Oleh : Safrin Salam, S.H., M.H.*
Hukum untuk Manusia bukan manusia untuk hukum. Inilah istilah yang dicetuskan oleh Prof. Satjipto Raharjo yang menggagas hukum progresif. Hukum diposisikan untuk memanusiakan manusia. Istilah, hukum untuk manusia secara kongkrit bisa ditemukan pada kearifan leluhur yang hidup di dalam masyarakat hukum adat pada konteks penegakan hukumnya. Salah satu masyarakat hukum adat yang masih menjaga secara luhur hukum adat ini adalah Masyarakat Adat Tangkeno yang berada di Desa Wisata Tangkeno, Kecamatan Kabaena Kabupaten Bombana (1500 mdpl).
Bagaimana tidak, sebagai sebuah desa wisata Kepala Desa Tangkeno menggunakan hukum adat sebagai hukum positif dalam menjaga keamananan dan ketertiban hukum Masyarakat Tangkeno. Kepala Desa Wisata Tangkeno yang juga memagang jabatan sebagai ketua lembaga adat menjadikan hukum adat sebagai panglima tertinggi dalam melaksanakan penegakan hukum di Desa Wisata Tangkeno. Salah satu karya nyata yang dilakukan adalah menggagas Peradilan Adat Tangkeno dalam penyelesaian kasus-kasus (sengketa) di Desa Wisata Tangkeno.
Pada proses penyelesaian perkara pidana (minum-minuman keras, perkelahian, dll). Jikalau terjadi kejahatan, maka Kepala Desa Tangkeno membawa para pelaku ke dalam Peradilan Adat yang dihadiri oleh perangkat adat, tokoh masyarakat, perangkat desa dan masyarakat umum. Pada hukum acara peradilan adat, para pelaku didengar kesaksiannya alasan mereka melakukan kejahatan tersebut. Kemudian, setelah mendengar alasannya, kepala desa menanyakan kepada Pelaku-Pelaku Tentang Sanksi Apa Yang Harus Mereka Terima Jika Mereka Kembali Melakukan Kejahatan. Pelaku-pelaku ini dari hati dan pikiran sadar kemudian mengutarakan satu persatu sanksi yang mereka terima dan jalani jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar hukum adat. Adapun sanksi pidana yang disebutkan adalah 1. Diusir dari desa, 2. Memukul diri sendiri, dan lain-lain. Setelah para pelaku menyampaikan sanksi, kepala desa kemudian mencatat daftar sanksi yang harus dijalani oleh para pelaku tersebut. Kemudian, daftar sanksi ini disahkan sebagai sanksi hukum adat melalui musyawarah di Lembaga Adat. Uniknya, setelah sanksi adat ini disahkan, para pelaku tidak langsung dihukum, para pelaku kemudian dibebaskan dengan syarat jikalau para pelaku melakukan kejahatan tersebut maka para pelaku langsung menjalani sanksi yang mereka sebutkan sendiri.
Setelah selesai dalam forum Peradilan Adat, hasil keputusan tersebut dikuatkan kembali oleh kepala desa dalam bentuk peraturan desa tentang sanksi pidana bagi pelaku kejahatan. Dengan adanya, peraturan desa sanksi pidana adat yang sudah ditetapkan dalam peradilan adat menjadi lebih kuat dan mengikat bukan hanya untuk pelaku tapi juga untuk masyarakat tangkeno. Kemudian, pada satu waktu, para pelaku tersebut untuk kedua kalinya melakukan kejahatan yang sama yakni melakukan minum-minuman keras. Akhirnya, pada saat itu pula, para pelaku yang ditemukan oleh masyarakat, dibawa ke forum Peradilan Adat disaksikan oleh perangkat adat, tokoh masyarakat kemudian menjalani sanksi pidana adat tersebut.
Penerapan sanksi adat di desa wisata Tangkeno cukup efektif untuk menekan angka kejahatan di Desa Wisata Tangkeno Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana. Sanksi yang diterapkan diterima, dipatuhi dan dilaksanakan oleh Masyarakat Tangkeno dari dahulu hingga saat ini. Oleh karena itu, keadaan tersebut sangat relevan dengan temuan di lapangan bahwa tingkat kejahatan di Desa Wisata Tangkeno berjumlah 0 (nol) persen. Temuan ini menunjukan begitu efektif penerapan hukum adat sebagai hukum positif dalam penegakan hukum di Desa Wisata Tangkeno.
Nilai Hukum Pidana Adat Tangkeno
Penerapan nilai-nilai hukum pidana adat melalui Peradilan Adat Tangkeno sejatinya telah memberikan inspirasi hukum bagi perbaikan peradilan umum (Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung). Salah satu inspirasi hukum adalah hukum ada untuk manusia, hukum untuk memanusiakan manusia. Nilai hukum ini menjadi sumber pembentukan Hukum Pidana Adat Tangkeno yang bertujuan melalui Peradilan Adat, proses penyelesaian perkara tidak ada kalah dan menang, proses perkara dan perselisihan selesai di tingkat desa. Sehingga tujuan hukum tercipta yakni perdamaian dan harmonisasi yang membentuk keseimbangan hukum dalam kehidupan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, Tujuan hukum Peradilan Adat ke depan harus menjadi sumber hukum dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia, mengambil, mengutip inspirasi dari nilai-nilai Hukum Adat Tangkeno, kedepan proses penyelesaian kasus pidana harus berlandaskan pada hukum untuk manusia. Pelaku harus diberikan kesadaran hukum secara intrinsik melalui proses penyesalan dari sanksi yang berasal dari diri para pelaku. Sehingga, efek jera lahir bukan karena hukum itu, tapi ia lahir dari kesadaran hukum yang muncul dari hati dan pikiran para pelaku. Inilah esensi dari Peradilan Adat Tangkeno yang diimplementasikan dalam sanksi pidana adat yang berasal dari manusia untuk manusia.
*) Penulis adalah Dosen Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton