Beranda Mimbar Ide Opini Bandara Bima Kunci Utama Pengembangan Ekonomi dan Pariwisata Daerah Bukan Jembatan Lewamori

Bandara Bima Kunci Utama Pengembangan Ekonomi dan Pariwisata Daerah Bukan Jembatan Lewamori

0

Penulis : Hardin Marewo

Sejarah panjang keberadaan Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima mencerminkan pentingnya posisi wilayah ini dalam peta penerbangan Indonesia dan dunia. Salah satu catatan bersejarah terjadi pada 9 Desember 1919, ketika Smith bersaudara bersama dua mekaniknya mendarat darurat di Bima menggunakan pesawat legendaris Vickers Vimy untuk mengisi bahan bakar. Peristiwa tersebut menjadi bagian penting dari perjalanan penerbangan mereka dari Inggris menuju Australia, sekaligus menandai peran awal Bima dalam sejarah aviasi global.

Beberapa tahun setelahnya, pada 1921, Bandara Sultan Muhammad Salahuddin resmi dibangun dengan landasan pacu sederhana yang terbuat dari anyaman bambu. Pada masa Perang Pasifik, bandara ini bahkan digunakan oleh Angkatan Udara Australia sebagai lokasi transit dan pengisian bahan bakar ketika bergabung dengan Sekutu melawan Jepang.

Fakta ini menegaskan nilai strategis Bandara Bima tidak hanya dari sisi sejarah, tetapi juga dari aspek geopolitik dan pertahanan negara.

Pada masa awal operasionalnya, aktivitas penerbangan di Bandara Sultan Muhammad Salahuddin tergolong ramai, dengan jadwal penerbangan mencapai dua hingga tiga kali dalam sehari. Kini, intensitas penerbangan menurun signifikan, hanya tersisa satu kali penerbangan dari dan menuju Bima setiap sore hari yang dilayani oleh maskapai Lion Air dan Wings Air. Maskapai lain seperti NAM Air yang sempat membuka rute ke Bima kini telah menghentikan operasinya. Kondisi ini memperlihatkan perlunya langkah strategis untuk menghidupkan kembali potensi bandara yang sangat vital bagi konektivitas wilayah timur Indonesia tersebut.

Keluhan mengenai mahalnya harga tiket pesawat dari Bima dan Lombok menuju kota lain seperti Bali dan Jakarta turut menjadi perhatian publik dan wakil rakyat. Seorang anggota DPR RI, menyoroti pentingnya peningkatan fasilitas dan status Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, mulai dari perpanjangan landasan pacu, penambahan apron, hingga kesiapan menerima pesawat berbadan besar seperti Boeing. Dengan infrastruktur yang lebih baik, diharapkan harga tiket lebih kompetitif dan konektivitas masyarakat Bima-Dompu ke luar daerah menjadi lebih mudah.

Namun demikian, munculnya rencana pembangunan Jembatan Lewa Mori yang membentang sekitar 1.300 meter dari ujung landasan bandara menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan penerbangan. Struktur jembatan tersebut berpotensi mengganggu jalur lepas landas dan pendaratan pesawat. Para ahli penerbangan serta tokoh masyarakat menilai bahwa proyek ini perlu dikaji ulang secara mendalam agar tidak menghambat pengembangan bandara dan tidak membahayakan keselamatan penerbangan sipil.

Jika diberikan dua opsi prioritas pembangunan antara pengembangan Bandara Sultan Muhammad Salahuddin atau pembangunan Jembatan Lewa Mori, maka yang harus menjadi prioritas utama adalah pengembangan dan ekspansi bandara. Langkah ini sejalan dengan program strategis nasional Presiden Prabowo Subianto yang menitikberatkan pada peningkatan konektivitas antarwilayah dan modernisasi transportasi udara. Jangan sampai pembangunan Jembatan Lewa Mori justru menghambat dan membahayakan posisi bandara sebagai satu-satunya pusat mobilisasi udara bagi masyarakat Bima dan Dompu.

Melihat dari aspek geostrategis, ekonomi, dan sejarah penerbangan, sudah sepantasnya Bandara Sultan Muhammad Salahuddin dikembangkan menjadi bandara berkapasitas besar dan bertaraf nasional. Dengan dukungan pemerintah pusat, daerah, dan seluruh elemen masyarakat, pengembangan bandara ini akan memperkuat posisi Bima sebagai simpul penting konektivitas udara di kawasan timur Indonesia, serta menjadi pendorong utama kemajuan ekonomi, pariwisata, dan kesejahteraan masyarakat di bawah kepemimpinan nasional Presiden Prabowo Subianto.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT