Oleh : Rini Sulistiani*
Tulisan ini memaparkan tentang kapitalisme dengan lingkungan, perlu diketahui bahwa Kapitalisme terus melangkah maju. Sejak munculnya, sebagai suatu sistem pada era akhir abad 16, kapitalisme masuk dalam berbagai bidang baik pendidikan, media, industri, rumah sakit, lingkungan hidup dan bahkan pada wilayah yang dianggap sakral dan privat: agama. Kapitalisme seolah seperti busa spon yang menyerap berbagai aspek dan masih menyisakan bekasnya. Kapitalisme kerap kali menjadi tema sensitif dan mengalami penolakan. Wajah kapitalisme dianggap jahat karena terkesan eksploitatif dan diramalkan akan mengalami keruntuhan. Dalam perjalanan sejarah, kapitalisme menunjukkan sosok barunya. Dinamika kontekstual dan perkembangan global mengharuskan kapitalisme memperbaiki diri dan berpartisipasi langsung dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan universal dan lingkungan hidup sebagai bentuk tanggung jawab sosial.
Kapitalisme yang tidak hanya bertitik tolak dari pemahaman sebagai suatu penguasaan pemodal. Kapitalisme tumbuh dan berkembang dalam gesekan dengan humanisme, yang berkelindan dengan berbagai situasi, terutama ketika perluasan dan penumpukan modal digunakan sebagai alat untuk merusak kelestarian alam. Dinamika kontekstual itulah yang mengharuskan kapitalisme berjalan beriringan dengan situasi global termasuk masalah-masalah kemanusiaan universal. Permasalahan yang akan dibahas adalah: Bagaimana perubahan sistem kapitalisme dalam menghadapi perkembangan zaman dan mengatasi masalah lingkungan.
Semenjak awal abad ke-21, kapitalisme telah menjadi sistem yang dapat dikatakan sebagai sistem global. Kejatuhan Uni Soviet pada tahun 1991 membuat sosialisme sebagai sebuah alternatif terhadap kapitalisme kian mengalami penurunan pengaruh. Walaupun gerakan sosialis masih menjadi suatu hal yang berpengaruh di beberapa bagian dunia, hal ini tidak dapat disandingkan dengan kekuatan kapitalisme yang nampak sebagai sebuah jalan kemaslahatan yang baru. Walaupun demikian, kapitalisme tetap mendapatkan kritik dari berbagai pihak, salah satu kritik terhadap kapitalisme di masa modern, yaitu bagaimana kapitalisme membawa kita kepada sebuah krisis ekologi yang tentunya akan menjadi masalah yang besar bagi umat manusia. Salah satu tanggapan dari masalah tersebut, dalam pembelaannya terhadap kapitalisme, yaitu dengan adanya konsep kapitalisme hijau.
Saat ini, mungkin sebagian masyarakat sudah tidak asing dengan produk yang berlabelkan ramah lingkungan, yang dipasarkan oleh perusahaan besar dan menjadi salah satu bagian dari kapitalisme hijau. Konsep dasar dari kapitalisme hijau adalah kita dapat menggunakan sistem pasar bebas untuk menyelamatkan lingkungan.
Salah satu argumen dasar dari kapitalisme hijau, yaitu kebanyakan dari sumber daya alam adalah terbatas dan terus menyusut, sehingga pada akhirnya pasar akan mengalami kekurangan. Karena sumber daya yang semakin terbatas, para pebisnis harus menemukan cara untuk tetap menghasilkan produksi yang banyak dengan sumber daya yang sedikit. Oleh karena itu, menggunakan lebih sedikit sumber daya akan membawa keuntungan tidak hanya bagi lingkungan, melainkan bagi akumulasi keuntungan itu sendiri. Terlebih lagi, perusahaan yang memilih jalan ramah lingkungan akan lebih banyak diminati dibandingkan dengan yang tidak dengan adanya kesadaran masyarakat.
Menurut Benjamin Barber, persoalan akan masalah yang dihadapi kapitalisme ini bukanlah perihal dari sistem kapitalisme itu sendiri, tetapi bagaimana kita menjalankan dan menerapkan kapitalisme dengan tepat sehingga kapitalisme dapat menjadi alat untuk melayani manusia dan lingkungan hidup sekaligus. Pada akhirnya, ide kapitalisme hijau membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa kapitalisme dan lingkungan hidup dapat berdampingan, sehingga kita tetap dapat dengan nyaman menyelamatkan planet dan juga pertumbuhan ekonomi secara bersamaan.
Ide kapitalisme hijau, tentu saja, mendapatkan kritik dari berbagai pihak. John Bellamy Foster dan Fred Magdoff, dalam bukunya yang berjudul What Every Environmentalist Needs To Know About Capitalism menyebutkan bahwa ide akan kapitalisme dan lingkungan yang hidup secara berdampingan memiliki suatu masalah yang besar, yaitu tujuan dari kapitalisme itu sendiri. Sistem kapitalisme yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan keuntungan, yang mana membawa kita pada transformasi berbagai hal menjadi sebuah komoditas yang dapat diberikan harga, tidak dapat berdampingan dengan lingkungan, karena pada dasarnya sistem kapitalisme tidak memiliki ‘jiwa’ ataupun cita-cita yang mengarah pada hal tersebut. Kebutuhan sistem kapitalisme untuk secara terus menerus memproduksi akan menyingkirkan segala yang berada di jalannya, dan bahkan terkadang hal tersebut dilakukan tanpa kita sadari sehingga sulit untuk menghentikannya.
Kritik lain terhadap hubungan antara kapitalisme dan lingkungan hidup datang dari Judi Bari, seorang aktivis lingkungan dari Amerika Serikat, yang ditulis dalam artikel berjudul pada Revolutionary Ecology. Walaupun artikel ini ditulis pada tahun 1995, namun kritik dari Judi merupakan sebuah kritik yang sangat mendasar dan dapat kita jadikan sebagai referensi hingga saat ini.
Dalam artikelnya, Judi menulis bahwa kapitalisme pada dasarnya tidak sejalan dengan lingkungan hidup karena sistem tersebut tidak sesuai dengan prinsip biosentrisme (deep ecology) yaitu sebuah prinsip di mana alam tidak tercipta untuk manusia, dan justru manusia merupakan bagian dari alam. Di masyarakat tradisional, tentunya konsep ini sudah tidak asing lagi. Namun, dalam kehidupan masyarakat modern dimana hampir seluruh masyarakat menjalankan sistem kapitalisme, biosentrisme tentunya merupakan sebuah konsep yang radikal dan menyerang sistem hingga ke dasarnya.
Dua poin utama yang dibawa Judi Bari dalam artikelnya, yaitu mengenai sistem kepemilikan pribadi dan konsep keuntungan/ profit. Pada poin pertama, dijelaskan bahwa konsep kepemilikan pribadi akan mendorong eksploitasi karena kepercayaan bahwa manusia dapat memiliki bumi. Problematika muncul dikarenakan kita tidak dapat melakukan sesuatu pada hak yang menjadi milik kita tanpa mempengaruhi lingkungan sekitar, karena adanya saling keterhubungan di bumi, dan alam tidak mengenal batasan batasan manusia.
Poin kedua yaitu mengenai konsep keuntungan/ profit. Judi berpendapat bahwa profit berarti mengambil lebih banyak daripada yang diberikan, di mana hal ini kontras dengan siklus kesuburan alam yang bergantung pada sebuah keseimbangan antara memberi dan mengambil. Terlebih dari itu, Judi menganggap bahwa keuntungan –tidak seperti teori Marxis– tidak hanya diambil dari eksploitasi terhadap para pekerja saja, melainkan terhadap sumber daya alam juga.
Bukti dari pernyataan ini dapat diambil dari penggundulan hutan, di mana produksi yang dilakukan secara terus menerus demi memperoleh keuntungan menghasilkan kerusakan yang parah. Pada akhirnya, Judi menyimpulkan bahwa sistem kapitalisme tidak bisa direformasi, sebab ia didirikan di atas kerusakan bumi dan eksploitasi manusia, sehingga kapitalisme hijau hanya merupakan sebuah slogan kosong.
Hal terakhir yang ingin penulis sampaikan mengenai kritik terhadap kapitalisme hijau, adalah mengenai pengaruh gerakan ini di masyarakat. Belakangan ini, produk-produk yang mengiklankan diri sebagai ramah lingkungan, organik, dan sebagainya makin ramai di pasaran. Walaupun kedengaran sebagai suatu hal yang baik, hal ini memiliki konsekuensi buruknya sendiri.
Melalui peran media dan iklan, konsumen merasa bahwa apa yang dibelinya tidak sekedar mengonsumsi suatu barang biasa, tetapi terdapat suatu kepuasan sendiri dan rasa mulia karena membeli produk yang berlabel ramah lingkungan dan sebagainya. Lebih jauh lagi, hal ini dapat menimbulkan suatu logika bawah sadar bahwa kita dapat menukar ataupun mengatasi kerusakan lingkungan dengan menggunakan uang atau mengonsumsi produk-produk yang berlabel ‘hijau’ tanpa perlunya suatu perubahan yang signifikan.
Alasan di balik hal tersebut adalah budaya konsumerisme yang telah menjadi bagian dari masyarakat kapitalis, telah disadari merupakan sesuatu yang buruk, namun untuk mengatasi dilema moral konsumen-konsumen, disediakan produk yang dapat mengatasi rasa bersalah tersebut. Hal ini pada akhirnya hanya akan menimbulkan suatu kepasifan di masyarakat yang pada akhirnya akan melestarikan status quo. Padahal, sebuah langkah besar dan kolektif perlu dilakukan untuk mengatasi lingkungan dan kita harus berpartisipasi di dalamnya.
Daftar pusataka
Zaidan Basyir Kiay, almer.2020. https://ksm.ui.ac.id/kapitalisme-hijau-solusi-atau-ilusi/
Ismulyadi. 2016. KAPITALISME SUARA HATI Humanika, Vol. 16, Nomor 1, September 2016
*) Penulis adalah mahasiswa ilmu Ekonomi Fakultas ekonomi dan bisnis Islam Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar