Beranda Ekologi M. Nawir: Sekelumit Pandangan Mengenai Gerakan Lingkungan Hidup

M. Nawir: Sekelumit Pandangan Mengenai Gerakan Lingkungan Hidup

0

Oleh : Idham Malik*

Saya menggunakan kata sekelumit (melihat kelumit) lantaran begitu luasnya pandangan M. Nawir/ Awi Mn mengenai tipologi gerakan lingkungan hidup. Sehingga yang dapat ditangkap hanya sedikit saja, meski begitu mungkin akan membantu kita untuk melihat perbedaan/tipologi gerakan lingkungan di Indonesia.

M. Nawir sebelumnya panjang lebar menjelaskan sejarah Hak Asasi Manusia di dunia. Hak yang diakui secara universal itu dakunya adalah produk Barat, berangkat dari tiga masa, yaitu masa pencerahan (Abad 15-18 Masehi), Masa Demokrasi Modern (19-20 Masehi), dan Masa trauma kebangsaan (Abad 20). Pencerahan ditandai dengan Piagam Magna Charta (Inggris, 1215) yang membatasi kekuasaan negara (raja) agar tidak semena-mena; pengakuan hak atas kepemilikan bagi non-bangsawan (baron), Bill of Rights (Inggris, 1668) yang mengakhiri kekuasaan mutlak penguasa raja (monarki absolut); hak veto parlemen, dan perlindungan hukum melalui peradilan. “No taxation without representation” atau “tidak ada pajak tanpa perwakilan” adalah slogan Revolusi Amerika (1778-1787). Kesetaraan (equality, kebebasan (liberte), dan solidaritas (fraternite) adalah slogan Revolusi Perancis (1789-1799). Sedangkan masa Demokrasi Modern ditandai dengan beberapa peristiwa yang melahirkan konsep, seperti Kontrak Sosial JJ Rosseau, dalam Negara terdapat ikatan politik antara Negara dan Rakyat. Serta konsep Jhon Locke berupa pemisahan dan keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislative dan yudikatif. Konsep Pilar Demokrasi/Pemerintahan, dimana masyarakat sipil (Civil Society) bersama partai politik, buruh, petani, forum warga dan koperasi. Lalu untuk trauma kebangsaan pada abad ke 20, ditandai dengan menguatnya sentiment kebangsaan seperti terbentuk dan berkuasanya Partai NAZI, terjadinya perang dunia ke 1 dan 2, munculnya gerakan kemerdekaan nasional, seperti Indonesia, China, Asia Tenggara, Afrika dll. Pasca itu, kelahiran PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) memicu menguatnya konsep Hak Asasi Manusia melalui Universal Declaration of Human Right.

Kelanjutan dari ini perwakilan bangsa-bangsa turut merumuskan Hak-Hak Sipil dan Politik serta hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB) pada 2005. Hak-hak ini muncul dengan adanya protes dari beberapa Negara, misalnya Mesir yang setuju dengan HAM tapi tetap mengokomodir penegakan Syariat Islam, juga Negara-negara komunis yang menginginkan ada ruang antara HAM dan ideology komunis, serta Indonesia sendiri yang mengkritik internasionalisme HAM jika dibandingkan dengan budaya atau nilai-nilai Asia.

Keluasan dari HAM ini pun menyentuh persoalan lingkungan, yang katanya di Indonesia baru dikenal pada tahun 1990-an dan semakin melejit pasca reformasi. Dari telisiknya terdapat beberapa konfrensi yang mencoba mengaitkan tema-tema lingkungan dengan Hak Asasi Manusia, seperti Konfrensi Stockolm (1972) yaitu konfrensi pertama PBB yang membicarakan lingkungan manusia (United Nations Conference on Human Environment) yang dihadiri 113 negara, lalu Sidang Umum PBB tahun 1983 yang melahirkan Word Commission on Environment and Development (WCED), lalu Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio de Jeneiro tahun 1992 dengan dirumuskannya 27 prinsip fundamental tentang lingkungan dan pembangunan. Lalu muncullah undang-undang skala nasional, seperti Undang-Undang N0. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH):  “Setiap orang mempunyai hak yang sama atas  lingkungan hidup yang baik dan sehat”. UU No. 32/2009: lingkungan yang baik dan  sehat merupakan hak asasi setiap warga Indonesia (amanat UUD 1945, dan UU HAM No. 39/1999). Dan “Kearifan lokal”, “kewajiban pencemar”, “legal standing LSM”, “class action”.

Dari penjelasan panjang lebar tersebut, kita pun memahami bahwa soal-soal lingkungan ini adalah buntut dari penerapan HAM, apalagi setelah adanya Hak EKOSOB tadi, lingkungan pun menjadi prioritas, apalagi ditambah dengan beragam skenario yang dibayangkan para ahli lingkungan mengenai masa depan bumi, mau tidak mau negara-negara di dunia mulai menaruh perhatian pada isu lingkungan, meski masih dalam porsi minimal, lantaran tetap ingin mempertahankan posisi ekonomi di atas negara-negara lain, atau skema ekonomi tetap berlangsung/berkelanjutan, dengan penerapan prinsip-prinsip lingkungan/berkelanjutan.

Untuk itu katanya, merespon kegagalan-kegagalan pengelolaan lingkungan akibat ekspoitasi sumberdaya alam itu muncullah Ten Group (Kelompok Sepuluh) di Amerika Serikat, yaitu diantaranya Asosiasi Taman Nasional dan Konservasi, National Wildlife Federation, Dewan Pertahanan Sumberdaya Alam, Liga Izaack Walton, Pembela satwa liar, Dana Pertahanan Lingkungan, Institut Kebijakan Lingkungan. Salah satu eksponennya yaitu Sierra Club yang didirikan di San Fransisco pada 1891, Audubon Society atau Wilderness Society.

Saya kira, dari perubahan-perubahan alur berfikir dan kebijakan dunia ini pun mendorong lahirnya beragam LSM-LSM lingkungan yang bertaraf dunia, dan barangkali turut memicu lahirnya LSM lokal dan nasional di Indonesia sendiri. “Dahulu, LSM belum bisa bergerak atas nama rakyat, baru setelah ada WALHI yang mula-mula mengatasnamakan rakyat sebagai gerakan lsm,” ujar M. Nawir.

Maka, berdasarkan telisik M. Nawir secara paradigmatik (semoga saya tidak keliru menerjemahkan), gerakan lingkungan terbagi dua, yaitu Enviromentalist atau semua bentuk perilaku kolektif yang bertujuan memperbaiki cara-cara destruktif dari tindakan manusia terhadap lingkungan, seringkali bertentangan dengan logika struktural dan institusional. Dibandingkan dengan ecologyst:
Seperangkat keyakinan dan teori yang menganggap manusia sebagai komponen  ekosistem yang lebih luas dan harus menjaga keseimbangan sistem secara evolusioner.

Environmentalist lebih bersifat teknokratik akademik berbasis pendekatan program yang menyesuaikan dengan sistem ekonomi dan politik yangberlaku, sedangkan ekologis menyesuaikan dengan cara hidup dan nilai-nilai hidup masyarakat lokal yang berinteraksi dengan alam.

Saya kira ini penting untuk dipahami agar kita tidak buta dan menyamaratakan semua pendekatan atau cara penyelamatan lingkungan, padahal masing-masing gerakan berangkat dari pandangan dan asumsi serta target yang erbeda. Pada umumnya  kita hanya mengetahui bahwa ada aktivis yang bergerak di jalur ekstrim sebutlah Green Peace ataupun Walhi, serta ada aktivis yang menempuh jalur halus/sofht yang menjalin kerjasama atau bahasa jaman dahulunya kooperatif.

Dari dua paradigma itu pun terbagi menjadi tiga yaitu satu di sisi bersifat Isntrumental/Instrumental movement: konservasionis-preservasionis, mendorong kampanye kebijakan, dan mobilisator perubahan gaya hidup dan praktik ekonomi. Instrumental yang dimaksud bahwa gerakan-gerakan ini adalah alat/instrumen politik ekonomi mainstrem agar tetap berkelanjutan. Kemudian Sub Kultural/sub cultural movement: LSM alterantif, misalnya LSM pendidikan, LSM kebudayaan, LSM adat, dan yang sejenisnya yang memperjuangkan lokalitasnya. Lalu Kontra Kultur/Contra cultural movement; contoh dari ini adalah gerakan-gerakan ekologi dalam/deep ecology yang mendorong penguatan nilai-nilai kehidupan (Arne Naess) seperti gerakan menghormati hutan ataupun hewan-hewan secara setara dengan manusia dan ekologi sosial/Eco Socialist yang merupakan gerakan protes terhadap sistem ekonomi politik yang destruktif yang menjadi penyebab segala bentuk bencana, mulai dari banjir hingga corona.

M. Nawir mencontohkan lagi pembagian itu, misalnya Conservation  of nature: identitasnya adalah pecinta lingkungan, musuhnya adalah pembangunan yang tidak terkontrol, dan sasarannya adalah wilderness/penghutanan/hutan belantara. Contoh berikutnya adalah Defense of Own Space (Not in My Back Yard) merupakan sebuah komunitas local yang memusuhi para pembuang limbah yang mencemari lingkungan dan mengharapkan kualitas hidup yang lebih baik. Kemudian Counterculture Deep Ecology (Eart First, ecofeminism) yang mengidentifikasi diri sebagai diri yang hijau (Green Selft) dan melawan praktik indutrialisme, teknokrasi dan partriarki, dan mengidealkan hidup yang natural (Ecotopia). Lalu Save the Planet (Green Peace) yang mengidentifikasi diri sebagai Internasional Eco warriors dan menekan perkembangan dunia yang liar, dengan nilai-nilai mendorong keberlanjutan/sustainability. Dan contoh terakhir dari tipologi adalah Green Politics yang merupakan kumpulan akar rumput/warga yang peduli/Concerned Citizens yang melakukan perlawanan contra kultur terhadap tatanan masyarakat yang didukung juga oleh warga. Contoh dari Green Politics ini adalah Die Gru Nen, partai hijau yang berafiliasi dengan German Green Party (1980).

Setelah penjelasan contoh-contoh itu, M. Nawir mengkrucutkan lagi tipologi ini menjadi tiga, yaitu Moderat : Aliran Pembangunan Lingkungan (Eco Developmentalism atau environmentalism) yang menuntut keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang ramah lingkungan/keberlanjutan/sustainability. Reformis : Aliran ekologi kerakyatan – lingkungan kerakyatan (Eco populism), gerakan lingkungan untuk kesejahteraan rakyat, sumberdaya hutan untuk rakyat (Forest for People). Radikal: Aliran Fasisme ekologis (eco fasisme), memperjuangkan masalah lingkungan demi lingkungan itu sendiri.

Lalu M. Nawir memberikan panjang lebar pemikiran para eco socialist, diantaranya Antonio Gramci yang menyumbangkan konsep hegemoni serta dampaknya pada manipulasi ilmu pengetahuan. Vandana Shiva yang menekankan karakter ilmu dan teknologi yang reduksionis  dan mendukung struktur ekonomi yang eksploitatif. Robb Wallace, Jared Diamond hingga Crishtos Lynteris.

Dari sekian tipologi gerakan lingkungan itu, M. Nawir melihat pada situasi bencana seperti Pandemi, dapat terjadi Arus Balik Budaya Ekologis. Kiri – kanan akan lebur untuk menjawab suatu kondisi bencana, hingga bersandar pada dasar yaitu penghormatan pada lingkungan dan kebudayaan. “Situasi seperti saat sekarang ini menyebabkan pada diri kita sikap wawas diri,” kata M. Nawir, menyadarkan pada kita bahwa rezimentasi pembangunan telah berkontribusi besar menimbulkan bencana ekologis.

“Suatu keharusan manusia modern berkaca kembali pada pendekatan kebudayaan dalam mengatasi tantangan dan krisis ekologi,”kata M. nawir.

Materi pun ditutup, langit sudah gelap, lampu dipadamkan, kelas usai, dan menyisakan demikian banyak tanya. Terimakasih Awi Mn atas bagi-bagi ilmunya, serta teman-teman yang terlibat sebagai peserta Fasilitator Komunitas beberapa minggu lalu

*) Penulis adalah koordinator Kader Hijau muhammmadiyah Sulawesi Selatan

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT