Oleh : Sabrina Ainun Sorraya Abrar*
Indonesia dihadapkan pada tantangan serius dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya. Upaya penegakan hukum yang ada belum cukup efektif untuk memberikan efek jera dan mencegah pelaku menikmati hasil kejahatannya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah keterbatasan regulasi yang belum secara komprehensif mengatur perampasan aset hasil tindak pidana. Berdasarkan laporan Transparency Internasional, Indeks Perspeksi Korupsi (IPK) Indonesia sebesar 34 poin, menempati urutan 110 dari 180 negara (TI Indonesia, 2023). Skor ini menurun jika dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 38 poin dan skor terendah Indonesia sejak tahun 2015. Penurunan skor tersebut salah satu penyebabnya adalah lemahnya penegakan hukum anti korupsi dalam mencegah dan memberantas korupsi. Pada tahun 2021, Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp62 Triliun, tetapi hanya Rp1,4 Triliun yang dikembalikan ke negara. Berdasarkan hal tersebut bahwa pemberantasan korupsi masih mengalami berbagai tantangan dan hambatan. Hal ini terlihat dengan stagnannya perolehan skor CPI Indonesia yang tidak mengalami peningkatan. Oleh karena itu, selayaknya korupsi yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa, perlu adanya upaya-upaya hukum yang tidak biasa dalam hal pencegahan maupun pemberantasan korupsi.
Menelisik sejarah Indonesia dalam beberapa kasus korupsi yang menjadi sorotan dan kerugian yang dialami Indonesia hingga triliunan diantaranya kasus korupsi Bank Century pada tahun 2008, kauss korupsi BLBI pada tahun 1998, kasus korupsi E-KTP pada tahun 2012, kasus korupsi Edy Tansil pada tahun 1990-an, kasus korupsi Rafael Alun pada tahun 2023, dan kasus-kasus korupsi lainnya, hingga hari inipun aparat penegak hukum masih mengalami kesulitan pelacakan sampai perampasannya.
Dalam perkembangan permasalahan korupsi yang dihadapi Indonesia, upaya yang dilakukan oleh pemerintah dengan merumuskan formulasi kebijakan untuk menciptakan landasan hukum yang adil dan efektif dalam mengatasi permasalahan korupsi, salah satu aspek yang menarik perhatian dalam konteks ini adalah Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang tertuang sebagai salah satu program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang disepakati dalam Rapat Paripurna DPR RI. Latar belakang yang mendasari terbentuknya RUU perampasan aset dapat dilihat dalam konsiderans yang menyatakan bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan. Selain itu, pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai pengelolaan aset yang telah dirampas akan mendorong terwujudnya penegakan hukum yang profesional, transparan, dan akuntabel.
Demi mewujudkan hal tersebut, tak dapat dipungkiri berbagai dinamika yang dilalui untuk mencapai titik dijadikannya sebagai undang-undang, sebagaimana di satu sisi RUU Perampasan Aset ini sebagai upaya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi guna mengembalikan kerugian keuangan negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, di sisi lain RUU Perampasan Aset juga bisa menjadi alat negara untuk melanggar hak-hak privasi yang menghambat demokrasi dan bisa berdampak pula adanya kemungkinan penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum untuk merampas aset yang bukan merupakan hasil tindak pidana.
Perjalanan panjang yang berliku untuk disahkannya RUU Perampasan Aset sejak disusun pada 2019 telah melalui berbagai fase pembahasan ditingkat pemerintah sebagai pengusul yang telah menyediakan dan mengirimkan 3 naskah akademik serta rancangan undang-undangnya pada tahun 2013, 2016, dan 2023. Kemudian pada fase pembahasan lanjutan dan pengesahan di DPR RI pada 2019-2020 di Komisi III DPR RI dengan pembentukan Panitia Kerja, pengumpulan masukan, dan diskusi awal, kemudian pada 2021-2022 memasuki fase Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dilakukan pendalaman subtansi, harmonisasi dengan peraturan lain, dan pembahasan lanjutan, serta pada 2023 merupakan fase lanjutan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI (Setjen DPR RI, 2023). Dari perjalanan panjang untuk memperjuangkan RUU Perampasan Aset sampai pada hari ini tak kunjung mendapatkan titik final dan pembahasan yang berlarut-larut antara pemerintah dan DPR.
Berdasarkan hal tersebut, perjalanan panjang yang memakan waktu hingga 2 dekade ini pada nyatanya pembahasan RUU Perampasan Aset jalan ditempat, upaya pemerintah untuk terus mendorong segara disahkannya RUU ini masih belum membuahkan hasil di DPR, wajar saja hingga sampai saat ini bahwa publik dan para pegiat anti korupsi mempertanyakan keseriusan para wakil rakyat ini dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Ada apa sebenarnya dibalik ini? beberapa rancangan undang-undang yang termasuk dalam prolegnas salah satu contohnya adalah RUU Cipta Kerja yang bahkan dengan pembahasan tidak cukup lama bisa sampai disahkan menjadi UU, kemudian apakabar dengan RUU Perampasan Aset?
Menelisik kembali pada rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, sebagaimana pernyataan Bambang Wuryanto yang akrab disapa Bambang Pacul bahwa RUU Perampasan Aset ini bisa disahkan tetapi harus bicara dengan para ketua partai dulu dalam artian bahwa pemerintah harus me-lobi para ketua umum partai politik agar RUU ini disahkan segera. Pernyataan Bambang Pacul menggemparkan publik dan terang-teragan bahwa wakil rakyat ini bergerak sesuai dengan arahan para ketua umum partai politiknya. Pernyataan tersebut memicu ketidakpercayaan publik pada wakil rakyat yang berada di parlemen, kendati demikian dilihat dari takaran politisnya keputusan politik dalam perumusan kebijakan hanya bisa dilaksanakan jikalau telah disepakati oleh para elit politik.
RUU Perampasan Aset merupakan kebutuhan instrumen hukum yang krusial dan harusnya dihadirkan oleh negara melihat permasalahan korupsi yang dihadapi Indonesia saat ini, terlihat jelas oleh publik bahwa para elit politik yang bermain dibalik pembahasan RUU Perampasan Aset yang alot di DPR RI, berdasarkan hal tersebut dapat dikaji secara mendalam dari segi politik yang dimana dinamikanya dapat dipahami melalui teori elit. Sebagaimana teori elit ini berkembang dari teori politik elite-massa yang melandaskan diri pada asumsi bahwa di dalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan atau elite dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori ini mengembangkan diri pada kenyataan bahwa sedemokratis apa pun, selalu ada bias di dalam formulasi kebijakan, karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari para elite (Riant Nugroho, 2020).
Terdapat dua sisi dalam teori ini, yaitu sisi negatif dan positif. Pada pandangan negatif dikemukakan bahwa pada akhirnya di dalam sistem politik, pemegang kekuasaan politik lah yang akan menyelenggarakan kekuasaan sesuai dengan selera dan keinginannya. Dan pandangan positif melihat bahwa seorang elit menduduki puncak kekuasaan karena berhasil memenangkan gagasan membawa negara-negara ke kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. Dengan demikian, teori elite merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan di mana kebijakan publik merupakan preferensi elite politik. Prinsip dasarnya adalah karena setiap elite politik ingin mempertahankan status quo maka kebijakannya menjadi bersifat konsevatif. Kebijakan-kebijakan yang di buat oleh para elite politik tidaklah berat selalu mementingkan kepentingan masyarakat. Ini adalah kelemahan-kelemahan dari model elite.
Dukungan publik terhadap pembentukan RUU Perampasan Aset sangat marak, terutama dari masyarakat sipil, aktivis, akademisi, hingga mahasiswa. Namun, jika ditinjau dari teori elit, pihak-pihak itu yang disebut sebagai massa merupakan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk mempengaruhi dan menciptakan opini tentang isu kebijakan yang seharusnya menjadi agenda politik di tingkat atas. Inilah yang menjelaskan mengapa pada akhirnya dukungan dari publik tidaklah cukup kuat hingga dapat mengesahkan RUU ini.
Merujuk pada pernyataan yang dikemukakan oleh Bambang Wuryanto selaku Ketua Komisi III DPR RI bahwa anggota DPR RI “disetir” oleh elite menjadi justifikasi adanya elite yang “bermain” dalam pembentukan RUU Perampasan Aset ini. Realitas itu memberikan justifikasi atas status quo yang ada di mana kepentingan yang dibawa oleh anggota legislatif adalah kepentingan elite, bukan kepentingan masyarakat maupun negara. Padahal, hakikat sebagai anggota legislatif yang diberikan mandat oleh rakyat dan sebagai wakil rakyat adalah untuk mengutamakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Argumen diatas menjadi tervalidasi dengan pernyataan beberapa peneliti dan pengamat sebagai berikut. Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Reza Setiawan, menilai bahwa tidak masuknya RUU Perampasan Aset sebagai prioritas dalam Prolegnas disebabkan banyaknya pejabat publik yang tidak suka terhadap RUU ini. Sebab akan memiskinkan para koruptor sebagaimana dalam RUU ini bahwa harta ilegal yang dapat dirampas adalah aset hasil tindak pidana korupsi. Termasuk, aset hasil kejahatan yang sudah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau perusahaan, baik berupa modal pendapatan, maupun keuntungan. Sehingga harta perolehan yang tak dapat dipertanggungjawabkan kemudian dirampas oleh negara (DetikNews, 2023).
Selain itu, Zaenur Rohman, selaku Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Muda, menilai bahwa tak kunjung dibahasnya RUU Perampasan Aset menunjukkan rendahkan komitmen DPR dalam pemberantasan korupsi (Emanuel Edi Saputra, 2023). Tak hanya itu, hal ini juga menunjukkan rendahnya komitmen elite partai politik. Jika terdapat komitmen yang kuat dari elite partai politik, tentu partai politik akan memberikan perintah kepada anggota DPR untuk segera melakukan pembahasan. Ia menduga anggota DPR RI khawatir RUU Perampasan Aset akan menjadi bumerang bagi mereka ketika disahkan.
Senada, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, menyatakan bahwa hambatan dari pengesahan RUU Perampasan Aset adalah komitmen dari pembuat kebijakan (Mochamad Januar Rizki, 2023). Kemudian, Herdiansyah Hamzah, peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman juga menyampaikan hal yang serupa. Ia menyatakan bahwa terdapat ketakutan dari elite politik sehingga RUU ini tak kunjung disahkan. Sebab RUU tersebut akan menyasar para koruptor secara meluas. Khususnya koruptor yang sebagian besar berasal dari anggota DPR, DPRD, dan kalangan pemerintahan (Fachri Audhia Hafiez, 2023). Di sisi lain, ia menyebut pernyataan pemerintah dan DPR terkait RUU Perampasan Aset yang harus segera dibahas dan disahkan hanya sebatas lips service. Dengan demikian, penjelasan diatas menampakkan dengan jelas bahwa elite sangat berpengaruh dalam proses pembentukan RUU Perampasan Aset ini.
Kompleksnya dinamika pembahasan RUU Perampasan Aset yang sampai hari ini belum mendapatkan titik terang disebebkan pula dengan hadirnya kepentingan elit politik yang mungkin dikatakan saling tarik menarik kepentingan ditengah riwehnya tekanan publik secara massif dalam menyuarakan RUU Perampasan Aset agar segara disahkan mengingat kasus korupsi di Indonesia kian meningkat sehingga merugikan negara. Berdasarkan uraian tersebut bahwa dapat disimpulkan dengan ini masih kurangnya komitmen politik yang dimiliki oleh DPR RI. Kepentingan anggota DPR RI masih didominasi oleh kepentingan elite, seperti ketua umum partai. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya kemajuan RUU Perampasan Aset di parlemen. Maka dari itu, dibutuhkan sinergitas antara pemerintah dan DPR RI dalam pembentukan RUU ini yang didasarkan pada kepentingan umum. Keseriusan pemerintah dan DPR RI untuk memberantas korupsi harus dibuktikan dengan segera dibahasnya dan disahkannya RUU tersebut karena peraturan yang ada dinilai belum secara komprehensif mengatur tentang perampasan aset, khususnya terkait dengan tindak pidana. DPR RI harus memastikan agar pembahasan RUU Perampasan Aset berjalan sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah dan DPR RI sehingga proses legislasi dapat dilakukan demi kepentingan negara dalam mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya serta dapat menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal itu semua hanya dapat diwujudkan jika Pemerintah dan DPR RI memiliki komitmen politik. Untuk mencapai hal tersebut dengan hadirnya komitmen politik perlunya dikawal dan terus menyuarakan RUU Perampasan Aset oleh publik sehingga Pemerintah dan DPR RI terdorong untuk segara mengesahkannya.
*) Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Hasanuddin