Opini:Pemberatan Pemidanaan
Oleh: Haritsa, SH.,MH (Dosen Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo)
Matakita.co – Secara umum, suatu rumusan tindak pidana, setidaknya memuat rumusan tentang; (1) subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm); (2) perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan (3) ancaman pidana (strafmaat).
Dalam keadaan tertentu subjek dan ataupun akibat dari perbuatan pelaku sangat menentukan jenis sanksi yang akan diterima jika dilihat dalam aspek alasan yang meringankan dan memberatkan sanki pidana. dalam hukum pidana di indonesia secara umum maupun khusus telah diatur ketentuan mengenai pemberatan pidana yang tersebar dalam beberapa ketentuan selain yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebagiman yang terdapat dalam KUHP, dasar pemberatan pidana ini bersifat umum, yaitu dasar pemberatan pidana ini berlaku untuk segala jenis tindak pidana dengan melihat jenis perbuatan yang menyertai tindak pidana tersebut, seperti: (1) Karena melanggar kewajiban istimewa jabatan, pasal 52 KUHP, (2) Melakukan peristiwa pidana secara gabungan (samenloop), (3) Melakukan tindak pidana secara ulangan (residivis), termasuk juga kedaan yg menyertai berupa (4) Memberikan keterangan berbelit-belit di persidangan, untuk point empat dalam penjelasan tersebut memiliki perbedaan, meskipun termasuk hal yang memberatkan dalam pertanggung jawaban pidana. Jika dipisahkan terdapat dua klasifikasi, yang pertama adalah pemberatan pidana yang diatur secara limitatif dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang jenisnyapun secara kongkrit dapat dilihat dalam ketentuan secara normatif, serta kedaan-kedaan tertentu yang dapat memberatkan pidana tentunya kedaan ini akan menjadi bahan pertimbangan hakim secara objektif terhadap sikap terdakwa saat persidangan, itulah mengapa terdakwa tidak disumpah saat diperiksa dalam persidangan krna memiliki keterkaitan dengan hak ingkar(non self incrimination) yang outputnya akan dilihat dalam hal-hal yang memberatkan sebagaimana yg diatur dalam Pasal 197 KUHAP, yang menyatakan; dalam hal hakim menjatuhkan putusan berupa putusan pemidanaan, salah satu hal yang harus termuat dalam putusan adalah “keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa”, serta dalam Pasal 8 Ayat (2) UU RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa “dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”.
Dalam perkembangannya, beberapa tindak pidana memiliki ketentuan khusus yang juga mengatur pemberatan pidana, salah satunya dalam Tindak Pidana Korupsi. Pemberatan pidana dalam Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), pada Pasal 2 ayat (2) UU PTPK menegaskan bahwa; dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Berdasarkan penjelasannya pasal tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.