Oleh : Zainul Abidin*
Demokrasi menjadi sistem yang disepakati, dan menjadi instrumen dalam menata nilai, membangun bangsa (nation building). Sehingga di Indonesia, demokrasi dijunjung tinggi, karena ada kedaulatan bisa dicitrakan, walaupun terjadi abstraksi di ruang-ruang aktualisasinya. Demokrasi adalah tatanan kerterbukaan. Seperti konsep pemerintahan misalnya, demokrasi tidak memberikan kemutlakan kekuasaan di lembaga tertentu. Demokrasi membangun kerangka, sistem pemerintahan yang berparadigma terbuka, antara lembaga esekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki tugas politik untuk saling mengontrol dan mengimbangi (chek and balances).
Proses chek and balences ini, merupakan nilai yang melegitimasi demokrasi di terima sebagai the good system saat ini, termasuk Indonesia. Karena sejarah peradaban umat manusia. Ada trauma historis terhadap pelimpahan kekuasaan secara mutlak, baik secara indifidual maupun kelembagaan. Sehingga Chek and balences sebagai ramuan yang menguatkan daya tahan sebuah negara dalam mengembangkan sistem negara yang selaras dan seimbang, dan tidak pada kemutlakan, yang kecenderungannya melegitimasi erosi daya tahan negara.
Sehingga hemat saya, chek and balances di demokrasi ini yang saya sebut sebagai sistem Jangkar. Karena Jangkar adalah perangkat penambat kapal ke dasar perairan, di laut, sungai ataupun danau sehingga tidak berpindah tempat karena hembusan angin, arus ataupun gelombang. Dan Jangkar juga adalah instrumen yang mengontrol kapal saat ingin sandar di dermaga.
Sistem Jangkar merupakan kajian penyeimbangan dan pengontrolan kekuasaan. Sehingga kekuasaan tidak dipusatkan pada satu struktur kekuasaan politik. Dan juga kekuasaan membutuhkan intrumen yang dapat mengstabilkan nilai, bukan disalahgunakan sebagai pengawet kekuasan. Yaitu diantara struktur politik, ada lintasan political truth yang ditata, yang tidak hanya sekedar simbolis. Maka secara politik, di Indonesia kita mengenal sistem pembagian kekuasan bukan pemisahan kekuasaan. Esekutif menjalankan UU, legislatif, sebagai badan legislasi (pembuat UU), dan yudikatif, badan kehakiman. Sistem ini, tidak lain amanat demokrasi, yang mendelegitimasi absolute power (kekuasaan mutlak) pada struktur kekuasaan bagian dari kebenaran politik yang dimaksud.
Bertolak dari polemik hak angket Dewan Perwakilan Rakyat untuk KPK pada hari ini. Melalui landasan tugas dan wewenang melalui sistem politik antara lembaga yang membagi kekuasaan. Saya mencoba membaca dengan kaca mata the rule system dan impact of the absolute power. Pertama, kita harus mengingat sabda politik dari Lord Acton, bahwa, ”Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Kekuasaan itu kecenderungannya pada korupsi, akan tetapi ketika ada kekuasaan mutlak, maka akan terjadi korupsi secara mutlak pula. Sehingga seluruh lembaga yang memiliki kuasa, ada potensi terjadinya power errors.
Maka hak angket DPR kepada KPK menurut hemat saya adalah amanat demokrasi dan konstitusi di bangsa ini. Karena secara fungsi dan wewenang lembaga negara diatur oleh UUD 1945. Proses aktualisasi lembaga negara, akan ada pada puncak yang paripurna, ketika rasionalitas masyarakatnya memahami, kapan dan dimana penyaluran kekuasaan di tempatkan. Dengan rasionalitas yang konstitutif dan demokratis.
Maka saya juga tidak menafikan, bahwa di Indonesia, dari hasil survei yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII). Dari data Global Corruption Barometer (GCB) 2017 versi Indonesia yang diterbitkan TII, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Tidak medelegitimasi hak angket DPR kepada KPK. Karena pertimbangan pada fungsi pengawasan anggaran oleh DPR dan kajian absolute power. Dan hak angket DPR terhadap KPK merupakan pengawasan power errors pada seluruh lembaga, tidak terkecuali lembaga super body atau anti rasuah sekelas KPK pun.
Akan tetapi dampak negatif (negative impact) hak angket DPR kepada KPK secara politik juga ada. Karena hak angket DPR ini, saya citrakan seperti Jangkar di Kapal. Maka harapan saya hak angket ini, tidak disalah fungsikan, seperti Jangkar di sebuah Kapal, yang dilepas di tengah lautan, disaat Kapal sedang berlayar. Menyebabkan Kapal terganggu dan dihambat dalam ekspedisinya atau pelayarannya, kongkreatnya menghentikan kapal secara mendadak.
Hak angket DPR, tidak disalah fungsikan. Walaupun dijamin oleh konstitusi, dan demokrasi melalui chek and balances anggaran. Maka anggota DPR tidak menjadi nahkota atau Anak Buah Kapal (ABK) yang nakal, yang melemparkan hak angket (Jangkar) di tengah lautan disaat KPK mengusut kasus-kasus korupsi. Karena kasus korupsi, merupakan kangker di bangsa Indonesia, yang menyendera negara, dan penyebab utama negara gagal dalam mengsejahterakan rakyat.
Karena Indonesia negara demokrasi terbesar di dunia. Mengenai hak angket DPR, kita tidak bisa menghakimi lembaga negara yang memiliki hak konstitusional, dan membuat penilaian yang prematur. Demokrasi memiliki benteng kebenaran yang terakhir, yaitu rakyat. Sehingga hak angket DPR, ketika operasionalnya jauh dari ekspetasi konstitusi dan demokrasi. Maka sistem Jangkar (hak angket) DPR, tumbang di tangan rakyat. Tapi menurut hemat saya, hak angket DPR untuk KPK ini, adalah momentum. Agar supaya DPR dapat meningkatkan public trust kepada rakyat, yang selama ini mengalami degradasi. Dan KPK dapat mengevaluasi secara institusi, bahwa hak angket ini, merupakan stimulus untuk semakin meyakinkan KPK sebagai lembaga anti rasuah.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI)