Beranda Mimbar Ide Akademia: Antara Gedung Indah dan Kelesuan Intelektual

Akademia: Antara Gedung Indah dan Kelesuan Intelektual

0
Sitti Nurliani Khanazahrah

Oleh : Sitti Nurliani Khanazahrah*

Tulisan ini lahir dari kegelisahan saya ketika membaca catatan seorang cendekia, yang sekaligus dosen saya, Prof. M. Qasim Mathar. Beliau seorang akademisi yang tidak hanya berpikir tetapi lebih untuk merasakan denyut kampus sebagai ruang hidup intelektual.

Dalam tulisannya yang berjudul Kegersangan Akademik (Jendela Langit, 12 Juli 2025), Prof. Qasim berbagi cerita dari seorang sahabatnya, mahasiswa doktoral di Sydney, yang merindukan suasana kampus yang dulu hidup oleh tulisan dan diskusi. Sebuah masa di mana satu artikel koran cukup untuk memantik dialog panjang antara mahasiswa dan dosen.

Tetapi kini, tulis-menulis menjadi beban administratif. Diskusi kian langka. Akademisi tenggelam dalam rutinitas birokrasi yang kering dan tak menyisakan ruang untuk berpikir jernih. Dalam suasana inilah, beliau mengajak kita semua, dosen, mahasiswa, bahkan kampus pesantren sekalipun, untuk bersama-sama menghidupkan kembali apa yang pernah menjadikan universitas begitu bernyawa.

Kampus seharusnya menjadi tempat paling bising oleh pikiran. Bukan oleh bunyi pengeras suara promosi organisasi, bukan pula oleh sorakan lomba antarjurusan. Tetapi bising oleh pertanyaan, oleh keraguan, bahkan oleh benturan gagasan yang tak selalu selesai. Karena hakikat dari akademia adalah keberanian untuk tidak cepat percaya, dan untuk membuka segala kemungkinan atas kebenaran yang belum usai.

Tak dipungkiri, hari ini kampus-kampus kita memang semakin sunyi. Diskusi yang dulu terjadi spontan di lorong, kini tergantikan oleh presentasi PowerPoint yang membosankan. Perdebatan filsafat yang dulu bisa berlangsung berjam-jam, kini digantikan dengan deadline paper dan akreditasi. Mahasiswa lebih akrab dengan rubrik penilaian dan template skripsi daripada dengan dorongan bertanya yang muncul dari dalam diri.

Saya tidak sedang menyesali zaman. Setiap era memang punya tantangannya tersendiri. Tetapi saya ingin menggugat bahwa: Mengapa budaya akademik yang pernah begitu hidup kini seperti kehilangan ruh? Mengapa kampus, yang dalam bahasa klasiknya disebut sebagai almamater atau ibu pengasuh akal, kini hanya menjadi mesin produksi gelar dan ijazah?

Untuk memahami krisis ini, saya ingin mengajak kita merenung bersama melalui tiga pemikir yang menyingkapkan sisi-sisi tak terlihat dari pendidikan. Ada Paulo Freire (1921–1997), Miranda Fricker (1966), dan Musdah Mulia (1958). Masing-masing memberi perspektif dari sisi yang berbeda, yaitu struktur sosial, keadilan epistemik, dan spiritualitas emansipatoris. Dengan ketiganya, saya hendak mencoba membaca kembali kampus kita hari ini.

Paulo Freire mengajarkan bahwa pendidikan tidak pernah netral. Ia selalu berpihak, entah membebaskan atau menindas. Pendidikan yang membebaskan, menurut Freire, bukanlah sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi lebih untuk membangun kesadaran kritis untuk mengubah dunia. Ruang kelas bukan tempat menuang ilmu ke dalam kepala kosong, tetapi medan dialog antara manusia-manusia yang sadar. Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, ia menulis, “Education either functions as an instrument which is used to facilitate integration of the younger generation into the logic of the present system and bring about conformity… or it becomes the practice of freedom.” (Freire, 2000: 34).

Saya sangat setuju dengan semangat pembebasan ini. Tetapi hari ini, pendidikan tinggi tampaknya memang lebih dikuasai oleh logika pasar. Kurikulum dibentuk bukan untuk menggugat, tetapi lebih untuk siap kerja. Perguruan tinggi berlomba mencetak output yang sesuai kebutuhan industri, dan bukan outcome yang membentuk warga berpikir. Akreditasi dan peringkat dunia menjadi tujuan, dan bukan alat.

Saya pernah berbicara dengan seorang dosen muda dari salah satu kampus negeri di kota Makassar. Ia mengeluhkan: “Kami tidak lagi menilai mahasiswa dari keberanian berpikir, tetapi dari seberapa cepat mereka bisa menyelesaikan studi.” Lalu kemudian ia menyebut bagaimana beban administrasi, standar akreditasi, dan tekanan publikasi membuatnya makin menjauh dari ruang-ruang diskusi yang dahulu ia cintai.

Dalam kerangka Freire, ini adalah bentuk baru dari penindasan. Bukan lewat larangan, tetapi lewat distraksi sistemik. Mahasiswa dan dosen sama-sama tenggelam dalam rutinitas akademik yang kosong makna. Tidak ada lagi ruang untuk gagasan liar, untuk pembacaan kritis, atau untuk sebuah kegagalan yang melahirkan pemahaman baru.

Tetapi dalam hal ini, saya juga tidak sepenuhnya setuju dengan Freire. Terutama karena ia terlalu menaruh harapan pada kesadaran struktural. Dalam dunia yang dibentuk oleh algoritma media sosial, tekanan sosial-ekonomi, dan perubahan psikis anak muda, kesadaran kritis tak bisa hanya dibangun lewat dialog horizontal. Ada dimensi afektif dan spiritual yang juga harus disentuh. Maka disinilah saya merasa kita juga perlu membaca pemikiran Miranda Fricker.

Miranda Fricker memperkenalkan konsep epistemic injustice, yaitu ketidakadilan dalam produksi dan penerimaan pengetahuan. Ia membedakan dua bentuk, yaitu testimonial injustice (ketika seseorang tidak dipercaya karena identitasnya) dan hermeneutical injustice (ketika seseorang tidak memiliki kerangka untuk memahami dan menjelaskan pengalamannya). Dalam bukunya Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing, ia menulis, “A hearer wrongs a speaker in his capacity as a knower when the hearer assigns a deflated level of credibility to the speaker’s word.” (Fricker, 2007: 17).

Saya menyadari betapa dalamnya dua bentuk ketidakadilan ini hadir di kampus. Mahasiswa dari kelompok minoritas seringkali dianggap tidak kredibel jika mengungkapkan keresahan. Mereka dianggap terlalu emosional, tidak ilmiah, dan sebagainya. Mahasiswi yang berbicara tentang pengalaman tubuhnya dianggap terlalu subjektif. Bahkan diskusi soal disabilitas, ras, gender, atau kelas sosial malah sering diabaikan karena dianggap tidak “akademik.”

Saya menghargai Fricker karena telah memberi nama pada luka-luka yang tak terlihat ini. Tetapi saya juga merasa bahwa Fricker terlalu liberal. Ia percaya bahwa dengan menciptakan ruang dialog yang lebih adil, kita bisa menyembuhkan luka epistemik. Tetapi dalam banyak kasus yang sering kita jumpai, ruang dialog itu sendiri dikontrol oleh kekuasaan yang tidak terlihat. Yaitu oleh siapa yang menyusun silabus, siapa yang menilai tugas, dan siapa yang menentukan siapa yang layak bicara di seminar.

Sehingga bagi saya, keadilan epistemik tidak cukup dimulai dari niat baik individu saja. Ia harus diiringi dengan perubahan struktural, yaitu perubahan kurikulum, cara pengajaran, dan pengakuan bahwa pengalaman juga adalah bentuk valid dari pengetahuan. Dan untuk itu, kita membutuhkan etika keberpihakan yang lebih dalam. Saya menemukan resonansi ini dalam pemikiran Musdah Mulia tentang pendidikan tinggi sebagai emansipatoris.

Musdah Mulia memandang pendidikan tinggi sebagai ruang emansipasi sosial. Ia tidak hanya mengkritik ilmu yang maskulin dan eksklusif, tetapi lebih untuk menawarkan pendekatan spiritual yang lembut namun radikal. Ia percaya bahwa ilmu yang membebaskan adalah ilmu yang menyembuhkan. Menyembuhkan luka sosial, luka gender, dan luka spiritual. Dalam banyak tulisannya, ia seringkali menegaskan bahwa ilmu harus membebaskan manusia dari kebodohan, dari ketidakadilan, dan dari kekerasan dalam segala bentuknya.

Saya menilai pemikiran Musdah adalah jembatan antara kritik struktural Freire dan luka epistemik Fricker. Ia menegaskan bahwa ilmu bukan hanya soal teori dan metodologi, tetapi lebih soal nilai dan keberpihakan. Kampus bukan hanya sebagai tempat belajar, tetapi lebih soal tempat membebaskan dan menyembuhkan.

Namun demikian, saya juga menyadari bahwa gagasan Musdah sering kali tersandung dengan kenyataan. Di banyak kampus, semangat inklusivitas justru dimanfaatkan sebagai kosmetik institusional. Seminar-seminar gender memang seringkali diadakan, tetapi dalam rapat fakultas suara perempuan tetap saja diabaikan. Seolah isu keberagaman hanya menjadi tema akreditasi, dan bukan kesadaran epistemik yang dijalani dalam kelas.

Ketiga pemikir ini, Freire, Fricker, dan Musdah, membentuk spektrum refleksi yang saling melengkapi. Freire memberi landasan kritis-struktural, menekankan bahwa pendidikan tidak netral dan harus berpihak pada pembebasan. Fricker memperluas pembahasan pada ranah epistemologi, memperingatkan bahwa siapa yang berhak bicara dan didengar adalah persoalan etika pengetahuan. Sementara Musdah menambahkan dimensi spiritual dan kontekstual, memperlihatkan bahwa pembebasan dan keadilan harus bersumber dari kasih sayang dan kesadaran transenden. Ketiganya menunjukkan bahwa kampus bukan hanya ruang logika, tetapi lebih sebagai ruang nilai dan keberpihakan.

Setelah memahami tiga pilar ini, Freire, Fricker, dan Musdah, pertanyaannya kemudian adalah: Apa yang bisa kita lakukan untuk menghidupkan kembali budaya akademik? Bagi saya, mungkin kita tidak butuh revolusi besar. Kita hanya perlu memulai dari keberanian kecil. Misalnya:

1). Menghidupkan kembali ruang-ruang diskusi informal tanpa beban nilai. Diskusi di taman, di warung kopi, atau di lorong-lorong fakultas. 2). Mengajar dengan pendekatan yang lebih terbuka. Bukan hanya menjelaskan, tetapi lebih untuk mendengarkan. Bukan hanya menilai, tetapi lebih untuk menumbuhkan. 3). Mengubah tugas-tugas kuliah menjadi refleksi yang menghubungkan teori dan pengalaman hidup. 4). Mengajak mahasiswa menulis tentang diri mereka, dan bukan hanya tentang teori. 5). Mengundang narasumber dari komunitas, dan bukan hanya akademisi.

Tentu saja ini bukan tugas individu semata. Upaya membangkitkan kembali ruh intelektual kampus harus menjadi gerakan kolektif. Institusi harus berani meninjau ulang sistem penilaian, memberikan ruang akademik yang tidak semata birokratis, dan mendukung forum-forum alternatif. Para dosen perlu membentuk lingkaran intelektual yang otonom dan bermakna, sementara mahasiswa harus didorong untuk membangun komunitas belajar yang mandiri dan berani bersuara. Hanya dengan gerak bersama, bara intelektual itu bisa menjadi api yang menyala kembali.

Mungkin hari ini kampus terasa sepi. Tetapi saya percaya, masih ada bara kecil yang tetap menyala. Entah di obrolan malam para mahasiswa filsafat, di jurnal sederhana, atau di catatan tangan yang tak pernah dipublikasi. Bara itu tak boleh padam. Paulo Freire pernah berkata bahwa pendidikan adalah tindakan cinta, dan karena itu juga tindakan keberanian. Maka mencintai kampus berarti berani berharap padanya, berani menggugatnya, dan berani menghidupkannya kembali. Karena kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi lebih sebagai tempat bertanya, berpikir, dan bersuara. Tempat kita mencari makna, dan memperjuangkan hidup yang lebih bermakna.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT