Oleh : Wahyudi Muslimin
(Sekbid SBO PC IMM Makassar)
Di tengah pusaran perubahan zaman yang kian dinamis, kepemimpinan mahasiswa kembali menjadi perbincangan penting. Mahasiswa, sejak dulu, ditempatkan sebagai “agent of change” yang memegang peranan strategis dalam setiap fase perjalanan bangsa. Namun, dalam konteks hari ini, peran itu menghadapi tantangan yang berbeda. Jika dulu mahasiswa banyak bergulat dengan persoalan politik nasional, kini mereka juga dituntut menjawab isu-isu global seperti perubahan iklim, transformasi digital, hingga krisis demokrasi.
Dalam lanskap inilah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menemukan relevansinya. IMM bukan sekadar organisasi kemahasiswaan. Ia lahir dan tumbuh sebagai wadah kaderisasi intelektual dan kepemimpinan yang berakar pada nilai profetik Islam, sembari terus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Tema “Dari Nilai ke Aksi: IMM sebagai Tonggak Kepemimpinan Kontemporer” menjadi cermin dari misi itu: menjembatani idealisme nilai dengan praksis sosial nyata.
IMM mendasarkan dirinya pada trilogi profetik: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi mengajarkan bahwa kader IMM harus hadir memanusiakan manusia, menolak dehumanisasi, dan menegakkan martabat kemanusiaan. Liberasi menuntut keberanian untuk membebaskan diri dari belenggu diskriminasi, hegemoni pemikiran sempit, dan ketidakadilan sosial. Sementara transendensi mengingatkan bahwa setiap gerak langkah harus tetap berakar pada spiritualitas ilahiah.
Tiga pilar inilah yang menjadi kekuatan IMM menghadapi era kontemporer. Nilai yang dihidupi bukan sekadar doktrin, tetapi harus dipraktikkan dalam bentuk aksi nyata seperti advokasi hak-hak mahasiswa, gerakan literasi digital, keterlibatan dalam isu-isu kemanusiaan global, hingga mengisi ruang-ruang kebijakan publik.
Sering kali organisasi mahasiswa terjebak pada retorika. Diskusi-diskusi intelektual memang penting, namun akan kehilangan makna jika tidak diwujudkan dalam tindakan konkret. IMM tidak boleh hanya menjadi “ruang nyaman” untuk berdialektika. Ia harus menjadi wadah yang menyalurkan gagasan menjadi kerja nyata.
Dalam sejarahnya, IMM telah melahirkan kader-kader yang berperan penting di berbagai bidang akademisi, politisi, aktivis sosial, hingga birokrat. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, menegaskan bahwa IMM bukan sekadar organisasi, melainkan bagian integral dari gerakan pencerahan Muhammadiyah. Pernyataan ini adalah pesan moral bahwa IMM dituntut untuk terus bergerak, menghidupi nilai-nilai Islam, dan memberi jawaban atas kebutuhan masyarakat.
Sementara itu, Kepemimpinan hari ini tidak bisa dipahami secara tradisional. Dunia yang serba cepat menuntut pemimpin yang adaptif, inovatif, sekaligus berintegritas. Pemimpin kontemporer bukan hanya ditakar dari kecerdasan intelektual, tetapi juga dari kecerdasan emosional, spiritual, hingga digital.
IMM harus mampu mencetak kader yang menguasai teks dan konteks. Artinya, mereka tidak hanya piawai menafsirkan Al-Qur’an dan tradisi keislaman, tetapi juga mampu memanfaatkan teknologi digital, membaca tren global, serta memberi kontribusi nyata di ruang publik. Tantangan globalisasi, disrupsi teknologi, dan krisis multidimensi menuntut hadirnya pemimpin mahasiswa yang tidak hanya vokal dalam forum, tetapi juga produktif dalam karya.
Awal mula pergulatan dimulai dari kaderisasi. Kaderisasi merupakan jantung IMM. Dari proses inilah lahir pemimpin masa depan. Namun, metode kaderisasi tidak boleh statis. IMM perlu melakukan reorientasi agar tetap relevan. Pemanfaatan platform digital, model pembelajaran interaktif, hingga media sosial sebagai sarana dakwah intelektual adalah keniscayaan.
IMM harus melahirkan pemimpin yang tidak sekadar mengulang jargon masa lalu, tetapi mampu menjawab persoalan hari ini. Pemimpin yang mampu merancang program sosial berbasis mahasiswa, mendirikan platform digital untuk literasi, hingga menjadi mitra kritis pemerintah dalam kebijakan publik.
Buya AR Fachruddin pernah mengingatkan bahwa Muhammadiyah jangan sampai terasing dari masyarakat. IMM, sebagai bagian dari Muhammadiyah, harus menghidupi pesan itu. Nilai-nilai Islam yang profetik harus ditempatkan dalam ruang sosial yang kontekstual, sehingga bisa dipahami dan diterima generasi kini.
Kontekstualisasi bukan berarti mengubah nilai dasar, melainkan menafsirkan ulang dalam bentuk yang relevan. Misalnya, nilai humanisasi dapat diwujudkan dalam advokasi kesetaraan gender atau pembelaan terhadap korban intoleransi. Nilai liberasi bisa diimplementasikan dalam perjuangan melawan hoaks digital atau ketidakadilan ekonomi. Sementara transendensi tetap menjadi fondasi spiritual agar setiap langkah IMM tidak kehilangan arah.
Kepemimpinan kontemporer tidak mungkin berjalan sendiri. IMM harus membuka diri terhadap kolaborasi lintas sektor—dengan pemerintah, masyarakat sipil, dunia industri, maupun komunitas internasional. Ketua Umum PP IMM periode 2018–2020, Najih Prastiyo, pernah mengingatkan bahwa IMM adalah rumah kaderisasi kepemimpinan, dan rumah ini harus terbuka untuk gagasan-gagasan mencerahkan.
Kolaborasi inilah yang akan memastikan IMM tidak hanya berbicara dalam ruang idealisme, tetapi juga hadir memberi solusi nyata di masyarakat.
IMM juga dituntut berpikir global. Isu-isu seperti demokrasi digital, perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, hingga krisis kemanusiaan global, harus menjadi bagian dari diskursus kader IMM. Dengan keterlibatan dalam wacana internasional, IMM dapat menunjukkan wajah Islam Indonesia yang moderat, progresif, dan memberi kontribusi nyata di kancah global.
Sejalan dengan pesan KH Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah,” IMM ditantang untuk hidup dengan memberi manfaat, bukan sekadar mencari eksistensi.
IMM hari ini berada di titik krusial. Di satu sisi, ia memegang teguh nilai profetik yang diwariskan Muhammadiyah. Di sisi lain, ia menghadapi tuntutan zaman yang kian kompleks. Dari sinilah makna “Dari Nilai ke Aksi” menemukan pijakannya. Nilai menjadi inspirasi, aksi menjadi bukti.
IMM dituntut untuk menjaga warisan nilai, sekaligus berani melakukan terobosan. Kepemimpinan kontemporer yang visioner hanya akan lahir jika nilai dijalankan dalam aksi nyata. Dengan begitu, IMM akan terus relevan, tidak hanya untuk mahasiswa, tetapi juga bagi bangsa, bahkan peradaban global.
IMM bukan sekadar organisasi. Ia adalah tonggak. Tonggak kepemimpinan kontemporer yang mampu menyalakan obor perubahan dari nilai menuju aksi, dari kampus menuju dunia.