Beranda Kampus Inovasi Berkarya Melalui Teras Baca, Klinik Karya Ilmiah dan Bengkel Statistik

Inovasi Berkarya Melalui Teras Baca, Klinik Karya Ilmiah dan Bengkel Statistik

0
Indar Ismail Jamaluddin

Oleh : Indar Ismail Jamaluddin*

Merdeka di Kampus!

Saya melihat wajah kampus yang riang hari ini, Senin, 17 Agustus 2020. Ada langkah kecil yang sebenarnya memiliki daya kejut besar. Kecil, karena hanya dibuat oleh orang-orang kecil tanpa maksud melangkahi orang-orang besar. Besar, sebab bisa jadi akan menjadi lokomotif yang menarik gerbong kecendekiawanan dan harapan di almamater ini.

Di sebuah sudut fakultas di kampus negeri yang baru, ada selasar yang disulap sebagai tempat nongkrong. Semakin berwarna, tetapi tetap bersahaja. Saya paham benar bagaimana selasar itu dipermaak menjadi hidup. Sejak beberapa hari lalu, saya hilir mudik menyaksikan beberapa kerabat dosen dan mahasiswa yang urunan bekerja untuk itu. Setiap kali saya mampir atau sekadar ‘menyampaikan wajah’, selalu saja ada senyum di sana. Padahal saya tahu, mereka sedang berjuang mengatasi lelah dan letih di tengah tuntutan tanggung jawab sebagai akademisi plus pengkhidmatan dalam keluarga. Bahkan mereka mengalihkan malam Minggu menjadi Hari Senin, tentu dengan cara mereka sendiri. Maslow (1970) percaya bahwa perilaku manusia dibangkitkan oleh kebutuhan-kebutuhan tertentu. Saya mengutip beberapa saja, misalnya kebutuhan cinta kasih, penghargaan aktualisasi diri, atau kebutuhan estetika. Tidak ada yang tidak mungkin, sepanjang ada semangat untuk menjadi lebih baik. Dan mengajak saya keesokan harinya pergi menikmati pantai, adalah hal saya bisa saya pahami kemudian.

Mengapa Teras?

Saya mencoba memahami pemanfaatan teras atau selasar kampus oleh dosen-dosen muda itu dengan menerka beberapa kemungkinan. Andai sama, saya hanya sedang menguji empath saya. Katakanlah demikian dalam konteks neurologi yang saya pahami. Dalam perkembangan kehidupan, teras bukan sesuatu yang baru bagi rumah manusia modern. Bersamaan dengan Perusahaan Multinasional Belanda, VOC, menetapkan Jaccatra (sebelum berubah menjadi Batavia) sebagai pusat pemerintahan di awal abad 17, para elit kolonial memperkenalkan rumah Deutch atau rumah model Portugis—sebelumnya Portugis lebih dulu menginjakkan kaki di Nusantara. Coraknya seperti yang kita tonton di televisi atau youtube saat ini. Tinggi bangunan bisa menjulang di atas empat meter, dengan dinding bata berplester, jendela besar, bukaan ventilasi sedikit, tanpa beranda. Sayangnya, rumah milik kompeni itu tidak cocok dengan iklim di Hindia Belanda yang tropis sehingga membuat mereka gerah. Siang hari, matahari langsung masuk melalui mulut jendela yang menganga, membuat udara di dalam ruangan panas dan berkumpul hingga sore hari (Hanggoro, 2019).

Kita tahu, bangunan di Eropa dirancang sedemikian rupa sebagai penghangat para penghuni di tengah iklim yang dingin. Kompeni kemudian sadar dan mulai melirik corak bangunan masyarakat setempat (baca Betawi). Hal yang berbeda dari ciri rumah kompeni dan rumah Betawi kala itu adalah beranda. Rumah bagi kompeni adalah ruang privasi keluarga. Sementara bagi etnis bangsa Betawi, rumah adalah tempat privasi, tetapi juga sekaligus berfungsi untuk membangun relasi yang lebih erat dengan kerabat, keluarga, bahkan mereka yang jauh secara garis-garis keturunan. Jika pernah menikmati ‘Si Doel Anak Sekolahan’ yang dibintangi aktor multi talen Rano Karno atau ‘Si Pitung’ yang diperankan Dicky Zulkarnain—ayah Nia Zulkarnain–, kita merekam rumah Betawi seperti ini: beranda adalah ruang tamu dan ruang tamu adalah beranda. Dan pada akhirnya rumah-rumah elit Hindia Belanda itu pun beradaptasi dengan rumah-rumah pribumi yang berbahan bambu, kayu, dan rumbia. Dibangunlah beranda atau teras—kata ini lebih popular– di depan rumah untuk menerima tamu. Selepas bekerja, pegawai VOC menghabiskan waktu dengan bercengkerama di depan rumah. Di ruang selebar sekira satu setengah meter itu terdapat teh, arak, sirih, pinang, dan penganan untuk berceloteh hingga larut (Hanggoro, 2019). Kompeni sadar, untuk menarik perhatian rakyat yang mereka jajah, budayanya juga harus mereka pahami. Dan itu sudah termasuk dari rumah. Kelak, corak rumah elit Hindia Belanda ini bertahan di republik pada rumah-rumah amtenaar atau pegawai pemerintahan sampai sekira tahun 1960-an dan beberapa tahun setelahnya.

Pada masyarakat Kaili, suku yang mendiami Lembah Palu, Sulawesi Tengah, teras disebut juga Gandaria. Pada Sou Raja atau rumah panggung besar milik raja, Gandaria adalah ruang publik tempat menerima tamu dari pemuka adat atau petinggi kerajaan, atau sebelum diizinkan untuk masuk ke Tatangana atau ruang tengah rumah raja. Ruang tengah tersebut menjadi tempat raja bermusyawarah dengan tokoh adat dan petinggi kerajaan. Walaupun masyarakat Kaili saat ini tak lagi menggunakan rumah panggung, namun ciri penggunaan teras untuk berinteraksi dengan anggota keluarga dan tetangga, tetap nampak dalam rumah-rumah tapak. Sedikit berbeda dengan masyarakat suku bangsa Tolaki yang mendiami Sulawesi Tenggara. Karena struktur rumah adat yang awalnya tak ‘mengenal’ teras, dahulu, pengkhidmatan terhadap tamu, termasuk diskursus dengan kerabat dan keluarga, terjadi di ruang tamu –atau ruang tengah pada corak rumah panggung (Franciska & Wardani, 2014).

Kembali ke teras. Kamus Besar Bahasa Indonesia daring menafsir teras serumpun dengan serambi, dan beranda. Teras antara lain dimaknai sebagai tanah atau lantai yang agak ketinggian di depan rumah, atau bagian dari gili-gili di muka restoran yang diisi dengan kursi untuk duduk-duduk. Adapun serambi ialah beranda atau selasar yang agak panjang, bersambung dengan induk rumah (biasanya lebih rendah dari induk rumah). Sementara beranda ialah ruang beratap yang terbuka (tidak berdinding) di bagian samping atau depan rumah (biasanya dipakai untuk tempat duduk santai seraya makan angin). KBBI bahkan menggarisbawahi kesepadanan beranda dengan teras.

Apapun definisinya, kita tahu, jika teras adalah bagian dari rumah, sebuah tempat yang menyimpan banyak cerita. Akan halnya dengan teras kampus yang dibuat beberapa sahabat saya di FISIP USN Kolaka saat ini. Saya memuji kemampuan estetika Hariono yang mengutak-atik beberapa lemari, dinding, dan plafon dari sudut berdebu itu dalam ide-ide kreatif dan enerjiknya, sehingga seakan-akan menghadirkan kembali Tolkien dengan dunia fantasi modernnya. Ia bahkan membuat anak-anak tangga sebagai cara memandang pertunjukan. Yakinlah, saat duduk sebentar di situ, anda serasa berkunjung ke ruang teater, atau mungkin bersiap menikmati orchestra klasik pada bangunan abad pertengahan di Swiss. Sungguh etalase yang indah.

Saya pun mengapresiasi sentuhan-sentuhan kejeniusan saudara Rahmat Hidayat yang melengkapi keteraturan dan keseimbangan sudut administrasi publik pada Klinik Karya Ilmiahnya. Pada klinik itu, ia ingin menunjukkan bahwa belajar tidak membutuhkan ruang-ruang formal. Kita hanya membutuhkan kesadaran untuk menikmati pengetahuan melalui diskursus dari celah-celah yang sempit, bahkan tempat yang tak diakui sebagai tempat sekalipun. Ia mengajarkan kita tentang politik pengetahuan. Saya pun membayangkan Paulo Freire atau Roem Topatimasang dengan sekolah-sekolah pembebasannya. Atau serupa Plato yang membangun akademikos, sekolah alternatif di kebun-kebun pengetahuan yang indah.

Bagaimana dengan Yuyun Anggaraini? adalah dosen muda berbakat. Ia memiliki tekad yang kuat, semangat untuk terus menjadi lebih baik seperti Bengkel Stater yang akan diaktualisasikannya. Dan saat ia beradu pandang dengan cat hitam pada senja di sebuah desa bernama Popalia—entah ada atau tidak di pelataran Google Map anda–saya melihat pemandangan yang emosional. Yuyun sedang berupaya melampaui streotip perempuan: “hindari yang membuat kukumu bernoda.” Menurut saya, perempuan ini telah menyegarkan kembali makna feminisme: kecantikan harus diuji dengan pengkhidmatan terhadap pengetahuan. Imajinatif sekaligus pula reflekif. Terimakasih kawan-kawan untuk lompatan besar di hari ini. Selamat merdeka untuk yang ke-75 kali.

Dan sebelum anda larut dalam catatan ini, saya berhenti di sini. Seperti Socrates, saya tidak ingin menjajah pikiran anda.

Palewai, 17 Agustus 2020

*) Penulis adalah Dosen Universitas Sembilanbelas November (USN) Kolaka

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT