Oleh : Sakinah Fitrianti*
Tertekan, seperti itu gambaran suasana di perhelatan arena Musyawarah Daerah (Musyda) XXIII Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sulawesi Selatan.
Selama proses itu terlihat janggal dan tidak mengikuti prosedur (aturan) organisasi yang selama ini ditaati oleh kader.
Musyda DPD IMM di Kabupaten Maros Senin, 16 Desember 2024 itu menyimpang, dari segala aturan main organisasi yang sah. Pemilihan Calon Ketua Umum (Caketum) dan Formatur ditiadakan.
Sebuah langkah inkonstitusional menurut organisasi, dan terpaksa dipilih Calon Ketua Umum dan Calon Formatur dipilih oleh empat orang Panitia Pemilihan (Panlih) dari lima panlih yang bertugas. Sebab, pemilihan itu harusnya dilakukan oleh peserta penuh yang memiliki hak suara bukan panlih yang justru tidak memiliki hak suara.
Tekanan demi tekanan membuat jalannya Musyda yang menabrak aturan itu berlangsung secara gampang, Tanpa pemilihan, tanpa pembacaan visi dan misi. Panlih pun dibuat tak mampu berbuat banyak.
Padahal dalam aturan organisasi AD/ART mekanisme pemilihan telah diatur secara rigid. Ketentuan pasal 18 AD/ART Tentang Pemilihan Pimpinan pada poin pertama tertulis pemilihan dilakukan secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pada poin kedua disebut pemilihan dilakukan dengan mekanisme pemilihan ketua dan pemilihan formatur dan pada poin terkahir disebut bahwa pemilihan diatur berdasarkan tata tertib pemilihan yang ditetapkan oleh Tanwir dan telah Ditandfizkan oleh Dewan Pimpinan Pusat.
Aturan ini diabaikan, oleh riuhnya kepentingan yang masuk dan tekanan yang memaksa. Panlih harus tersungkur oleh tekanan itu. Ini menggambarkan betapa buruknya budaya feodal di organisasi IMM.
Tanpa melewati mekanisme apapun, secara mengejutkan Adrian mendeklarasikan dirinya sebagai Ketua Terpilih dengan membawa sekretaris dan bendaharanya yang ia pilih sendiri diluar hasil pemilihan diluar ring arena Musyda.
Parahnya lagi, posisi 12 formatur pun mereka susun sendiri diluar ketentuan pemilihan yang berlaku di IMM. Para kader intelektual ini dengan jenjang kekaderan dan kepemimpinan yang sudah teruji di IMM tak juga dibuat berkutik ketika diboyong untuk ikut mendeklarasikan diri sebagai formatur terpilih yang dipilih entah oleh siapa dan dimana, sebab dalam forum musyawarah tertinggi tingkat Sulsel itu sama sekali tak ada pemilihan yang berlangsung.
Dalih mereka, bahwa pelaksanaan musyawarah berdasarkan ketentuan pasal 33 ART tentang keputusan musyawarah. Mereka menafsirkan sendiri kata Musyawarah Mufakat, tanpa mengacu pada mekanisme musyawarah dan mufakat yang berlaku di IMM.
Musyawarah dan Mufakat yang dimaksud harusnya ditafsirkan musyawarah mufakat dengan menggunakan mekanisme yang berlaku di IMM. Aturan Musyawarah itulah yang dituangkan dalam aturan pemilihan yang berlaku di IMM. Tidak diluar itu, apalagi dengan cara-cara brutal dan pemaksaan.
Ini menjadi sejarah pertama yang membusukkan organisasi IMM di Sulawesi Selatan. Bagaimana mungkin para elit-elit organisasi itu mempertontongkan musyawarah yang mengatasnamakan musyawarah tanpa mufakat.
Dengan menunggangi kata “kepentingan bersama” tapi untuk tujuan satu orang dan kelompok tertentu adalah merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Tidak ada tujuan bersama dalam pemaksaan, kecuali melakukan brutalitas dengan menunggangi tujuan bersama.
tujuan bersama adalah kepentingan semua, bukan kepentingan segelintir orang. Apa yang terjadi dalam Musyda DPD IMM Sul-Sel bukanlah tujuan bersama dalam rangka membentuk akademisi Islam yang berakhlakul karimah, justru sebaliknya membentuk kelompok brutalitas yang memaksakan diri untuk menguasai IMM. Mereka menabrak aturan, mengabaikan prinsip dan etika dan menggunakan segala cara untuk memenangkan kepentingan pribadi mereka.
Karena ini sangat merusak mekanisme organisasi, Seharusnya Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) mengambil tindakan untuk mengevaluasi kembali pemilihan DPD IMM Sulsel. Musyda telah menjadi ajang pemaksaan, menekan dan menjaga kepentingan feodal beberapa orang.
Musyda DPD IMM Sulsel tidak bisa disebut sebagai musyawarah, tapi merupakan agenda inkonstitusional menurut IMM. Tidak ada Musyawarah, semua diatur diluar dari musyawarah dan mufakat forum resmi Musyda.
Para calon formatur yang dinyatakan sebagai calon terpilih, tidak berada di lokasi ketika panlih memasuki lokasi musyawarah, apalagi calon ketua umum. Para ketua cabang juga tidak terlihat berada di lokasi ketika panlih masuk pada pukul 23:15 pada Senin malam,16 Desember 2024. Ini semacam agenda sabotase agenda organisasi yang sah.
Kemudian secara mengejutkan, caketum Adrian, memasuki ruang Musyda dengan membawa para formatur yang dipilih sendiri oleh caketum. Padahal formatur dipilih oleh peserta penuh dari tiap pimpinan komisariat dan pimpiman cabang bukan dari calon ketua umum ataupun pihak lain yang tidak ada hak suaranya. Kedatangannya pun ke forum bukan untuk dipilih namun mengklaim diri sebagai yang terpilih.
Ini menjadi preseden yang memalukan dan tidak mendidik bagi budaya Musyawarah di IMM. Penunjukkan seperti yang dilakukan oleh Adrian dan kelompoknya adalah bentuk lain dari sistem kerajaan feodal.
Pemilihan adalah agenda terbuka, dimana para calon diperlihatkan dihadapan peserta dan dipilih oleh peserta. Namun Musyda Kali ini telah merusak budaya musyawarah yang selama ini berlaku di IMM.
Karena itu, sangat penting dan mendesak, bagi PWM Sulsel untuk mengevaluasi pemilihan yang terjadi. Kalau terjadi pelanggaran harus disanksi dengan keras terhadap para pelanggar itu. Semua ini untuk IMM yang bermartabat, IMM Sulawesi Selatan yang dikenal santum dan beradab selama ini.
*) Penulis adalah Panitia Pemilihan Musyda XXIII IMM Sulsel