Oleh : Milawaty, SS., SE., MM
(Widyaiswara Muda Pusjar SKMP Lembaga Administrasi Negara)
Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dalam mengelola beban utang negara yang terus meningkat. Sampai Februari 2025, total utang pemerintah sebesar $427,2 miliar atau setara Rp 7.191 triliun. Di sisi penerimaan negara, selama ini pemerintah mengandalkan sumber pendanaan konvensional seperti penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), pinjaman bilateral dan multilateral, termasuk mengintegrasikan pajak, bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Dari keseluruhan penerimaan tersebut, pajak masih menjadi penerimaan terbesar negara yang digunakan untuk mendanai pembangunan infrastruktur dan mengejar ketertinggalan di berbagai sektor. Kinerja penerimaan pajak ada kalanya naik, ada kalanya turun. Nita dan Edmira (dalam www.berkas.dpr.go.id, Februari 2025) menuliskan beragam upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk memaksimalkan penerimaan pajak di berbagai sektor, seperti reformasi kebijakan pajak, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum, dan digitalisasi sistem perpajakan.
Di luar pajak, pemerintah juga mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebagai sumber pendapatan alternatif. Selain itu, pemerintah juga melakukan efisiensi dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang selama ini berkontribusi besar terhadap penerimaan negara melalui dividen dan keuntungan usaha. Dengan meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan BUMN, diharapkan kontribusi mereka terhadap penerimaan negara dapat semakin maksimal.
Namun, pendekatan ini semakin terbebani oleh tekanan global, fluktuasi pasar, dan keterbatasan fiskal, yang menunjukkan bahwa sumber pendanaan konvensional mulai menemui batasnya. Upaya pengawasan belanja negara melalui kebijakan efisiensi anggaran untuk membantu mengurangi defisit dan ketergantungan pada utang dengan menekan biaya dan mengalokasikan anggaran secara lebih efektif memang menjadi salah satu langkah strategis namun itu belum cukup.
Dalam situasi seperti ini, wacana legalisasi kasino dan perjudian muncul sebagai alternatif sumber pemasukan negara yang tidak konvensional, yaitu sumber pemasukan yang tidak berasal dari instrumen pembiayaan tradisional atau perpajakan umum, tetapi dari aktivitas ekonomi tertentu yang sebelumnya dilarang atau belum dioptimalkan secara formal oleh negara. Meski menjanjikan potensi pendapatan yang tinggi, pendekatan ini tetap sarat kontroversi karena menyangkut aspek moral, hukum, dan sosial yang kompleks.
Kini, dalam konteks modern, negara-negara seperti Singapura, Makau, Korea Selatan, Monako, Inggris, Hongkong, Australia, Spanyol, Kanada, Mesir, dan beberapa bagian Amerika Serikat berhasil menjadikan kasino sebagai penyumbang devisa dan pajak yang signifikan. Bahkan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah melirik bisnis kasino guna mengurangi ketergantungan negara pada minyak. Di ASEAN, hanya Indonesia dan Brunei Darussalam yang saat ini belum membuka keran kasino dan judi. Di lingkup Asia, Thailand membuka awal tahun 2025 dengan undang-undang yang melegalkan kasino dan perjudian di negaranya.
Wacana legalisasi kasino dan perjudian mengingatkan publik pada kebijakan era Orde Baru, saat perjudian dilegalkan dan dikelola negara. Saat itu, perjudian dengan nama undian porkas (pekan olahraga ketangkasan) dalam bentuk kupon SDSB (sumbangan dermawan sosial berhadiah) merupakan menjadi bagian dari sumber penerimaan negara karena darurat anggaran dan disertai dengan pertimbangan bahwa regulasi langsung dari pemerintah dapat meminimalkan dampak negatif dan mengoptimalkan kontribusi fiskal. Namun, pada 1973, pemerintah Orde Baru melarang total praktik perjudian karena meningkatnya dampak sosial yang merugikan, termasuk maraknya kecanduan, degradasi moral, serta keresahan masyarakat yang menilai bahwa negara ikut memfasilitasi perilaku menyimpang. Kini, kebangkitan wacana ini dapat menimbulkan persepsi bahwa negara kehilangan arah dalam mencari solusi fiskal yang berkelanjutan, dan memilih “jalan pintas” yang berisiko besar secara moral maupun sosial.
Masih ingat atau tahu lagu “Madu dan Racun” yang pernah begitu hit di era 1980-an? Wacana legalisasi ini ibaratnya mempertemukan madu dan racun dalam satu wadah. Lagu “Madu dan Racun” bukan hanya hiburan ringan berirama jenaka. Di balik liriknya yang sederhana, lagu ini merefleksikan kondisi manusia yang kerap terjebak dalam dualitas: sesuatu yang menggoda dan menjanjikan hal yang manis dan menyenangkan, tetapi sebenarnya menyimpan bahaya tersembunyi. Lagu ini menjadi semacam alegori budaya tentang godaan yang memabukkan dan konsekuensi yang menyakitkan.
Seperti cinta dalam “Madu dan Racun”, kasino menawarkan sensasi dan keuntungan semu, tetapi menyimpan potensi kerusakan struktural, baik terhadap individu maupun masyarakat. Dalam budaya Timur, termasuk Indonesia, moralitas kolektif menjadi penyangga utama dalam kehidupan sosial. Legalisasi perjudian berisiko menggerus nilai-nilai ini, menjadikan “racun” sebagai bagian sah dalam sistem, hanya karena ia dilapisi “madu” keuntungan ekonomi. Sebagaimana pesan tersirat dalam lagu itu: jangan terkecoh oleh rasa manis yang memabukkan. Dalam kehidupan nyata, rasa pahit yang ditinggalkan bisa jauh lebih dalam dan merusak.
Madu dan Racun dari Legalisasi Kasino dan Perjudian
Dari sisi ekonomi, kasino dan perjudian dapat menjadi sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Singapura mengumpulkan lebih dari Rp 109 triliun pada tahun 2024 dan diproyeksikan naik menjadi Rp 150 triliun pada tahun 2025. Kasino di Singapura menyumbang pendapatan ekonomi nasional sekitar 1-2%. Di Malaysia, pendapatan dari kasino di tahun 2024 setara dengan Rp34,91 triliun. Di Filipina, kontribusi industri perjudian menyumbang Rp24,36 triliun. Sementara itu, Makau yang dikenal sebagai kota judi dunia mencatatkan lebih dari 70% pendapatan pemerintahnya berasal dari pajak kasino dengan pendapatan kasino menembus Rp 467.75 triliun di tahun 2024.
Meski demikian, secara ekonomi, negara yang sangat tergantung pada industri kasino juga akan rentan menghadapi masalah besar. Makau, misalnya, saat pandemi COVID-19 melanda dan wisatawan tidak dapat masuk, pendapatan Makau menjadi sangat rendah sehingga berdampak pada resesi besar dan meningkatnya angka pengangguran secara signifikan. Australia, menurut laporan terbaru lembaga Grattan Institute (dalam https://www.abc.net.au, 12 September 2024), mengalami kerugian judi tertinggi di dunia. Penyebabnya tidak lain karena pemerintahnya menerapkan “pendekatan yang longgar untuk mengatur perjudian” dan “membiarkan industri perjudian menjadi tak terkendali”.
Dari sisi penciptaan lapangan kerja, industri kasino memerlukan tenaga kerja dari berbagai sektor seperti perhotelan (hospitality), keamanan, keuangan, layanan pelanggan, hingga teknologi informasi. Sebagai contoh, menurut laporan Nevada Gaming Control Board (2021), industri kasino di negara bagian tersebut mempekerjakan lebih dari 150.000 orang secara langsung. Sementara di Makau, industri perjudian menjadi pemberi kerja terbesar kedua setelah sektor publik, dengan lebih dari 20% tenaga kerja terlibat dalam aktivitas terkait kasino (www.cnnindonesia.com, 2021).
Dari sudut pandang peningkatan sektor pariwisata, Leiper ( 1989 dalam Bulatovich, 2017 “Bisnis Kasino dalam Konteks Pengembangan Pariwisata (Kasus: Montenegro)”) adalah orang pertama yang mendefinisikan hubungan antara pariwisata dan perjudian, dan menyajikan tipologi pemain kasino. Dalam makalahnya, perbedaan yang jelas dibuat antara wisatawan dengan ‘wanderlust’ (wisatawan yang suka menjelajahi destinasi, menikmati satwa liar dan alam) dan ‘sunlust’ (wisatawan yang mencari penawaran ‘3S’ yaitu matahari, laut, dan pasir). Penelitiannya menunjukkan bahwa wisatawan yang suka berpetualang cenderung tidak berjudi dibandingkan dengan wisatawan yang suka berjemur, yang ingin menghabiskan waktu dan bersenang-senang di kasino. Makau yang telah ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia oleh UNESCO menawarkan kombinasi unik antara pengalaman kasino dan wisata budaya. Begitu pula Singapura, London, Monako dan Afrika Selatan.
Dari sisi sosial dan keluarga, kecanduan judi (problem gambling) dapat menghancurkan rumah tangga dan menyebabkan peningkatan perceraian, utang pribadi, bahkan kejahatan. Kecanduan judi (problem gambling) merupakan dampak psikososial yang paling serius dari aktivitas perjudian. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang mengalami kecanduan judi memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan, serta cenderung menghadapi konflik dalam rumah tangga. Di tahun 2024, terdapat 2.889 kasus perceraian dikarenakan judi (dalam https://www.cnbcindonesia.com). Di samping itu, konsekuensi ekonomi pribadi seperti utang yang menumpuk dapat memperburuk tekanan hidup, menyebabkan stres berkepanjangan, dan bahkan mendorong individu untuk melakukan tindakan kriminal, seperti penggelapan dana atau pencurian, guna menutupi kerugian. Di Las Vegas, meski wilayah ini menjadi model sukses secara ekonomi, namun Las Vegas menjadi tempat dengan kecanduan judi dan bunuh diri tertinggi di AS. Banyak warga lokal yang terjebak dalam utang pribadi akibat perjudian. Dalam konteks Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan keharmonisan sosial, efek destruktif ini tentu menjadi perhatian serius yang harus dipertimbangkan secara matang dalam merumuskan kebijakan legalisasi perjudian.
Dari aspek pencucian uang dan kejahatan terorganisasi, kasino sering menjadi titik rawan bagi praktik pencucian uang (money laundering) dan aktivitas kriminal terorganisir lainnya. Kamboja, misalnya, pada saat memberikan izin pengelolaan kasino di beberapa wilayah, termasuk untuk perjudian online internasional. Hal tersebut membuka pintu-pintu kejahatan transaksional, penculikan, penyelundupan manusia, dan pencucian uang. Belum lagi perusahaan fiktif dan sindikat kriminal menjadikan wilayah kasino sebagai markas operasi ilegal. Di Kamboja, banyak warga Indonesia terjebak dalam penipuan lowongan kerja yang ternyata bermuara pada operasi judi online ilegal. Mereka dipaksa bekerja dalam kondisi buruk, jam kerja yang melelahkan, dan menghadapi ancaman kekerasan fisik jika tak mampu memenuhi target yang ditetapkan. Karena dampak sosialnya yang negatif, pemerintah Korea Selatan membatasi akses warga lokal ke kasino. Begitupun Singapura yang target pasarnya lebih ke wisatawan asing, terutama dari negara tetangga seperti Indonesia dan Malaysia. Makau bahkan memberikan aturan yang tidak membolehkan pegawai pemerintah datang bermain kasino.
Dari sudut pandang ketimpangan sosial, keberadaan kasino dapat memperlebar kesenjangan karena yang paling dirugikan justru masyarakat kelas bawah yang terjebak dalam ilusi kemenangan instan sebagai solusi atas kesulitan ekonomi, yang pada akhirnya justru memperparah kondisi keuangan dan sosial mereka. Latvala et al (2021) menemukan bahwa perjudian marak ditemukan terjadi di kalangan pria berpendidikan rendah, muda, dan mereka yang hidup sendirian. Hal ini serupa dengan penelitian oleh Markham & Young (2015) yang menemukan individu dengan pendapatan rendah memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami gangguan perjudian dibandingkan mereka yang berpenghasilan tinggi.
Dari aspek agama dan budaya, sebagian besar agama di Indonesia melarang perjudian. Legalisasi bisa memicu konflik sosial dan resistensi luas. Di Indonesia, mayoritas agama seperti Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha memiliki pandangan tegas yang menolak segala bentuk perjudian karena dianggap bertentangan dengan prinsip moral dan spiritual. Oleh karena itu, legalisasi perjudian dapat memicu ketegangan antar kelompok masyarakat yang berpegang teguh pada nilai-nilai religius. Potensi munculnya gelombang penolakan dari organisasi keagamaan dan tokoh masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Di sisi lain, dilegalkannya praktik ini juga dapat menimbulkan dilema etis di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi norma sosial dan budaya. Kasino bukan sekadar tempat bermain, tetapi simbol pergeseran budaya di tengah masyarakat. Prof. Dr. Azyumardi Azra (alm), cendekiawan muslim dan mantan Ketua Dewan Pers, pernah menegaskan bahwa “perjudian adalah bentuk dekadensi moral yang menghancurkan integritas pribadi dan sosial.” Legalisasi kasino bisa menjadi pintu masuk bagi normalisasi perilaku menyimpang yang bertentangan dengan nilai luhur bangsa. Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menolak usulan legalisasi judi sebagai opsi menambah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) melalui kasino. Menurut Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, “jangan pernah berpikir untuk melegalkan judi di Indonesia dengan alasan menambah pendapatan negara”. Perjudian di Indonesia bertentangan dengan undang-undang dan norma masyarakat (dalam mui.or.id).
Antara Realitas dan Prinsip
Negara harus cermat menimbang antara kebutuhan mendesak untuk meningkatkan penerimaan dan tanggung jawab jangka panjang terhadap kesehatan moral masyarakat. Legalisasi kasino dan perjudian mungkin menggoda dari sisi ekonomi, namun pemerintah tak boleh abai terhadap potensi dampak jangka panjang.
Paradigma bahwa sumber pendapatan APBN sudah jenuh sebenarnya didasari pada pola pikir konvensional tanpa berupaya menggali kembali sumber-sumber baru yang dapat menjadi pundi-pundi pendapata negara. Sumber daya alam Indonesia masih begitu menjanjikan, dan itu bisa menjadi sumber pendapatan negara yang pastinya akan menjadi lebih besar jika negara sendiri yang mengelolanya. Selama ini pendapatan negara atas sumber-sumber daya alam dari tambang, minyak, gas, kehutanan, dan perikanan masih sebatas PNBP yang tentunya jumlahnya tidak seberapa jika dibandingkan dikelola sendiri. Hal ini didukung oleh pernyataan Triono (dalam Perbandingan Konsep Pertumbuhan dan Pemerataan dalam Sistem Ekonomi Islam dan Kapitalisme, 2014) bahwa pendapatan APBN Indonesia jika menggunakan sistem Islam di mana sumber daya alam wajib dikelola negara sepenuhnya dan tidak boleh diserahkan ke swasta per tahun mencapai Rp5.216 triliun. Pendapatan tersebut belum termasuk uang dan aset hasil sitaan.
Di samping itu, pajak yang menjadi sumber pendapatan terbesar negara masih memiliki banyak potensi yang layak dilakukan. Negara bisa memperkuat sistem perpajakan, seperti memperluas basis pajak, menekan penghindaran pajak, serta melakukan modernisasi sistem pemungutan yang lebih akuntabel dan transparan. Memperluas basis pajak berarti memperluas jumlah dan jenis subjek pajak serta objek pajak yang dikenai kewajiban membayar pajak, sehingga dapat meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan. Ini dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, seperti mendorong lebih banyak pelaku usaha dan individu masuk dalam sistem perpajakan formal, memperluas objek pajak ke sektor-sektor yang belum sepenuhnya tergarap, memperkuat sistem data perpajakan serta kerja sama antar lembaga untuk mengidentifikasi wajib pajak potensial, dan meninjau ulang insentif fiskal yang selama ini tidak tepat sasaran serta menyesuaikan tarif pajak yang adil namun kompetitif. Dengan memperluas basis pajak, negara tidak hanya mengandalkan sumber kontroversial seperti perjudian, tetapi juga memperkuat struktur fiskal yang sehat dan berkelanjutan. Di samping itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pajak yang akan diterapkan pada sektor tersebut harus meningkatkan pendapatan pajak dan memerangi eksternalitas negatif yang diciptakan oleh perjudian (Clotfelter, 2005; Meich, 2008; Gu et al., 2013 dalam Gunay 2023 “Taxation as a Policy Instrument For Social and Economic Effects of Gambling” Article in Journal of Gambling Issues · October 2023)
Dari sisi belanja negara, efisiensi belanja negara harus dikedepankan dengan melakukan evaluasi berkala terhadap program-program yang kurang efektif dan mengalihkan anggaran ke sektor yang lebih produktif. Seluruh lembaga kementerian dan daerah harus duduk bersama untuk menyepakati program prioritas yang produktif. Optimalisasi sektor digital, termasuk ekosistem ekonomi digital, pajak transaksi digital, dan inovasi pembayaran elektronik, juga dapat menjadi sumber penerimaan baru yang berkelanjutan.
Negara juga dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor pariwisata tanpa adanya embel-embel kasino di sekitar destinasi wisata. Masih ada banyak cara lain yang lebih bermartabat dan berkelanjutan, seperti mengembangkan ekowisata, wisata budaya, atau ekonomi kreatif. Hasilnya memang tidak instan tapi lebih dekat kepada manfaat daripada mudharatnya.
Pemerintah Indonesia harus berhati-hati dalam menyikapi godaan legalisasi kasino. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa perjudian legal dapat menggerus kohesi sosial dan melemahkan daya tahan moral masyarakat. Justru tugas negara adalah melindungi rakyat dari potensi bahaya sosial, bukan membuka jalan baginya. Indonesia tidak perlu menjual moralitas hanya demi angka-angka di neraca keuangan. Menolak legalisasi kasino bukan berarti anti-kemajuan, melainkan bentuk tanggung jawab moral untuk menjaga masa depan bangsa. Indonesia perlu maju tanpa kehilangan jati diri.
Namun, apabila pemerintah tetap mempertimbangkan opsi legalisasi perjudian, maka model yang diterapkan harus sangat terbatas dan bersyarat, dengan batasan usia, lokasi khusus, sistem registrasi pemain, pengawasan ketat dari lembaga independen, mekanisme pelaporan transaksi mencurigakan (suspicious transaction report/STR), keterlibatan lembaga keuangan negara dalam memverifikasi asal dana, tidak diperuntukkan bagi warga negara Indonesia, dan mempertimbangkannya dalam norma-norma keagamaan. Langkah ini penting agar manfaat fiskal yang diperoleh tidak menimbulkan beban sosial dan etis yang lebih besar.