Oleh : Fajlurrahman Jurdi*
Saya sedikit agak geli membaca kutipan yang sedang viral di media sosial yang berbunyi “jabatan itu amanah. Tuhan yang kasih dan Tuhan yang ambil. Yang penting kita kerja yang benar saja”.
Seluruh kutipan itu –jika benar adalah pernyataan BTP (bukan Djarot) – adalah kontradiktif di dalam dirinya. Meskipun benar bahwa “jabatan itu amanah” karena mengandung kebenaran universal, dan karena nya transenden. Tetapi mereka ini menolak yang transenden dilibatkan dalam hal remeh temeh yang imanen. Politik adalah imanen, politik adalah keseharian dunia, yang oleh Agustinus menolak nya mentah-mentah, karena itu ia menyebutnya sebagai civitas terrena. Ada dua bentuk civitas yang diperkenalkan oleh Agustinus, Civitas Dei untuk menunjuk kehendak Tuhan pada kehidupan politik. Istilah ini diterjemahkan secara kasar dengan “Negara Tuhan”. Sementara Civitas Terrena merujuk pada politik yang jahat, sehingga disebut sebagai “Negara Setan”.
Selama pilkada DKI, persoalan paling pelik adalah, “boleh kah agama, atau dengan kata lain, boleh kah Tuhan dilibatkan dalam urusan politik”. Sampai-sampai presiden bicara “jangan campur adukan agama dan politik”.
Hal ini sebenarnya untuk membendung menguatnya “islam politik” yang makin tumbuh pada kelas menengah Indonesia. Ketika jutaan umat Islam dibawah komando Habieb Riziek melakukan tabliq akbar di Monas dan meminta agar BTP diberi hukuman atas pernyataan nya yang menista agama, maka ramai-ramai orang mengutuknya, karena “membawa agama dalam politik”, meskipun apa yang dilakukan nya adalah meminta “pelanggar hukum” untuk “diproses secara hukum”.
Lalu, apakah Tuhan dan agama berbeda?. Mungkinkah kita tau Tuhan tanpa ada agama?. Karena bila menilik pernyataan BTP, “Tuhan yang kasih dan Tuhan yang ambil” adalah bentuk sikapnya yang melibatkan Tuhan dalam “kekalahan”nya. Jika kalimatnya adalah: “jabatan itu amanah. Rakyat yang kasih dan Rakyat yang ambil”, maka ia parallel dengan seluruh sikap nya dan sikap para pendukung nya yang telah merogoh kerongkongan nya dalam waktu lama guna meminta agar agama jangan di bawa ke politik.
Jika tidak keliru, dan mudah-mudahan ada kaitannya, agama dan Tuhan itu paket yang tak terpisahkan. Karena melalui agama orang mengenal Tuhan. Melalui agama pula orang tau cara untuk mendekati Tuhan. Melalui agama orang tau baik dan buruk menurut kehendak Tuhan. Karena itu, agama dan Tuhan adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Agama itu transenden, politik adalah imanen, sama hal nya dunia, manusia, harta dan penampakan-penampakan material ini imanen, sementara akhirat, Tuhan, Malaikat, Surga, itu transenden. Politik itu imanen, sedangkan nilai-nilai yang dikandung di dalamnya adalah trasenden. Kebaikan, moralitas, dan sikap hormat pada sesama adalah ajaran agama, dan ajaran agama itu bersumber dari Tuhan, sehingga ia transenden. Boleh ia dipisah dari sikap politik?. Boleh kah ia dijauhkan dari perilaku politik?.
Jika boleh dan jika memang iya, maka sangat bisa dipahami, sikap BTP menggusur tanpa perikemanusiaan, berkata kasar dan menghina orang lain di depan umum, mengusir wartawan tanpa sikap sopan, memaki-maki orang tanpa rasa bersalah dan menghina agama orang adalah merupakan sikap dan perilaku imanen, sikap dan perilaku orang yang tak punya agama, dan orang yang tak punya agama, pasti tak punya Tuhan.
Sikap dan perilaku ini sama persis dengan sikap mayoritas orang-orang di belakangnya, yang meminta agar “agama jangan di bawa ke ranah politik”. Tetapi kontradiktif dengan kalimat pendek yang viral di media sosial saat menerima kekalahan sementara karena quick qount dan real qount sore tadi; “jabatan itu amanah. Tuhan yang kasih dan Tuhan yang ambil. Yang penting kita kerja yang benar saja”. Seolah-olah Tuhan menjadi penting disaat mereka terkapar dalam kekalahan. Boleh kah kalian berhenti bilang “jangan libatkan agama dari politik?”, jika masih menyeebut nama Tuhan dalam kampanye politiknya?. Jika masih menyinggung Tuhan jika anda kalah dengan mengatakan; “ini kehendak Tuhan”. Mungkin sebaiknya bilang; “ini kehendak rakyat”. Lebih pas mungkin demikian.
*)Penulis adalah tenaga pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin