Beranda Mimbar Ide Menanti Regulasi Kemitraan Transportasi Online yang Berkeadilan

Menanti Regulasi Kemitraan Transportasi Online yang Berkeadilan

0
Rizal Pauzi

Oleh : Rizal Pauzi

Transportasi online merupakan bagian dari kemajuan teknologi yang kehadirannya memudahkan berbagai urusan publik. Selain memperpendek akses dengan kemampuan menjemput dan mengantar langsung di lokasi konsumen, transportasi online juga menawarkan akuntabilitas melalui kejelasan tarif dan pembaruan lokasi secara real-time.

Kehadiran layanan ini meningkatkan kenyamanan masyarakat sehingga banyak yang beralih menggunakannya dibandingkan transportasi konvensional. Perubahan ini menjadi bagian dari fenomena yang kemudian memunculkan inovasi baru. Seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat, pemerintah merasa perlu memberikan pengakuan melalui penerbitan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 28 Tahun 2015, meskipun saat itu transportasi berbasis aplikasi masih dikategorikan sebagai angkutan di luar trayek. Pengakuan yang lebih tegas baru diberikan setelah terbitnya Permenhub No. 32 Tahun 2016 yang secara eksplisit menyebut transportasi online. Regulasi terbaru adalah Permenhub No. 17 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas Permenhub No. PM 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus.

Perubahan dalam tata kelola transportasi publik juga mencerminkan pergeseran paradigma pemerintahan dari government ke governance. Artinya, transportasi kini bukan lagi sepenuhnya domain pemerintah, tetapi juga melibatkan pihak swasta. Frederickson dkk. (2012) menegaskan bahwa “public administration is no longer government alone but involves a wide range of actors in governance networks”, yang menunjukkan bahwa pengelolaan urusan publik tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Dalam praktiknya, aktor-aktor lain seperti organisasi non-pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil ikut berperan aktif. Kutipan ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan jaringan (network approach) dalam tata kelola publik, pendekatan yang lebih adaptif terhadap kompleksitas dan dinamika sosial modern.

Kehadiran transportasi online merupakan bagian dari perkembangan ekonomi gig. Di Indonesia, ekonomi gig mulai bergeliat pada tahun 2015, diawali dengan kemunculan ojek online yang menawarkan skema kemitraan kepada para pengemudinya. Model bisnis ini kemudian direplikasi, tidak hanya untuk layanan ojek yang mengantarkan penumpang, tetapi juga untuk taksi mobil, pengantaran makanan, dan jasa kurir (Permana dkk., 2023).

Seiring perkembangannya yang pesat, jumlah pengemudi transportasi online kini mencapai jutaan dengan berbagai jenis layanan, yang pada gilirannya memunculkan sejumlah permasalahan publik. Isu-isu yang muncul mencakup perbedaan perspektif terkait definisi pekerja gig, payung hukum, perlindungan konsumen, hingga hubungan antara pengemudi dan aplikator. Konflik awal bermula dari pihak angkutan konvensional yang mempersoalkan keistimewaan transportasi online karena tidak terikat pada trayek tertentu. Saat ini, perdebatan yang paling ramai adalah polemik hubungan antara aplikator dan pengemudi, terutama terkait pembagian keuntungan.

Mengapa polemik transportasi online kian meruncing? Kehadiran moda transportasi berbasis aplikasi yang melibatkan jutaan pengemudi dan mitra kini menuntut pemerintah untuk melakukan upgrade kapasitas tata kelola. Kompleksitas masalah yang muncul tidak sederhana, mulai dari tuntutan kesejahteraan pengemudi, perlindungan konsumen, hingga kontribusinya terhadap pendapatan negara.

Akar persoalan sebenarnya terletak pada belum adanya regulasi yang memadai untuk mengatur transportasi online. Kekosongan aturan inilah yang memicu perdebatan tentang status hubungan antara aplikator dan pengemudi. Di satu sisi, komunitas pengemudi mendesak adanya jaminan kesejahteraan melalui status sebagai karyawan. Di sisi lain, pihak aplikator tetap bersikukuh mempertahankan skema kemitraan, sesuai dengan karakter ekonomi gig yang menjadi basis model bisnis mereka.

Ketegangan ini semakin memanas ketika masuk pada isu pembagian hasil. Skema bagi hasil yang memberikan sekitar 20 persen kepada aplikator dianggap pengemudi terlalu besar, sehingga menambah daftar panjang persoalan yang belum terselesaikan.

Kebijakan apa yang seharusnya diambil pemerintah?

Pemerintah bersama DPR sebenarnya sudah merespons polemik transportasi online dengan mengagendakan revisi Undang-Undang Lalu Lintas. Agenda ini tercantum dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2025 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2025–2029, yang ditetapkan pada 19 November 2024. Dalam daftar Prolegnas tersebut, revisi UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berada di urutan Nomor 104 dengan judul Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.

Namun, perjalanannya tidak mulus. Perdebatan di parlemen berlangsung alot hingga pembahasan mandek. Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, bahkan menyampaikan melalui keterangan resmi usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan pengemudi transportasi online di Senayan, Jakarta Pusat (21/5/2025), bahwa pihaknya mendapat mandat dari pimpinan DPR untuk membahas Rancangan Undang-Undang Transportasi Online sebagai solusi terkait polemik tarif ojek online.

Di sisi lain, sebagian pihak justru mendorong revisi UU Ketenagakerjaan agar pengemudi transportasi online diakui sebagai pekerja dengan status karyawan. Sementara itu, Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) dalam risetnya tahun 2025 merumuskan tiga opsi payung hukum bagi regulasi ojek online: membentuk UU baru khusus ride-hailing (peluang rendah), menerbitkan Perppu oleh presiden (peluang sangat rendah), dan merevisi UU Ketenagakerjaan (peluang tinggi).

Meski demikian, menurut hemat penulis, opsi-opsi tersebut perlu ditinjau kembali dari perspektif agenda setting kebijakan, setidaknya memenuhi unsur sebagaimana model Hall (1975) yaitu legitimacyfeasibility, dan support. Sebab, problem transportasi online tak hanya menyangkut pengemudi, tetapi juga keselamatan penumpang, kontribusi terhadap pendapatan negara, dan pengakuan atas keberadaan ekosistem ekonomi gig dalam regulasi nasional.

Dengan demikian, jika kita memandang transportasi online sebagai bagian dari ekosistem bisnis tersendiri dalam bentuk ekonomi gig, maka sudah semestinya ia diatur dalam undang-undang khusus yang dirumuskan melalui kajian komprehensif, bukan sekadar tempelan di revisi UU lain.

Bagaimana regulasi dapat menguatkan kemitraan yang berkeadilan?

Regulasi yang dihadirkan pemerintah seharusnya mampu menjawab tiga persoalan utama ekonomi gig, sebagaimana disampaikan dalam policy brief yang diterbitkan akademisi Universitas Hasanuddin pada 2023 berjudul Regulatory Mapping on Gig Workers in Indonesia. Pertama, keterbatasan regulasi yang mengatur pekerja gig secara komprehensif. Kedua, ketidakjelasan definisi ekonomi gig. Ketiga, kebutuhan akan regulasi yang relevan dan adaptif terhadap kemajuan teknologi.

Merujuk kajian tersebut, sistem ekonomi gig pada prinsipnya adalah model pekerjaan fleksibel berbasis teknologi yang tidak terikat waktu kerja maupun lokasi geografis. Dalam konteks ini, pendekatan kemitraan menjadi pilihan tepat karena mengutamakan ukuran kinerja. Pola serupa juga diterapkan dalam organisasi publik melalui Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025 yang menempatkan performance-based governance sebagai pilar utama. Artinya, pengemudi yang menjadi mitra aplikator memperoleh keuntungan sesuai dengan kinerjanya, dimana semakin baik kinerja, semakin besar pula pendapatannya.

Meski demikian, model kemitraan transportasi online tetap memiliki keterbatasan. Karena itu, kebijakan yang diatur dalam bentuk undang-undang perlu memuat prinsip kemitraan yang bertanggung jawab: memastikan hubungan yang saling menguntungkan, memberikan kepastian kontribusi pendapatan negara bagi pemerintah pusat dan daerah, menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen, serta menjaga agar tata kelola transportasi online selaras dengan tata kelola lalu lintas secara umum.

Dengan demikian, yang mendesak saat ini adalah lahirnya undang-undang khusus transportasi online yang mengatur secara komprehensif, termasuk di dalamnya kemitraan yang berkeadilan, bukan hanya untuk kesejahteraan pengemudi, tetapi juga demi kepentingan publik secara luas.*

*) tulisan ini pernah di muat di media fajaronline tanggal 14 Agustus 2025.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT