Oleh : Fajar Lingga Prasetya.,S.AB
(Analis Kebijakan Ahli Pertama Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara)
Pendahuluan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XXII/2024 merupakan tonggak penting dalam perluasan akses pendidikan di Indonesia. Dalam putusan tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa frasa “tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional harus dimaknai sebagai kewajiban negara untuk membiayai pendidikan dasar, tidak hanya di sekolah negeri tetapi juga secara bertahap di sekolah swasta. Putusan ini dilandasi oleh prinsip keadilan konstitusional, mengingat data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa angka putus sekolah di jenjang SMP dan SMA pada tahun 2022 meningkat menjadi 1,06% dan 1,38%. Situasi ini diperburuk oleh temuan di lapangan, termasuk laporan BBC yang menunjukkan bahwa masih banyak anak usia sekolah dasar dan menengah di kawasan perkotaan seperti Jakarta yang tidak mengenyam pendidikan karena alasan biaya, meskipun mereka tinggal dekat dengan fasilitas pendidikan. Kondisi ini mencerminkan realitas bahwa banyak peserta didik dari keluarga miskin tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri akibat keterbatasan daya tampung, sehingga terpaksa bersekolah di lembaga swasta dengan beban biaya yang tidak selalu terjangkau. Mahkamah Konstitusi secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah swasta yang menyelenggarakan kurikulum nasional dan menerima siswa dari kelompok tidak mampu seyogianya turut menjadi bagian dari skema pendidikan dasar gratis yang dijamin negara. Namun demikian, implementasi kebijakan ini tidak luput dari tantangan yang kompleks, mulai dari kesiapan fiskal di tingkat daerah, keterbatasan mekanisme pembiayaan bagi sekolah swasta, hingga belum optimalnya sistem akuntabilitas dan penjaminan mutu. Oleh karena itu, diperlukan strategi operasional yang matang dan terstruktur agar putusan ini dapat dijalankan secara adil, efisien, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
Analisis Masalah
Meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-XXII/2024 memberikan tanggung jawab negara yang lebih luas dalam menjamin pendidikan dasar gratis ke seluruh satuan pendidikan, tetapi dalam implementasinya tidak serta merta dapat berjalan mulus. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya telah memberikan dasar normatif dan konstitusional yang kuat, namun di lapangan terdapat tantangan nyata yang bersifat struktural, fiskal, kelembagaan, dan sosial. Empat masalah utama berikut ini perlu dianalisis secara mendalam agar rekomendasi kebijakan dapat dirumuskan secara tepat sasaran, realistis, dan konstitusional: 1. Ketimpangan Kapasitas Fiskal Daerah
Putusan MK menegaskan bahwa kewajiban pembiayaan pendidikan dasar tanpa biaya melekat pada negara, melalui pemerintah pusat dan daerah. Namun, pelaksanaannya dihadapkan pada ketimpangan kemampuan fiskal antar daerah. Banyak pemerintah kabupaten/kota masih belum mampu memenuhi alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD sebagaimana amanat UUD 1945.
- Minimnya Skema Pendanaan untuk Sekolah Swasta yang Melayani Siswa Tidak Mampu
Salah satu pertimbangan utama MK adalah fakta bahwa banyak peserta didik dari keluarga miskin terpaksa bersekolah di swasta karena tidak tertampung di sekolah negeri. Namun, hingga saat ini minim skema bantuan pendidikan yang secara khusus ditujukan untuk sekolah swasta yang menampung siswa miskin. Akibatnya, prinsip non-diskriminasi dalam akses pendidikan dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 belum sepenuhnya terwujud.
- Risiko terhadap Otonomi dan Tata Kelola Sekolah Swasta
Masuknya dana publik ke sekolah swasta membawa konsekuensi pada aspek tata kelola dan otonomi penyelenggara pendidikan. Penyelenggara swasta khawatir terhadap potensi intervensi negara yang dapat mengubah karakter atau manajemen sekolah. Di sisi lain, tanpa pengawasan yang ketat, terdapat risiko penyalahgunaan anggaran publik, inefisiensi, dan moral hazard.
- Potensi Diskriminasi dan Ketimpangan Mutu Pendidikan
Putusan MK menyoroti bahwa sistem pendidikan harus menjamin hak setiap warga negara secara setara, tidak memandang jenis sekolahnya. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak sekolah swasta berdiri karena kebutuhan lokal, tetapi beroperasi dengan standar mutu yang rendah. Negara wajib menyusun mekanisme seleksi dan verifikasi terhadap sekolah swasta penerima bantuan agar pendidikan gratis tidak mengorbankan kualitas.
Rekomendasi: Skenario Operasional Pendidikan Dasar Gratis
Agar putusan MK dapat diimplementasikan secara efektif, diperlukan skenario operasional yang menjangkau baik sekolah negeri maupun swasta, dengan pendekatan bertahap dan kolaboratif.
- Regulasi dan Pengawasan Kolaboratif
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia perlu menyusun regulasi turunan dari putusan MK dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Permendikdasmen yang menjelaskan:
- Kriteria sekolah swasta penerima bantuan.
- Standar pelayanan minimum.
- Sistem pelaporan dan audit keuangan.
Memungkinkan juga untuk dibentuk Unit pelaksana khusus atau Gugus Tugas Pendidikan Gratis di level provinsi dan kabupaten/kota untuk mengawal pelaksanaan, memfasilitasi sekolah swasta, dan menyelesaikan teknis kebijakan ini.
- Optimalisasi Pendanaan Sekolah Negeri
Langkah awal adalah memastikan bahwa seluruh sekolah negeri benar-benar bebas dari pungutan. Pemerintah pusat perlu memperluas cakupan BOS Reguler dan BOSP Kinerja. Selain itu, daerah harus memperkuat BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah Daerah) sebagai instrumen pelengkap. Skema BOSDA ini bisa dioptimalkan melalui pendekatan berbasis kebutuhan sekolah dan tidak sekadar dibagi rata. Pemerintah kota/kabupaten perlu melakukan audit menyeluruh terhadap praktik pungutan yang selama ini masih berlangsung secara informal dan melakukan evaluasi tahunan terhadap efektivitas pembiayaan.
- Skema Pendanaan untuk Sekolah Swasta
Untuk sekolah swasta yang selama ini telah memiliki skema pendanaan sendiri, strategi utama yang bisa digunakan untuk menerapkan putusan MK untuk mewujudkan pendidikan gratis adalah membangun mekanisme subsidi berbasis peserta didik miskin. Dua pendekatan dapat digunakan:
- Pendekatan individu kepada siswa, yakni Skema Voucher Pendidikan: Pemerintah memberikan voucher kepada siswa dari keluarga miskin yang dapat digunakan di sekolah swasta terdaftar yang memenuhi persyaratan tertentu (akreditasi, rasio guru-siswa, transparansi dana). Voucher ini mencakup biaya pendaftaran, SPP, dan seragam.
- Pendekatan Organisasi kepada sekolah yakni dengan Dana Hibah Berbasis Kinerja: Sekolah swasta dapat menerima dana hibah publik tetapi dengan ketentuan misalnya akreditasi sekolah,menyelenggarakan kurikulum nasional, menandatangani kontrak kinerja, bersedia diaudit, dan melaporkan output pendidikan secara berkala. Ini akan menjaga otonomi sekolah swasta sambil tetap akuntabel terhadap dana publik.
Skema ini menjaga otonomi sekolah swasta sambil menjamin akuntabilitas penggunaan dana publik.
- Insentif Non Tunai dan Fiskal bagi Sekolah Swasta Penyelenggara Pendidikan Gratis
Dalam konteks kebijakan pendidikan dasar gratis, tidak semua intervensi harus berbentuk bantuan langsung berupa dana tunai. Banyak sekolah swasta di Indonesia, khususnya yang dikelola oleh yayasan keagamaan, lembaga sosial, atau komunitas lokal, telah secara mandiri menyelenggarakan pendidikan gratis atau sangat terjangkau bagi siswa dari keluarga miskin. Upaya mereka ini menunjukkan kontribusi nyata terhadap keadilan sosial, sekaligus meringankan beban negara dalam memenuhi amanat konstitusi.
Namun demikian, lembaga-lembaga ini tetap menghadapi berbagai tantangan operasional, mulai dari keterbatasan sarana prasarana, biaya operasional rutin, hingga tekanan biaya utilitas. Untuk itu, diperlukan pendekatan kebijakan yang mampu menghargai kontribusi mereka, tanpa mencampuri otonomi manajerial, serta tidak menambah beban fiskal pemerintah secara langsung. Salah satu bentuk pendekatan tersebut adalah dengan menyediakan insentif non-tunai dan fiskal seperti
- Keringanan pajak (PBB, PPN),
- Subsidi listrik dan air,
- Bantuan barang (meja, kursi, perangkat TIK).
Insentif ini menjaga fleksibilitas, ringan dalam pengawasan, dan tidak menambah beban anggaran langsung.
- Skema Kemitraan Publik–Swasta (Public–Private Partnership / PPP) untuk Pendidikan Dasar Gratis Konsep Umum Skema Public Private Partnership (PPP) dalam konteks pendidikan adalah bentuk kolaborasi jangka menengah dan jangka panjang antara pemerintah dan sektor swasta (dalam hal ini yayasan, lembaga pendidikan, atau institusi keagamaan non-profit) untuk bersama-sama menyediakan layanan pendidikan dasar yang inklusif dan gratis, terutama bagi siswa dari keluarga miskin atau rentan. Tidak seperti bantuan tunai konvensional atau subsidi yang bersifat pasif, PPP menekankan kontrak berbasis hasil (output based contract). Artinya, mitra swasta bertanggung jawab atas pencapaian layanan pendidikan tertentu dengan standar mutu yang telah disepakati, sementara pemerintah mendukung dari sisi pendanaan, insentif, atau fasilitas pendukung. Struktur Implementasi Implementasi PPP pendidikan dapat dirancang melalui model yang berisi komitmen dua pihak: Pemerintah bertanggung jawab atas: Pendanaan (bisa berbentuk biaya operasional per siswa, infrastruktur dasar, atau subsidi tertentu), Penetapan standar minimum layanan pendidikan, Monitoring dan evaluasi berkala terhadap kinerja lembaga mitra. Pihak swasta bertanggung jawab atas: Pelaksanaan pendidikan dasar sesuai standar nasional dan prinsip inklusivitas, Menyediakan sarana, tenaga pengajar, dan manajemen sekolah, Pelaporan hasil belajar, akuntabilitas keuangan, dan transparansi operasional.
Kesimpulan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperluas kewajiban negara dalam menyelenggarakan pendidikan dasar gratis ke sekolah swasta merupakan langkah monumental dalam mewujudkan prinsip keadilan sosial dan nondiskriminasi. Namun, untuk merealisasikan putusan tersebut, diperlukan strategi implementatif yang tidak hanya bertumpu pada peningkatan anggaran, tetapi juga pada desain kebijakan yang inklusif dan akuntabel. Negara tidak bisa bekerja sendiri. Peran pemerintah daerah, sekolah swasta, masyarakat sipil, dan sektor swasta harus diorkestrasi melalui kemitraan dan instrumen regulasi yang jelas. Dengan demikian, pendidikan tidak lagi menjadi beban keluarga miskin, tetapi menjadi jembatan mobilitas sosial yang sejati.
[…] triple helix menjadi kunci sukses. Pemerintah, sekolah, dan masyarakat harus bersinergi. Strategi implementasi yang tepat akan mempercepat […]
Comments are closed.