Oleh: Alfiana*
Kutipan kata dalam Jurnal Perempuan Edisi 63 berjudul “Catatan Perjuangan Politik Perempuan” menyatakan bahwa peran perempuan dalam politik di Indonesia bukan barang baru atau tabu. Perempuan turut terlibat dalam gerakan politik dan militer memperjuangkan kemerdekaan. Ada tiga indikator yang mengharuskan perempuan tidak berada dalam status Apolitis yakni perjuangan representasi perempuan untuk kebijakan responsif gender, kesetaraan dan memerangi diskriminasi, serta pemanfaatan peluang affirmative action kuota 30% sebagai pressure pelibatan perempuan dalam urusan politik. Konteks bahasa Indonesia (KBBI), Apolitis dimaknai sebagai sikap tidak ada minat dalam masalah dan urusan politik.
Sejak 1995, kuotas 30% affirmative action telah diwacanakan dalam Kongres APU (Asosiasi Uni Parlemen). Pemilu Indonesia 1999 untuk pertama kalinya isu-isu mengenai hak-hak perempuan dalam politik mulai dikampanyekan. Saat ini Semakin banyak perempuan yang mengisi kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Proporsinya yang hanya sebesar 5,88% dari total anggota parlemen pada 1955 meningkat hingga 20,87% pada Pemilu 2019, sebanyak 120 perempuan terpilih untuk duduk di Senayan. Peningkatan juga terlihat dari partisipasi pemilih yakni sekitar 7% pada Pemilu 2019 naik cukup signifikan dari 75% menjadi 82% yang tertuang dalam Laporan KPU tahun 2019. Jumlah tersebut melebihi dari target nasional yakni 77,5%.
Melihat dari sudut pandang territorial yang lebih spesifik, tingkat keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Sulawesi Selatan juga terus mengalami peningkatan. Terhitung sejak pemilu 2009 yang jumlahnya hanya berkisar 16%. Pada Pemilu 2019 yang lalu mengalami peningkatan hingga 29% yakni 25 dari total 85 kursi. Tentu saja angka ini belum memenuhi kuota yang diharapkan.
Masalahnya, keterwakilan perempuan saat ini belum sinkrin dengan data yang masih menunjukkan diskriminasi gender yang mengakar. Data Kajian Indeks Ketimpangan Gender (GII) BPS, 2020, UNDP mengukur nilai GII Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata dunia dan wilayah Asia Timur & Pasifik pada angka 0,421 pada 2019. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan sebesar 51,9% masih terpaut jauh dari persentase laki-laki sebesar 83,1%. Catatan Tahunan oleh Komnas Perempuan Indonesia tahun 2020 terkait tindak kekerasan terhadap perempuan di Ranah Publik sebesar 21 % (1.731 kasus). Perkembangan teknologi juga membuka peluang terjadinya kasus kekerasan berbasis gender yang korbannya sebagian besar perempuan. Terlebih lagi, Perdebatan akan UU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) dan RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) masih bergulir tanpa ujung yang jelas.
Ann Philips dalam bukunya the Politics of Presence (1998), menegaskan bahwa wakil rakyat perempuan di parlemen seharusnya diharapkan mampu membawa ide serta gagasan yang mengubah arah kebijakan politik sehingga pada akhirnya mampu memprestasikan kepentingan konstituennya, yakni kelompok perempuan. Tingkat representasi perempuan di parlemen yang semakin meningkat patut diberikan apresiasi, tetapi jangan sampai keterwakilan tersebut hanya sebatas kuantitas, tanpa adanya kualitas yang memadai dari kualitas kader perempuan.
Problem ini mengharusnya hadirnya upaya sinergitas dan kolaborasi bersama dalam penyadaran dan penguatan keterampilan perempuan untuk terlibat aktif dalam urusan politik, baik melalui partai politik maupun ruang lainnya. Gun Gun Heryanto dalam bukunya Literasi Politik menyatakan bahwa penguatan literasi politik menjadi solusi dalam menambah pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam mengakses, mengomparasikan, dan mengomunikasikan data dan informasi politik kepada orang lain. Kemampuan literasi politik meliputi masyarakat sadar akan proses pembuatan keputusan, mengenali hak politik dengan baik, familiar dengan penyataan dan keputusan politik, mengembangkan serangkaian nilai, serta ikut terlibat dalam dialog isu politik. Upaya penguatan literasi politik untuk mendukung representasi perempuan yang berkualitas perlu didukung dengan perspektif policy network.
Dikutip dalam buku Kolaborasi dan Kinerja Kebijakan Publik oleh Alwi tahun 2018, Rooders mengatakan hadirnya kebijakan publik yang baik dari hasil sinergitas aktor dalam pengelolaan sumber daya untuk mencapai tujuan yang sama.
Kegiatan sosialisasi yang selama ini dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya efektif untuk meningkatkan partisipasi pemilih, bahkan kampanye yang dilakukan partai politik masih belum cukup untuk memberikan modal pengetahuan bagi pemilih atas calon yang akan dipilihnya. Optimalisasi pengelolaan sumber daya yang ada dengan regulasi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum melalui pelibatan aktor lainnya, seperti perguruan tinggi, media dan non-government organization (NGO). KPU, partai politik dan parlemen menjadi leading sector mendorong komitmen terwujudnya SDGs Poin 5 tentang kesetaraan gender. Media dapat memberikan publikasi berita yang mengandung edukasi politik bagi masyarakat, utamanya perempuan. Lembaga studi gender dan penelitian di perguruan tinggi dapat menjadi inkubator data dan informasi yang dapat menjadi rujuan pembenahan program dan penyusunan kebijakan publik kepada anggota legislatif. Disamping itu, partai politik terus mendorong penguatan kaderisasi dan pendidikan politik. Serta, disupport oleh non-government organization (NGO) dan kelompok perempuan terkait edukasi dan kesadaran politik.
*) Penulis adalah LSKP Project Leader and Junior Researcher.