Beranda Mimbar Ide “Kaoem Moeda”, Indonesia dan Emansipasi

“Kaoem Moeda”, Indonesia dan Emansipasi

0

Oleh : Asratillah*

159 tahun lalu, “Indonesia” sebagai sebuah “lokasi” pertama kali disebut secara akademik, tepatnya di majalah “Journal of the Indian  Archipelago and Eastern Asia” (1850) yang ditulis oleh etnolog asal Inggris yang bernama G.W Earl. Walaupun istilah yang digunakan belum sepenuhnya berbunyi “Indonesia” tapi masih berbunyi “Indu-nesian”. Istilah ini dia tuliskan dengan mencontoh pada istilah “Polynesian”. “Indunesian” bersama “Melayunesian” dimaksudkan oleh Earl sebagai sehimpun penduduk yang berkulit coklat dan mendiami Kepulauan Nusantara.

Earl secara pribadi lebih menyukai istilah “Melayunesian” dibanding “Indunesian”. Namun kata “Indunesian” dihidupkan lagi secara akademik oleh seorang etnolog asal Inggris juga, yang bernama J.R. Logan. Dalam “The Ethnology of The Indian Archipelago” (1850), Logan menyebut “Indonesia” sebagai sinonim bagi “Indian Archipelgo” (Kepulauan Nusantara). Dan ini menunjuk kepada sekumpulan manusia yang ditandai oleh kemiripan bahasa-bahasa yang digunakan, dan tentunya kemiripan dalam hal kebudayaan. Logan di sini agak berbeda dengan Earl, jika Earl menempatkan “Indonesia” dalam artian etnologis sepenuhnya, maka Logan menempatkannya dalam artian yang lebih geografis.

Lalu 27 tahun kemudian, kata “Indonesia” digunakan dalam artian yang lebih spesifik lagi dalam konteks etnologi.  E.T Hamy, seorang sarjana asal Perancis dalam “Les Alfourous de Gilolo”  (1877), istilah “Indonesia” dimaksudkan sebagai kelompok-kelompok alamiah tertentu dalam penduduk Melayu yang mendiami gugusan pulau tertentu, serta  mengingat kelompok-kelompok ini juga sedikit banyaknya menunjukkan adanya pengaruh-pengaruh Mongol. Bahkan Indonesia juga menunjuk kepada kelompok-kelompok proto-melayu, meliputi orang-orang Batak, Dayak, Toraja dan sebagainya.

Lalu di tangan Adolf Bastian seorang sarjana asal Jerman, istilah “Indonesia” dimantapkan. Istilah “Indonesia”, dipakainya sebagai bagian dari judul karyanya “Indonesian oder die Inseln des Malayischen Archipels” (1884). Dan kata “Indonesien” dalam karya tersebut tidak lain dari “kepulauan Nusantara” itu sendiri.  Walaupun kemudian ada beberapa sarjana terutama yang berdarah Belanda, tidak sepakat dengan penggunaan istilah “Indonesia”, dengan alasan istilah tersebut bisa membingungkan.

Namun, aktivitas ilmiah tidaklah berlangsung dalam situasi hampa kepentingan. Terkadang tanya dalam rumusan masalah dituntun oleh kepentingan tertentu. Apakah dituntun oleh jenis kepentingan teknis tertentu, oleh jenis kepentingan pemaknaan tertentu, ataukah kepentingan emansipasi (jika kita meminjam gagasan Jurgen Habermas). Mungkin begitu pula dengan istilah “Indonesia”, lahir tidak hanya dalam rangka untuk lebih mengetahui secara lebih detil atau memahami sekumpulan orang yang hidup dalam gugusan pulau tertentu dan memiliki karakter kebudayaan tertentu.  Tapi juga lahir dalam rangka agar bisa lebih efisien dalam “mengatur dan mengendalikan” orang-orang yang berada dalam wilayah kekuasaan negara-negara kolonial waktu itu. Ada “aroma hasrat tuk menguasai” dalam kelahiran kata “Indonesia”.

Tapi begitulah “kata”, dia tidak lahir begitu saja dalam panggung sejarah, terkadang dalam dirinya terdapat semacam “tuah” yang mengundang interpretasi dan imajinasi. Senantiasa ada “celah” ataupun “retak” yang disisakan oleh sebuah kata/istilah, agar diisi pemaknaan yang cukup berbeda dari maksud awal penemunya. Kata “Indonesia”  tidak hanya mengundang perdebatan dalam forum-forum akademik, tetapi istilah itu juga mengundang imajinasi politik. Dan ini salah satunya ditunjukkan oleh perubahan nama sebuah perhimpunan pelajar Indonesia di tanah belanda, nama “indische  Veregining” berubah menjadi “Indonesische Veregining”. “Indonesia” tak lagi menjadi instrumen pengetahuan di bawah kepentingan teknis-menguasai dan kepentingan memahami, tetapi telah bermetamorfosa menjadi istilah yang dituntun oleh kepentingan emansipasi (pembebasan). Jika pada awalnya “Indonesia” seringkali identik dengan “Hindia Belanda”, akhirnya menjadi imajinasi yang membayangkan sebuah negeri yang “bukan Hindia Belanda”. Sekumpulan orang yang dijuluki “Indunesian” atau “Indonesia” awalnya secara politik dianggap subordinat dari Kerajaan Belanda, namun akhirnya tak demikian adanya, yang dahulu disubordinasi merangkak-melawan pelan-pelan agar bisa setara secara politik dengan bangsa-bangsa lain.

Imajinasi politik akan “Indonesia” seakan semakin mengental saat 28 Oktober 1928, yang kita kenal dengan peristiwa Sumpah Pemuda, dimana “Indonesia” telah dikrarkan sebagai tanah air-bangsa-bahasa yang bukan “Hindia Belanda”. Lalu di tahun 1938, di Solo diadakan Kongres Bahasa Indoensia yang pertama. Penemuan akademis akan kata “Indonesia” menjadi bahan bakar imaji dan ekspektasi akan lahirnya sebuah bangsa baru.

Imaji ini terus dikayakan oleh respon ideologis sekelompok kaum muda Indonesia terhadap negara kolonial yang represif. Siapakah gerangan yang dimaksud dengan kaum muda tersebut ?. Yudi Latif dalam “Intelegensia Muslim dan Kuasa” (2005), menuliskan bahwa kaum muda itu adalah lapis awal kelompok minoritas intelegensia Hindia Belanda. Pada dekade awal abad ke 20, muncullah istilah “bangsawan pikiran” dari kelompok tersebut. “Bangsawan pikiran” menunjuk kepada generasi baru Hinida Belanda yang terdidik secara modern (yang kelahirannya didorong oleh kebijakan Politik etis Kerajaan Belanda kepada Hindia Belanda) dan ikut serta dalam gerakan menuju “kemadjoan”. Antinomi dari “Bangsawan Pikiran” adalah “Bangsawan Oesoel” yang dikaitan dengan kebangsawanan yang lama (yang mungkin prestise diri ditakar melalui garis keturunan dan kepemilikan tanah).

Pada tahun 1910-an, agar kaum “bangsawan pikiran” bisa terlihat jelas bedanya dari “bangsawan oesoel”, lalu secara kolektif “bangsawan pikiran” diberi nama “kaoem moeda”, sementara kolektivitas “bangsawan oesoel” diberi nama “kaoem toea”. Dari istilah “kaoem moeda” maka muncullah istilah “kaoem terpeldjar”, “poemoeda peladjar” atau “jong”  dalam bahasa belanda. Singkat kata kaum muda adalah generasi terpelajar yang menjadi agen kemajuan, pencipta momentum perubahan dan anti kejumudan/kemapanan/status quo.

Kalau membaca ulang narasi di atas, maka sangat terlihat jelas bahwa kata “Indonesia” beralih bentuk dari sarana “penguasaan” ke “pembebasan”, karena adanya etos kemajuan-perubahan-anti kemapanan, yang dimotori oleh “kaoem moeda”. Saya bisa membayangkan jika etos kemajuan-perubahan-anti kemapanan tersebut hanya sekedar pemanis di bibir saja, maka bisa jadi kaitan antara kata “Indonesia” dan kepentingan emansipasi (pembebasan dari kemiskinan, subordinasi, ketidakadilan, penghisapan ekonomi dll.) akan terputus sama sekali. Dan kata “Indonesia” hanya menjadi ritual birokratik-seremoni-akademik yang justru menjadi sarana “teknis penguasaan” seperti pertama kali ditemukan.

Jika di awal-awal revolusi kemerdekaan, kita menyebut Indonesia bukan “Hindia Belanda” dan bukan “jajahan Jepang”. Lalu di awal-awal upaya perumusan asas dan bentuk negara, kita menyebut Indonesia bukan “negara kapitalis-liberal”, bukan “negara totaliter”, bukan “negara komunis”, bukan “negara agama”, atau dalam pidato Bung Karno “bukan bangsa satu untuk semua, atau semua untuk satu, tapi semua untuk semua”. Maka kini barangkali “kaoem moeda” mesti berani berpekik bahwa Indonesia bukanlah “ketidakadilan”, bukanlah “sarang koruptor dan demagog”, bukanlah “bangsa yang miskin”, bukanlah “ketimpangan antara si miskin dan si kaya” dan bukanlah “lumbung penyimpanan harta para oligark”.

*) Penulis adalah Peneliti di Penta Helix Indonesia

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT