Oleh : Fajlurrahman Jurdi
Harus kita akui, bahwa Setnov adalah salah satu upper class dalam piramida oligarki partai Golkar. Ia penyangga keuangan partai, politisi yang dingin serta punya “pasukan” setia di belakangnya. Jelas para gladiator tidak mampu menyelamatkan nya dari tsunami dahsyat yang menimpanya kini. Korupsi lah satu-satunya yang menyingkirkan nya dari kekuasaan, bila benar ia terbukti di pengadilan.
Lapisan oligarki di Partai Golkar memang agak problematik. Hukum kadang tak terlalu mampu menjangkau ke dalam, apalagi untuk aparat yang gampang dibeli. Jaringan partai yang menggurita, sistem-nya yang rapi, politisi nya yang matang serta manajemen politiknya yang terukur. Golkar memang mesin partai yang sungguh baik.
Sebagaimana partai-partai besar di Indonesia, rata-rata kader-kader di lapisan inti belajar cara mengendalikan kekuasaan dari partai di Partai Komunis Cina (PKC). Politbiro PKC yang merambah hingga ke sekolah-sekolah, merupakan cara merekrut pasukan dan penggalangan massa yang efektif dengan gaya menekan. PKC berpinsip otoriter, partai-partai di Indonesia memiliki prinsip yang demokratis. Meskipun demikian, manajemen pengendalian partai yang efektif, kadang disadur dari mekanisme PKC. Sebatas itu, bukan prinsip perjuangan dan orientasi politik. (Note:argumentasi ini bisa dibantah)
Karena itu, semua asumsi sedang memburu partai Golkar dan tentu saja semua kesalahan bila terjadi penurunan signifikan suara pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, jelas akan ditimpakan kepada Setnov. Tetapi harus juga kita ulur ingatan, bahwa Partai ini seringkali diterjang badai, bahkan gelombang dahsyat hingga hampir dibubarkan. Dengan tenang dan menakjubkan, Partai Golkar pada Pemilu 2004 tampil sebagai pemenang. Karena mesin partai yang bekerja, mereka tidak mengandalkan figur. Apa penyebabnya hingga selalu bertahan?
Pertama, jumlah oligarki yang terdistribusi secara rapi dan berjenjang sangat besar pengaruhnya pada stabilitas partai. Di internal, bara selalu memanas, persaingan selalu sengit, pertengkaran tak usai dan kadang muncul ke permukaan, seperti dualisme, Munaslub dan sebagainya. Pertengkaran-pertengkaran itu sebenarnya adalah perebutan kuasa para oligark. Masing-masing pemimpin oligark yang terbelah membangun dan mensuplai keuangan dan “senjata prajurit” di bawah. Yang kuat sumber pendanaan nya, biasanya paling banyak pengikutnya, karena ia dapat membelikan perlengkapan senjata yang banyak, amunisi yang cukup, alat pertahanan yang kuat dan stabil untuk prajuritnya. Mereka ini terdiri atas orang-orang ultra kaya dan hanya segelintir di antara kerumunan orang di partai.
Kedua, setiap orang di partai, selalu merajut konstitusi partai sebagai “peta jalan perjuangan”. Perdebatan penting di partai adalah perdebatan tentang; apakah konstitusi partai menjadi dasar tindakan dan/atau keputusan atau tidak”. Meskipun belakangan logika sebagian prajurit oligark di masing-masing kubu dalam partai Golkar sudah tidak terlalu kuat dan mendalam, kelihatan nya, mereka memiliki kesamaan pandangan tentang dasar-dasar perjuangan mskipun pada kenyataan nya berbeda kepentingan yang diperjuangkan.
Ketiga, mesin partai yang selalu stabil. Hal ini disebabkan oleh kesadaran berorganisasi yang baik dan kemampuan manajerial yang juga rapi. Bukti yang paling nyata dari kemampuan manajerial sebagian elite partai ini terlihat dalam beberapa kasus. Ketika Prabowo mendirikan partai Gerindra, ia bisa membesarkan partai ini dengan baik. Ketika Hanura didirikan oleh Wiranto, partai ini juga masih bertahan. Saat Surya Paloh mendirikan Nasdem, partai ini mampu bersaing meskipun pendatang baru. Ketiganya adalah mantan fungsionaris Golkar. Di dalam Golkar, ketiga orang ini mengalami kesulitan “mengendalikan” oligark lain yang juga punya power dan uang yang setara dengan mereka. Ketika mereka keluar, dengan manajemen dan uang yang mereka punya, maka mereka menjadi bos di tempat barunya. Sementara di Golkar, mereka ini belum tentu bertahan.
Keempat, sistem kaderisasi berjalan secara berjenjang. Bila ada pendatang baru dan langsung mendapatkan tempat yang bagus, rasa-rasanya ia akan risih sendiri. Kadang merasa terasing, karena si pendatang baru harus menentukan pada kubu oligarki mana ia akan berlabuh. Salah menginjakkan kaki, umur politiknya bisa singkat.
Mesipun demikian, ada persoalan lain yang menggerogoti partai, yang juga merupakan gejala yang umum terjadi di partai-partai lain, yakni terlibatnya oknum tertentu yang memanfaatkan sumber daya organisasi untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok.

Setiap pemimpin oligarki di partai, membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk membiayai pasukan di belakangnya. Karena jika tak dibiayai, pertahanan politik di internal bisa rapuh, sebab sewaktu-waktu dapat ditinggalkan oleh para pendukung nya. Maka si pemimpin oligarki harus mencari uang agar terus dapat memelihara pasukan. Saya berpikir (bisa saja salah), jika benar dan terbukti di pengadilan, apa yang dilakukan ketua Partai Golkar yang baru saja ditetapkan sebagai tersangka adalah untuk membiayai pasukan dibelakangnya.
Saat menulis ini, saya membayang kisah dalam In to The Badlans yang menceritakan pertarungan para Baron di Eropa abad pertengahan. Para Baron ini memelihara pasukan pembunuh untuk terus bertahan dari serangan Baron yang lain. Masing-masing Baron saling memburu dan menghancurkan.
Kini, Setnov merupakan Baron yang dihancurkan oleh pasukan lain yang bukan dari kalangan Baron. Sekelompok pasukan pemburu yang sewaktu-waktu bisa mengincar siapa saja diantara para Baron. Kini para Baron tidak saja harus hati-hati dengan sesama Baron, karena ada mahluk lain yang akan mencabut nyawa mereka.
Go to hell corruption. Siapapun itu.