Oleh : Adinda Nurul Aulia Maksun*
Sejak diterbitkan, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permen Dikbudristek) Republik Indonesia No. 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi pada Agustus 2021 menuai Pro dan Kontra dari berbagai pihak. Dari kalangan Pro, seperti YLBHI/LBH Jakarta, Makassar, Palangkaraya, Yogyakarta dan Pekanbaru menilai bahwa Permendikbudristek ini adalah langkah nyata untuk memutus rantai kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus dalam rangka memberikan rasa aman dan keadilan bagi para korban. Hadirnya permen Dikbudristek ini berangkat dari keresahan-keresahan masyarakat yang timbul dari banyaknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang selama ini terjadi khususnya di lingkup kampus.
Disisi lain, berbagai organisasi seperti Muhammadiyah dan ICMI menilai bahwa seharusnya dalam menyusun kebijakan dan regulasi sebaiknya didasari pada nilai-nilai agama, pancasila, UUD NRI 1945 dan lebih akomodatif terhadap publik terutama berbagai unsur penyelenggara Pendidikan Tinggi, serta memperhatikan tertib asas, dan materi muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dibalik pro kontra tersebut, penulis memiliki analisis dan pandangan tersendiri terkait Permen Dikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini. Setidaknya terdapat beberapa kejanggalan yang menjadi catatan yang dianggap penting untuk djelaskan. Adapun catatan tersebut meliputi :
Pertama, tentang Frasa “Tanpa Persetujuan Korban”. Pasal 5 Ayat (2) yang memuat frasa ”tanpa persetujuan korban” dalam Permen Dikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang jika diartikan dapat mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent)”. Dengan adanya legalisasi berbasis persetujuan tersebut dengan tidak lagi berpedoman pada nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa maupun norma sosial yang berlaku tentu akan berimplikasi bahwa selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.
Disisi lain, dalam hal membaca peraturan perundang-undangan ketika menggunakan penafsiran original intent, tentu frasa ”tanpa persetujuan korban” ini akan menjadi kontroversial. Karena dapat dibenarkan ketika ada consent.
Pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Oleh karena itu, sebaiknya frasa tersebut diramu kembali untuk mendapatkan frasa yang lebih tepat.
Kedua, tentang Pembentukan, dan Keanggotaan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SATGAS). Satgas sebagai pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 14 Angka 1 dan Pasal 6 Ayat (3) mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam hal memberikan penilaian jika pelaku terbukti melakukan kekerasan seksual. Penilaian tersebut berujung pada pengenaan sanksi adminitratif sesuai Pasal 14 Ayat (1) Permen Dikbudristek No. 30 Tahun 2021.
Adapun pengenaan sanksi administratif tersebut diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) terdiri dari Pengenaan sanksi administratif kategori ringan, sedang dan berat.
Dalam Permen Dikbudristek ini telah menjelaskan terkait model pemberlakuan sanksi administratif tersebut, seperti halnya kategori sanksi administratif ringan berupa teguran tertulis, permintaan maaf, dan lain sebagainya. Namun sangat disayangkan, pemberlakuan sanksi administratif tersebut tidak jelas dalam hal pengklasifikasiannya. Hal ini dikarenakan, dalam peraturan ini tidak dijelaskan “tindakan atau perbuatan yang seperti apa” yang masuk ke dalam kategori pemeberlakuan “sanksi ringan, sedang dan berat.” Sehingga tidak ada acuan dalam pemberlakuan sanksi tersebut. Sebagai perumpamaan saja, apakah setimpal jika tindakan kekerasan seksual ini diberikan teguran tertulis atau bahkan dengan permintaan maaf saja?
Kemudian jika melihat Pasal 13 Ayat (1) menyebutkan bahwa Satuan Tugaslah yang menentukan pelaku tersebut terkbukti berasalah atau tidak. Namun, ketika berbicara terkait pembuktian, maka hal ini indentik dengan Penyidikan dan Penyelidikan dalam Pasal 1 Angka 1 KUHAP yang mengatakan bahwa Penyidik berasal dari unsur pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu dan Penyelidik berasal dari unsur pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang.
Lantas, bagaimana unsur keanggotaan Satuan Tugas ini?
Pasal 27 Ayat (1) tentang Keanggotaan Satuan Tugas berasal dari Perguruan Tinggi yang terdiri atas unsur:
a. Pendidik;
Penjabaran dari unsur Pendidik ini tidaklah jelas, jika kita menafsirkan Pendidik adalah Dosen. Perlu kita ketahui bersama bahwa Dosen terdiri dari Dosen yang telas berstatus PNS dan juga ada yang belum berstatus PNS. Jika kembali melihat unsur dari penyidik adalah harus pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
b. Tenaga Kependidikan;
Pasal 1 Angka 8 menyebutkan bahwa Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pasal tersebut juga tidak memiliki unsur yang jelas anggota masyarakat yang seperti apa dan belum tentu juga berstatus sebagai PNS ketika melihat unsur dari penyidik dalam KUHAP.
Jika berkaca pada UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen PADA Pasal 48 Ayat (1) yang dimaksud dengan tenaga pendidik adalah dosen tetap dosen tidak tetap. Jika merujuk pada poin a dan b diatas dapat diartikan dengan Dosen. Bahkan ketika menggunakan definisi terkait tenaga pendidik akan lebih terukur dan jelas di UU Guru dan Dosen. Jikalau, maksud dari tenaga kependidikan itu di tafsirkan sama dengan UU Guru dan Dosen, maka seharusnya UU tersebut dimasukkan ke dalam konsideran menimbang dalam permendikbud ini.
c. Mahasiswa.
Keterlibatan Mahasiswa dalam Satuan Tugas ini, menjadi sorotan yang penting. Perlu diketahui bahwa Kasus Kekerasan Seksual jangan disempitkan hanya terjadi pada mahasiswa saja, akan tetapi ini berbicara tentang lingkup Perguruan Tinggi yang terdiri dari Mahasiswa, Dosen, Rektor, Staff, dan lain sebagainya. Ketika perumpamaan korbannya adalah Rektor ataupun Dosen, bagaimana proses penyidikan dan penyelidikannya? Ketika yang bertugas sebagai satuan tugas adalah mahasiswa. Kemudian jika merujuk kembali pada Pasal 1 KUHAP, tidak ada sama sekali unsur dari mahasiswa dan unsur anggota masyarakat yang disebutkan.
Berdasarkan poin pertimbangan tersebut, Penulis menganggap Permen Dikbudristek ini tidak tepat diterapkan dan harus dicabut. Walaupun demikian, penulis juga mendukung adanya regulasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkup kampus. Namun dengan syarat menggunakan frasa yang sesuai dan akomodatif yang harus berpedoman kepada nilai-nilai agama, Ketuhanan Yang Maha Esa dan norma-norma sosial yang berlaku di Masyarakat. Selain itu juga, unsur satgas dalam Permen Dikbudristek ini seharusnya berasal dari Unsur Penegak Hukum ataupun Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang oleh Undang-undang sehingga proses penyidikan dan penyelidikan berjalan sesuai aturan dan sah secara hukum.
Dengan demikian, sebaiknya regulasi terkait kekerasan seksual lebih baik diatur dalam kebijakan yang berbentuk Undang-Undang karena memiliki daya paksa yang mengikat dibandingkan dengan kebijakan yang berbentuk Peraturan Menteri.
*) Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Hukum UNHAS, aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai Sekretaris Umum Pikom IMM FH UNHAS. Pernah turut terlibat dalam menulis beberapa buku seperti “Omnibus Law : Senjakala Politik Hukum Tuan Presiden, Penguatan Institusi Kejaksaan Sebagai Penegak Hukum, dan buku terkait Pengkajian dan Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan”.