi daerah yang belum disetujui melaksanakan kekarantinaan kesehatan yaitu PSBB. Baik dari KEPPRES Nomor 11 Tahun 2020 tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, PP Nomor 21Tahun 2020 maupun Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB tidak ada materi muatan yang menjelaskan tindakan bagi Pemda yang belum memenuhi syarat kekarantinaan kesehatan yaitu PSBB pasca penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat. Inilah yang mengakibatkan pemerintah daerah kesulitan mengambil langkah-langkah kebijakan dalam pencegahan virus mematikan ini. Pemerintah daerah yang belum PSBB berada pada posisi menunggu jatuhnya tumbal-tumbal terlebih dahulu barulah dapat bertindak tegas. Maka dari itu dibutuhkan suatu instrument dasar tindakan bagi pemerintah daerah yang belum memenuhi syarat penetapan PSBB untuk melakukan tindakan pemerintahan yang sesuai dengan aturan perundang-undangan dan tepat diberikan dalam masalah COVID-19 ini. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan peran pemerintah daerah dalam melawan pandemik ini. Daerah yang belum PSBB seharusnya mendapatkan perhatian atau langkah-langkah yang juga ketat seperti daerah yang PSBB, walaupun perhatian yang diberikan tidak harus sama. KEPPRES Nomor 7 tahun 2020 tentang gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 telah memberikan ruang dibentuknya Gugus tugas Percepatan penanganan di tingkat Provinsi dan kabupaten, tetapi hal ini tentunya belum dapat menyelesaikan masalah bagi daerah yang belum PSBB, apalagi gugus tugas di daerah ini dibentuk sebelum penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat yang tentunya keadaan dan tantangan berbeda setelah Penetapan kedaruratan masyarakat oleh presiden yang tentunya berlaku di seluruh Indonesia.

Wilayah-wilayah yang belum PSBB mengisyartkan bahwa daerah itu masih dalam keadaan aman dari penyebaran COVID-19. Hal ini bukan berarti bahwa daerah itu bebas dari ancaman virus ini. Inilah yang harus diperhatikan pemerintah dan pemerintah daerah, bahwa daerah yang belum diberlakukan PSBB, haruslah dipertahankan daerah itu tetap tidak membutuhkan PSBB. Pemerintah harus memperhatikan daerah yang belum memenuhi syarat PSBB untuk tetap melindungi daerah itu, jangan sampai sikap pemerintah yang memusatkan pikirannya pada daerah PSBB yang kemudian tidak memperhatikan daerah-daerah yang belum PSBB, mengakibatkan penyebaran secara cepat di daerah baru. Pikiran kita haruslah bagaimana cara mencegah bagi daerah yang belum PSBB, dan bagi daerah yang sudah PSBB adalah penanganan yang tepat.

*) Penulis adalah Ketua Bidang SBO PC IMM Makassar Timur.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT