Beranda Mimbar Ide Mempertanyakan Keadilan Pembangunan Bagi Nelayan Pesisir Kota?

Mempertanyakan Keadilan Pembangunan Bagi Nelayan Pesisir Kota?

0

Oleh : Ian Hidayat*

Sebelah barat Kota Makassar hari itu ramai dengan mahasiswa mengenakan alamameter berwarna hijau, identitas kampus Universitas Islam Negri (UIN) Alauddin Makassar. Mereka berkumpul di Pantai Losari, salah satu ikon kota Makassar untuk mengamati hilal. Hari itu memang menjadi momen pergantian bulan Dhulhijjah ke bulan Muharram, juga sebagai pergantian tahun menurut kalender Hijriah.

Secara kebetulan, saya baru saja datang dari pelabuhan Kayubangkoa dan bertemu beberapa kawan dari UIN. Kami sempat bercakap tentang beberapa agenda ke depan, tapi yang menarik dari aktivitas mereka. Sembari menunggu hilal mereka mengambil gambar Masjid 99 Kubah, masjid terbesar dan termegah di daratan Kota Daeng. Katanya untuk keperluan pamflet Tahun Baru Hijriah yang nantinya disebar di berbagai media sosial. Ingatan tentang reklamasi dan nasib nelayan pesisir kota tiba tiba terbersit.

Ancaman tentang perampasan ruang hidup masyarakat nelayan pesisir menjadi isu hangat hari ini. Pemiskinan struktural akibat tidak tertibnya tata ruang kota berdampak besar bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, terlebih terhadap masyarakat pesisir. Belum lagi simbolis budaya publik, yang menambah penderitaan nelayan kecil. Para agamawan dan kelas penguasa menjadi satu dalam perspektif

Pembangunan yang lebih mengedepankan nilai estetika dibanding hak hidup nelayan menjadikan daerah permukiman nelayan pesisir rawan digusur untuk diganti dengan bangunan megah semisal tempat ibadah dan area foya foya yang notabene tidak berguna dibanding menjadi area tangkap nelayan. Kombinasi semangat nasionalis dan agama yang eksterm hasil dari hegemoni simbolis budaya politik sangat merugikan masyarakat nelayan kecil kota.

Hegemoni Sosial Budaya yang dikonstruk oleh penguasa semakin meminggirkan masyarakat nelayan perkotaan. Menurut Gramsci (dalam Tilaar, 2003:77-78) hegemoni adalah kondisi sosial dalam semua aspek kenyataan sosial yang didominasi atau disokong oleh kelas tertentu. Dalam pembangunan tata ruang kota makassar contohnya pembangunan yang lebih mengedepankan nilai estetika dibanding hak hidup nelayan menjadikan daerah permukiman nelayan pesisir rawan digusur untuk diganti dengan bangunan megah semisal tempat ibadah dan area foya foya yang notabene tidak berguna dibanding menjadi area tangkap nelayan. Kombinasi semangat nasionalis dan agama yang eksterm inilah yang merugikan masyarakat nelayan kecil kota.

Pesisir Kota Makassar menjadi contoh perampasan ruang itu. Kawasan Central Point of Indonesia (CPI) dulunya merupakan area tangkap nelayan wilayah tangkap komunitas nelayan di Pulau Lae-Lae, Panambungan, Lette, Mariso, Bontorannu, kawasan tersebut juga menggusur 43 keluarga nelayan. Tahun 2014 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memberikan izin reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) kepada KSO PT Ciputra – PT Yasmin Bumi Asri dengan luas reklamasi mencapai 157,23 hektar. Hasil reklamasi tersebut rencananya dibagi dua antara Pemprov Sulawesi Selatan dan KSO Ciputra-Yasmin Bumi Asri. Pemprov Sulawesi Selatan memperoleh bagian 50,47 hektar, sementara pihak pengembang proyek CPI mendapatkan 106,76 hektar. Sejak awal perencanaan proyek reklamasi CPI telah mendapat penolakan dari masyarakat.

Jika reklamsi terus dipaksakan, secara regulasi negara dan perusahaan tidak menghormati konstitusi Pasal 33 ayat 3 undang-undang dasar 1945 bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat”. Padahal sudah jelas masyarakat nelayan pesisir Lae-lae menolak reklamasi. Sikap masyarakat ini juga didukung oleh hak imunitas yang dimiliki oleh warga yang sedang memperjuangkan hak atas lingkungan hidupnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang menyebutkan bahwa “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

*) Penulis adalah kader IMM Gowa

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT