Oleh : Dr. Sulfan, S.Fil.I.,M.Ag*
Proses Islamisasi di lingkup kesultanan ditandai dengan memasukkan unsur-unsur jabatan yang akan menangani persoalan-persoalan keagamaan. Kesultanan Buton menempatkan tiga jabatan dalam strukturnya, untuk menguatkan peran-peran keagamaan. Pertama, Ngaji Raja Sangia Manuru yang bergelar Sangia Wa Ero-ero selaku imam masjid. Kedua, Ngaji Raja Sangia Yi tete yang bergelar Raja Sangia sebagai naib atau wakil imam, bila imam berhalangan atau uzur. Ketiga, lebe atau penghulu yang tugasnya sebagai pengajar agama dan berkeliling ke seluruh wilayah kesultanan untuk mengajarkan syariat Islam.
Yang menarik dalam proses Islamisasi di lingkup kekuasaan di masa lalu, menempatkan nilai-nilai pengajaran/pendidikan sebagai basis pendekatannya. Hal itu, yang membedakan proses Islamisasi di wilayah Indonesia di masa lalu. Tidak ada cerita perang atas nama agama, untuk memaksakan kepada rakyat. Tapi, memilih jalan pengajaran Islam di wilayah kekuasaannya.
Islamisasi yang dimotori oleh kesultanan-kesultanan tidak menghilangkan nilai-nilai lokal, adat dan budaya. Sebaliknya dengan nilai-nilai Islam mampu bersenyawa dan menghadirkan identitas budaya yang aspiratif sekaligus akomodatif. Kesultanan Buton telah membuktikan bahwa proses Islamisasi yang dijalankan menempatkan nilai-nilai Islam dan budaya mampu secara terbuka saling menerima.
Peran-peran sultan di lingkup Kesultanan Buton untuk senantiasa menjaga nilai-nilai agama dan budaya agar senantiasa lestari. Menarik bahwa Kesultanan Buton yang menerima Islam dari berbagai jalur, mampu mengambil jalan Islam bercorak tasawuf yang sejuk dan menjadikan agama sebagai nilai-nilai yang berdampak kepada kemajuan.
Posisi Kesultanan Buton yang menempatkan nilai-nilai Islam yang kuat di wilayah kekuasaannya, begitu strategis. Hal itu, bisa di lihat dari wilayah kekuasaan Kesultanan Buton yang menjadi wilayah perdagangan yang menghubungkan Makassar dan Maluku. Jadi, Kesultanan Buton berada pada posisi yang strategis dan Islam sebagai nilai yang dianut mampu tersebar di wilayah sekitar.
Sultan-sultan Buton memahami posisi strategisnya, tidak heran bila Kesultanan Buton menyebut dirinya Khalifah ke-Lima. Kesadaran bahwa Kesultanan Buton bisa memainkan peran di jalur perdagangan dan penyebaran agama Islam membuat Buton memiliki posisi yang strategis. Apalagi dengan menjadikan Kesultanan Buton memiliki konstitusi yang berdasarkan nilai-nilai Islam menunjukkan kesadaran yang tinggi akan nilai keagamaan.
Kesultanan Buton mampu di lihat sebagai kesultanan yang kosmopolit dengan jalur perdagangan yang membuka interaksi dari berbagai pelaku perdagangan. Kemudian identitas keislaman yang kuat di lingkup kesultanan membuat banyak pedagang dari wilayah-wilayah Islam berlabuh. Tidak banyak kesultanan yang memiliki posisi seperti itu.
*) Penulis adalah Dosen STAI Alfurqan Makassar, UIN Alauddin Makassar dan UNIMERZ