Beranda Mimbar Ide Persentuhan-Persentuhan Saya terhadap Kebenaran : Alam dan hewan-hewan di Masa Kecil

Persentuhan-Persentuhan Saya terhadap Kebenaran : Alam dan hewan-hewan di Masa Kecil

0
Idham Malik

Oleh : Idham Malik*

Jika dibandingkan dengan aktivitas Saya sekarang, yang berkutat dalam aksi menanam mangrove dan perbaikan lingkungan pesisir. Saya kembali membayangkan masa kecil, yang kalau diingat-ingat, sangat sedikit hubungannya dengan kegiatan lingkungan. Saya bukan termasuk orang yang aktif atau inisiatif terhadap sesuatu. Tidak banyak dorongan untuk melakukan sesuatu yang baru. Apalagi lingkungan masa kecil berada dalam sebuah ruang terbuka, namun juga tertutup, yaitu kompleks perumahan yang terbilang ekslusif. Sehingga, sepenuhnya, Saya hanya ikut arus pada rantai permainan musiman yang digelar oleh anak-anak kompleks. Hanya saja, ketika Saya diajak untuk mengerjakan sesuatu, Saya agak tenggelam di dalamnya.

Hal pertama yang terbayang malah rasa takut saya yang keterlaluan terhadap sapi. Kira-kira umur Saya waktu itu 3-4 tahun. Setiap Saya melihat sapi, rasa-rasanya ingin lari, dan tak sadar Saya menangis histeris. Penyebab rasa takut itu tidak Saya peroleh hingga saat ini? Mungkin karena besarnya atau bentuk wajahnya yang aneh? Atau sekadar perasaan saja bahwa sapi-sapi ini akan membunuh Saya.

Persentuhan dengan alam, sepenuhnya dalam bentuk penjelajahan, kira-kira berumur 10 tahun, seperti berjalan ke sawah bersama kawan-kawan dekat, membawa bekal makanan. Kita selalu mentok pada sebuah lingkungan kecil di antara sawah, setelah berjalan kurang lebih 1 jam dari kompleks yang terletak di Bontocina, Kelurahan Raya, Kec. Turikale, Kab. Maros. Pada lingkungan kecil itu, terdapat dua rumah kayu sederhana, beberapa pohon, dan juga terdapat kuburan di sekitar situ.

Penjelajahan lain yaitu naik sepeda bersama teman, hingga sampai ke Taman Wisata Bantimurung. Melihat bukit-bukit, hewan-hewan yang banyak bertebaran di sawah sepanjang jalan, baik itu sapi, kerbau, kuda, ayam, serta burung-burung yang selalu lolos dari perhatian. Namun, hubungan dengan alam Saya rasakan bukan seperti cinta. Tapi, lebih pada sebuah hubungan yang saling terkait. Alam, dalam pandangan masa kecil Saya adalah suatu lingkungan yang mesti ada, yang memberi kepada kita sebuah suasana yang menyenangkan.
Saat-saat itu, terdapat ketidakmengertian yang akut terhadap kondisi dan situasi. Hidup dijalani apa adanya saja. Dan Saya tidak tahu, apakah kita yang menggerakkan alam, atau kitalah yang sebenarnya dibimbing oleh alam.

Aktivitas-aktivitas lain yang bersentuhan dengan alam, yaitu aktivitas produksi. Di sinilah awal mula munculnya sebuah perasaan bahwa kita manusia dapat mengelola dan menguasai mahluk lain. Pada umur 6 tahun, Saya ikut bersama anak-anak yang lain untuk pergi memancing ikan di saluran irigasi. Kami jongkok-jongkok di tepi saluran, menunggu ikan-ikan memakan umpan kami. Hal ini sangatlah menyenangkan, apalagi ketika kita berhasil menggaet seekor ikan. Ikan itu kami taruh di ember, dan kami bawa pulang. Setelahnya kami membuat api dan belajar masak memasak. Ikan itu kami cicipi dan rasanya kurang enak. Saya hanya mencobanya secuil, lalu membuangnya.

Pernah pula kami kegandrungan menanam singkong. Halaman samping rumah kita jadikan tempat percobaan untuk menumbuhkan singkong. Kami potong batang-batang pohon singkong, dan kami tancapkan batang-batang kecil dengan panjang 20 centimeter itu ke dalam tanah dengan posisi miring. Saya rutin menyiramnya, hingga tiba suatu masa, singkong berhasil berumbi. Singkong ini tidak kita jual, tapi hanya dimakan ramai-ramai, di masak atau dibakar, dan selalu dimakan dalam kondisi masih hangat. Kadang-kadang, kami nekad untuk mengambil singkong milik orang desa di luar kompleks. Dan nikmat betul rasanya pada malam harinya, kita membakarnya bersama-sama, lalu menikmatinya.

Saya pun mengingat pengalaman-pengalaman pemeliharaan hewan. Masa kecil saya dipenuhi oleh hewan-hewan peliharaan. Dimulai dari kelinci, yang mati karena kedinginan setelah dimandikan oleh nenek. Lalu kucing yang turun temurun, beranak-pinak di rumah kami. Ada yang sampai tiga keturunan di rumah kami. Tapi, jika kucing betina beranak, anaknya selalu kami buang. Walaupun ada yang tak kami buang. Saya ingat, tak terhitung rasanya saya pergi membuang kucing atau anak kucing ke tengah sawah, kuburan atau jauh melintasi saluran air. Dan, ada beberapa kucing yang berhasil kembali ke rumah kami, dengan tubuh lusuh, bau, dan lemas. Kucing-kucing yang pulang ini pun akhirnya kami biarkan ikut makan dan hidup di rumah kami. Saya mengingat seekor kucing putih mungil yang kami temukan di tempat sampah, kami beri nama Cinglung, karena saking sayangnya, kami memberi dia kalung yang dapat berbunyi ketika cinglung berjalan. Namun, cinglung tak lama hidup, ia yang masih dalam kondisi kanak-kanak sepertinya tak begitu bergairah diberi makan oleh kami. Pun akhirnya, ketika cinglung mati, Saya untuk pertama kalinya menggali kubur, dan menguburkan mahluk hidup. Sedih rasanya.

Ikan hias adalah hewan yang paling saya sayangi, yang tiap hari saya beri makan. Air kolam diganti setiap pekan atau dua pekan. Sudah beragam ikan hias yang kami pelihara, mulai dari ikan koi, komet, pedang-pedang, molli, kopra, bitte, dll. Tidak tahu juga apa kiranya yang membuat Saya gembira melihat ikan meliuk-liuk di air. Sembunyi di antara alga atau cangkang yang ibaratnya menjadi rumah peristirahatan bagi mereka. Mungkin perasaan ini timbul secara alamiah, yang dikendalikan oleh hormon-hormon kita, yang tumbuh pada setiap hewan mamalia.

Peristiwa yang paling membekas ketika burung pipit liar yang saya pelihara, sejak kami temukan jatuh bersama sarangnya di bawah pohon di makan oleh kucing. Bayi burung yang baru saja menetas ini kami bawa pulang ke rumah. Setiap hari saya memberinya air minum. Menumbukkan beras dan diberi air, dan meneteskan beras itu ke dalam paruhnya yang kecil. Saya menikmati perkembangannya, yang awalnya tidak begitu berbulu, menjadi berbulu lebat. Sebelumnya lemah tak berdaya, menjadi bertenaga dan aktif. Hampir sebulan Saya merawatnya, hingga suatu hari, kucing menemukannya dan langsung memakannya. Perasaan saat itu jadi campur aduk. Beginilah perasaan jika hewan yang kita pelihara mati meninggalkan kita.

Pernah pun saya diajak oleh orang tua untuk panen udang windu di tambak. Senang sekali rasanya karena turut memanen udang. Jadi, saya dan kakak turun ke tambak, meraba-raba dalam lumpur untuk menemukan udang. Kami juga menggunakan telapak kaki untuk mencari udang yang bersembunyi dalam lumpur. Asyiknya, Saya memanen sekitar satu kilogram lebih udang windu. Udang itu pun menjadi hak kami untuk di bawa pulang dan disantap.

Selain itu, Saya turut mengingat dosa Saya di masa kecil. Ketika kita beramai-ramai menangkap capung, menaruhnya di kaca jendela, kadang-kadang memotong sayapnya untuk bereksperimen bagaimana kondisi terbangnya, jika sudah bosan, kami pun memotong kepala sang capung. Di masa itu juga terdapat musim jangkrik, hewan ini kami pelihara di ember yang telah diberi pasir. Memberinya makan seadanya. Kami sangat berharap, agar hewan ini berbunyi. Namun, lama ke lamaan, mungkin karena tersiksa, jangkrik itu mati dengan sendirinya. Belum lagi jika mengenang mahluk laut, yaitu kumang/kalomang, yang banyak dijual oleh om-om di Gerbang sekolah dasar. Kita mengantongi hewan itu, sesampai di kelas, kita tiup cangkangnya agar hewan itu terbangun. Kita paksa dia saling kejar mengejar. Begitu naifnya kita di masa kecil, namun, tak ada yang melarang.

Saat-saat ini, ketika Saya ikut terlibat dalam kegiatan beraroma lingkungan, seperti menenggelamkan kaki ke dalam lumpur untuk menanam mangrove. Saya kembali terkenang dengan lingkungan sawah dekat rumah, ketika kami lalu Lalang di pematang, melihat ikan gabus yang melata di atas lumpur, belalang yang melompat-lompat di antara bulir padi, capung yang riang ke sana ke mari.

*) Penulis adalah Koordinator Kader Hijau Muhammadiyah Komite Sulsel

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT