Beranda Mimbar Ide Memakai Terompah Menuju Tuhan, dan Para Penunggang Bersorban

Memakai Terompah Menuju Tuhan, dan Para Penunggang Bersorban

0
Muhammad Syarif Hidayatullah

Oleh : Muhammad Syarif Hidayatullah*

Malam saat Isya banyak mukmin salat menunaikan pengakuan sebagai hamba di Surau, Masjid-Masjid, dan langgar-langgar, burung yang berkicau mampu di siang kini bertengger di dahan-dahan sambil kedinginan melebarkan bulu-bulu juga sayap penghangat tubuh siksa musim hujan. Di saat siangnya Yahudi meratap di tembok do’a, di sinagog-sinagog perhelatan. Di saat gugusan bintang alam tiada muncul, saat hari Kristen menyembah dan memohon kasih Tuhan Gereja.

Agama Sikh menyembah di Gurdwara, saat ini suara jangkrik pun kian menghilang, orang-orang Budha mengunjungi ramai Vihara, suasana angin yang bisu, diam. Pengikut agama Baha’i memadati Mashriqul-Adhkar, juga Pura dipenuhi munajat Hindu, mengepul asap dari Kelenteng Kong Hu Cu, di saat ini juga membara hamparan Kuil-Kuil Api para penyembahnya, Zoroaster dan pengikut-pengikut mereka. Semua mengklaim mendapat ketenangan hari ini tiap pulang dari Rumah Tuhan, tapi tak pernah membuat Rumah Tuhan di dalam tiap dada-dada diri mereka.

Malam ini berbeda, seperti ada sepasukan batalion dengan kuda hitam bersama jubah hijau tua penunggangnya. Bersorban, berbadan kekar, tinggi, dan wajah mereka tertutup sorban.

Seperti ada turun sesuatu, yang mengepak, jelas terlihat sayapnya mengepak menutupi malam menjadil lebih gelap kelam, terbentang timur hingga membentang ujung barat.

Ada buku tebal yang ada di antara pinggang dan tergenggam oleh tangan kanannya bersinar putih kemilau, cahaya menyinar dari kitab tua.

Situasi saat ini yang sepersekian detik saja dirasakan tapi begitu saja tangkapan keadaan sekitar sudah tersaksikan semua. Bayang-bayang itu sebegitu mengerikan, mengejutkan. Siapa mereka? Dan pasukan itu datang sejak dan dari mana? Mereka datang menginginkan apa? Pertanyaan lain bergelayut di kepala, di saat gigil khawatir merasuk sukma. Kelelawar mengatup rapat tubuh mereka di dahan-dahan asam tua dan jati yang tak lagi muda, bersembunyi di dalam goa-goa, di sebelah sebuah desa.

Dari sekian banyak para penunggang kuda, muncul seorang berdiri maju ke depan.
Membuka mushaf-mushaf seperti terlihat tua, dipegangnya erat dengan kedua tangan, diangkat melebihi ke atas depan kepala.

“Salam damai, salam kehadirat Pencipta. Salam Pemilik langit dan Bumi, pemilik Timur dan Barat; untuk kalian. Manusia pasti binasa, kecuali amal dan kesabaran, dan ilmu yang melahirkan manfaat”. ia membuka suara membacakan maklumat dari buku itu dengan suara lantang, tak menunggu jeda melanjutkan

“Dunia semakin dalam jurang kelam, penduduk bumi melahirkan monyet-monyet dan Setan-Setan. Iblis panglimanya telah leluasa membangun kerajaan di atasnya. Pikiran manusia menjadi jauh dari asal, permusuhan-peperangan mengecat merah bumi yang ada. Sebab, sepasang insan memprotes takdir Tuhan, menakar-nakar segala menurut diri mereka, mendahului kesalahan dibanding menahan diri-diri mereka”. Ia lancar menggema suaranya

“Wahai manusia, kalian yang mengaku ber-Tuhan. Jangan pernah mencari pasangan, melainkan carilah pasangan dunia dan kelak akan juga jadi pasangan akhirat.

“Hidupmu terlalu melelahkan menemukan pasangan dunia-akhirat, lebih-lebih jauh letih melelahkan menjalani cinta dengan pasangan bukan di atas ridho Tuhan. Kalian semua hanya manusia yg tidak tahu masa depan, juga ragam pemikiranmu yang tak tahu masa depan itu dan kelemahan-kelemahannya menyebabkan tidak jarang satu pihak setuju tapi pihak lain menentang satu hal yang sama.

“Penyebab gelincirnya kalian sekali lagi karena lalai penuh gagal menemukan dan melahirkan manusia. Hasilnya kalian sampai sekarang merasakan peperangan, kebodohan, permusuhan, kebiadaban. Menipu dengan benda tak berharga demi menumpuk kotoran di perut-perut, perutmu itu duniamu, jiwamu sekarat berkarat kumal. Dengan apa kalian akan kembali terbang menuju Tuhan?

“Di dunia kalian digariskan pasti merasakan suka, ada bahagia, letih, bosan, ada duka derita yang datang tak jarang. Itu semua keadaan ujian Tuhan untuk tiap hamba-Nya dengan berbagai tantangan, sesuai derajat manusia.

“Cintamu pada sesama manusia itu harus rasional, jangan berlebihan, atur pelibatan cinta yang kalian berikan untuk orang yang dicinta; walaupun memang benar, praktiknya tidak mudah dilakukan. Cinta pada Tuhan saja yang mesti hilangkan akalmu; tanpa pamrih, tanpa menghitung-hitung untung rugi, tanpa laba juga bangkrut, tanpa melihat manfaat atau tidak, tidak melihat pahala atau sedikit bahkan tidaknya, yang semuanya demi dan hanya untuk Ridho Tuhan.

“Wahai kalian, jangan karena kebodohanmu atau karena kecerdasanmu membawamu pada perusakan bumi, pada perusakan sesamamu, pada dirimu sendiri. Latihlah jiwamu, mengenal Tuhan. Jangan selalu isi tubuh dengan sampah bumi.

“Wahai manusia, buku ini tertutup bagi mereka yang menutup diri, akan membuka bagi mereka yang ingin mengambil hikmah. Tiada Tuhan pernah berharap dari perbendaharaan tangan-tangan kalian, Tuhan-lah pemenuh segala karunia rahmat bagimu. Maha Teliti Tuhan Pemilik Hari kalian dibangkitkan, Pemilik hati manusia yang mendapat petunjuk”.

Di saat ia menutup buku itu, seorang pasukan berkuda paling depan atau bisa jadi komandan pasukan bersorban itu memberi isyarat pada sang pembaca kitab mundur kembali pada barisannya. Mereka mengepak sayap sekali, entah menghilang ke mana tak dilihat lagi bahkan jejak kaki-kaki kuda di tempatnya.

Aku beranjak kemudian dari tempat duduk, berjanji akan aku rahasiakan.

*) Penulis adalah Esais, dan Direktur Eksekutif Salaja Pustaka Institute @salajapustaka

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT