Beranda Fajlurrahman Jurdi Hukum, di bawah Panji Apakah Bekerja?

Hukum, di bawah Panji Apakah Bekerja?

1
Fajlurrahman Jurdi

Oleh : Fajlurrahman Jurdi

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan; “negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara demikian disebut juga sebagai Rechtstaat, kebalikan dari negara kekuasaan, atau Machstaat. Di negara hukum, setiap orang mengatakan hampir hal yang sama, yakni; “Hukum adalah Panglima”. Hukum berdiri si atas seluruh elemen dan kepentingan, agar bisa melerai dan menjatuhkan putusan bila dianggap perlu dan mendamaikan bila itu dapat menjaga harmoni.

Seorang teman bertanya, “mahluk apakah hukum itu?”. Bagi orang awam seperti saya, Hukum tak punya definisi yang pasti, karena setiap orang dapat dengan mudah memberikan definisi nya, tanpa perlu takut salah pada definisi yang dia buat. Meskipun “tak punya definisi”, hukum memiliki tujuan, dan tujuan itulah yang harus dapat dipastikan oleh alat kelengkapan hukum. Minimal ada tiga tujuan hukum yang diajarkan dibangku sekolah. Ketiganya kata tuan Gustav Radbruch adalah; keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Tuan Gustav percaya bahwa bila keadilan tercapai, tak ada alasan bagi masyarakat untuk tidak menjaga harmoni, sebab keadilan adalah filsafat paling tinggi dari kolektivitas. Orang akan saling menghormati bila mereka menemukan keadilan dalam hidupnya.
Sebab itulah Aristoteles ngotot mengatakan bahwa hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan. Ia membedakan keadilan dalam dua macam, yakni keadilan distributif yang berlaku dalam hukum publik dan keadilan korektif yang berlaku dalam hukum perdata dan pidana. Konsep ini mengilhami John Rawls kemudian. Ia menulis A Theory of Justice (1971). Rawls dianggap sebagai salah satu pemikir utilitarianisme dan menjejali politik dan moral sebagai basis argumentasinya.

Bahkan Robert Nozick (1974) mengigatkan, A Theory of Justice merupakan karya filsafat politik dan filsafat moral yang paling baik, begitu mendalam, sangat luas dan terstruktur. Rawls memperkenalkan satu konsep penting, yakni; ” keadilan sebagai fairness”. Kesepakatan yang fair adalah kunci yang menjadi perkakas konsep keadilan nya.

Dalam konsep negara hukum, keadilan memang bukan satu-satunya tujuan hukum. Keadilan hanyalah salah satu yang harus diciptakan agar tujuan hukum tercapai. Dengan keadilan, warga negara dapat mengukur sejauh mana hukum mampu diterapkan sehingga menyentuh relung-relung terdalam dari suatu masyarakat.

Bila definisi hukum yang rumit dan tak berujung tidak ditemukan konsensus yang sama tentang nya, namun tujuan hukum menurut Tuan Gustav mestinya dapat dicapai. Negara harus menuju ke arah sana. Negara harus membuktikan bahwa keadilan sebagai tujuan hukum dapat dicapai dan harus dicapai. Semakin ke belakang, kita malah kelihatan berjalan mundur dan gagap menjadi negara hukum. Kita sedang menabuh genderang dan menyusun batu-bata sebagai pondasi negara kekuasaan. Keadilan tak diterapkan, karena yang kaya dan berkuasa dengan gampang mengatur dan membeli hukum.

Polisi, jaksa dan hakim sebagai alat dalam negara hukum sebagian besar tidak berpihak pada hukum, apalagi bisa bertindak adil. Mereka sebagian menjadi alat yang mempertontonkan ketidakadilan sebagai sikap dan keputusan nya. Di sebagian kasus, mereka melindungi “tuan tanah” dan para oligark, di sebagian yang lain, mereka menggunakan alat-alat kekerasan untuk menghalau massa yang minta keadilan. Penegak hukum tidak bekerja dengan adil. Mereka dengan sigap menangkap warga yang dicari-cari kesalahannya, namun membiarkan warga lain yang nyata kejahatan melenggang tanpa beban sambil terus berbuat onar.

Hukum macam apakah yang demikian?. Keadilan macam apakah yang begitu?. Negara hukum bagaimanakah yang dimaksud oleh mereka yang berkuasa?, karena segalanya menggunakan standar ganda. Yang berbeda kepentingan dengan penegak hukum, para tuan tanah dan penguasa diburu dan ditangkap tanpa argumentasi yang sehat. Atau memang negara hukum kita kurang sehat?. Atau mungkin penegak hukum yang tak sehat?. Semoga semuanya sehat. Karena bila mereka sakit, maka kita semua ikut sakit, jika bukan fisiknya, mungkin jiwannya.

*) Penulis adalah tenaga pengajar pada fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here