Beranda Mimbar Ide Etika Politik, Mungkinkah?

Etika Politik, Mungkinkah?

0
Andi Hendra Dimansa

Oleh : Andi Hendra Dimansa*

Ruang politik telah disesaki dengan berbagai konotasi negatif mulai dari mahar politik, oligarki di tubuh partai politik dan sikap nomaden (berpindah-pindah) politisi dalam mencari suaka kekuasaan hingga praktik jual beli suara. Narasi politik yang demikian negatif telah membawa politik pada situasi “Grenz-Situationen” meminjam istilah Karl Jasper. Politik yang berada pada kondisi batas yang mematikan langkah politik yang etis dengan tikaman pragmatisme politik.

Kompetisi politik telah memudarkan kapasitas person berganti dengan kapital person yang lebih dimungkinkan dalam mengarungi kompetisi politik. Kondisi dan situasi politik yang sarat dengan praktik-praktik pragmatisme baik ditingkatan elit maupun ditingkat bawah telah mengecilkan kemungkinan munculnya politik yang penuh gagasan dan menghargai etika politik. Kompetisi politik yang fear dan berimbang menjadi pemandangan yang cukup lama telah kehilangan warnanya dalam dunia politik bahkan politik yang semacam itu telah pudar jauh sebelum baliho bertebaran dengan ragam full color-nya.

Kondisi politik yang menampakkan pragmatisme dengan berbagai varian dan anak turunannya yang semakin menjadi. Hal ini, mesti ditelusuri lebih jauh mengingat kondisi ini bila terus berlanjut dan berkembang akan membawa dampak pada publik policy yang dihasilkan oleh para politisi saat berkuasa. Para politisi yang berkuasa hasil dari olahan pragmatisme maka hari pertama saat berkuasa orientasi kebijakan akan bermuara pada pengembalian pundi-pundi yang jejaknya dapat diurai dari star pertama yang telah kehilangan etika politik.

Politik yang berarah mestilah dibarengi dengan etika, tanpa itu ruang dan arena politik tak ubahnya adagium “homo homoni lupus, bellum omnium contra omnus”. Para politisi kadang larut pada kondisi dan keinginan besar untuk berkuasa, tanpa memikirkan apakah langkah-langkah politiknya berirama etis atau tidak ? seakan menjadi bukan urusan penting, sebab yang lebih penting adalah mendapatkan kendaraan politik dan kekuasaan. Sehingga kehadiran mahar politik menjadi sesuatu yang sangat dimungkinkan kehadirannya dan bahkan juga diupayakan kehadirannya. Seolah tanpa mahar politik baik pilkada maupun pileg dan pilpres menjadi bukan lagi arena politik bila tak mengikutkan mahar politik.

Konfigurasi elit politik, partai politik dan kepentingan politik telah memberikan ruang bagi senyawa baru dalam tabel-tabel politik yang bernama mahar politik. Elit politik dan partai politik tak berhitung etis tidaknya perilaku-perilaku yang sangat mencolokkan pragmatisme politik itu. Ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah pun berlalu, lebih mirip menggambarkan suasana politik kekinian. Sebab kencang-kencangnya seruan etika politik digemakan para pengamat atau akademisi, tetap saja perilaku para politisi dalam setiap perhelatan demokrasi menonjolkan pragmatisme dibandingkan etika politik bahkan kelihaian pragmatisme politik yang diperankan elit politik semakin kreatif dari satu momen demokrasi ke momen demokrasi berikutnya. Justru para pengamat dan akademisi yang kedodoran menggambarkan ataupun mengenali pragmatisme politik yang demikian kreatif dan canggih.

Etika politik hanya menjadi pemanis dipermukaan saat para elit politik dan partai politik dalam meraih simpati publik. Elit politik dan partai politik kadang dengan seenaknya saja mengabaikan etika politik bahkan saat tanda dan stempel usungan kandidat telah resmi dipertontonkan kepada publik. Cerita elit politik atau partai politik meninggalkan komitmen politik dengan mudahnya justru terkadang disertai dengan senyuman menjadi pemandangan yang lumrah ditemui justru saat-saat publik menantikan komitmen politik sebagai penanda etika politik masih memiliki ruang.

Mempertanyakan etika politik di perhelatan pilkada seakan sama sulitnya menjawab dengan pasti siapa berpasangan siapa dan partai apa yang mengusung siapa ? mengingat perilaku nomaden para elit politik dan partai politik yang justru kian gencar, seolah nomaden politik mengingatkan bahwa politik telah menjadi aktivitas yang antik. Namun, justru aktivitas politik yang antik kehilangan kilaunya dan nilainya yang bernama etika politik, yang justru didetik akhir menjadi pegangan akhir untuk tetap menuntun politik.

*) Penulis adalah Penggiat Demokrasi dan tokoh pemuda di Kabupaten Sinjai

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT