Beranda Berdikari Tani dan Santri Sebagai Karakter Dan Ideologi Generasi Muda

Tani dan Santri Sebagai Karakter Dan Ideologi Generasi Muda

0

MataKita.co, Purwokerto – Situasi kehidupan tani di Indonesia selalu dimarjinalkan. Sangat ironis melihat sebagian kehidupan bangsa yang agraris justru bisa lebih maju pada zaman kolonial yaitu zaman Hindia Belanda dari sudut keunggulan komoditas tani berskala besar dan dunia seperti karet, kopi, tembakau, kapuk, kopra dan sebagainya.

Ketua Pusat Kajian Ideologi Pancasila (PKIP), Ashoka Siahaaan memaparkan bahwa Indonesia pernah mengalami krisis terbesar yaitu krismon dan reformasi. Meski demikian, lembaga tani dan pesantren tetap mampu bertahan.

“Ini sudah bisa dikatakan sebagai modal utama bagi para santri untuk menyatakan dirinya sebagai penyelamat cita-cita kemandirian bangsa dan tidak berhutang seperti pengusaha-pengusaha kelas kakap yang menyeret perekonomian rakyat dan bangsa dalam keterpurukan dan kesenjangan besar,” kata Ashoka dalam Seminar Ketahanan Ideologi dan Hidup Berbangsa dengan tema Mengembangkan Karakter Berbangsa Untuk Generasi Muda Tani Dan Santri, di Aula Padepokan Filosofi dan Pondok Tani Organik, Rabu (27/7/2017).

Dia menjelaskan, pesantren (Santri) mampu bertahan menghadapi gejolak krisis nasional dan global. Tetapi, lanjut dia, apakah nasibnya akan bertahan saja, tidak mampu berkemajuan menghadapi berbagai tantangan yang akan lebih besar dan berat.

“Sampai hari ini cerita Marhaen masih tertindas dan tertinggal, serta harus masih berjuang dengan ideologi kemandirian ekonomi,” kata dia.

Dengan ini, menurut Ashoka, menjadi keharusan para Santri tetap menguatkan dan menyiapkan diri beserta pengorganisasiannya dengan ideologi kebangsaan dan karakter yang akan menentukan nasibnya ke depan.

Saat ini, tidak ada yang menyangsikan beban menjadi tantangan mulai dari KUD, Bulog, Kredit Tani, PNPM dan sekarang ini adalah Bumdes; sementara semua bentuk lembaga ini bergulir menjadi lembaga-lembaga aksesoris, bergulir pula persoalan yang rumit seperti alih fungsi lahan, perubahan iklim, perubahan kearifan lokal tani, marketing dan diperparah dengan soal nilai tukar tani, serta para penyuluh tani yang “adem ayem” .

“Kemana kita harus pergi, dan orientasi apa yang menjadi pegangan para petani terutama generasi muda yang sepertinya sudah berada pada titik subsisten dan sulit bergerak untuk inovatif apalagi untuk berorganisasi dan berdisplin sosial,” ucapnya.

Tani dan santri

Generasi muda sering disebut sebagai roda penggerak desa dan di segala zaman umumnya mampu sebagai agent of change, mengolah dan mengorganisir usaha dan inovasi di desa.

Berbagai organiasi mempunyai potensi seperti Forum Pemuda, Karang Taruna, dan Santri yang umumnya lebih meniliki waktu untuk bersinergi dengan mentor dan pamong, karena dari segi waktu dan fokus menetap disuatu tempat atau pondokan”.

Kehidupan Pesantren dan Tani menjadi satu keharusan dan kenyataan mata uang (dichtung und warheit) sebenarnya dapat dijadikan contoh ideologi berbangsa dan berkarakter kebangsaan karena mampu membuktikan dirinya sebagai sebuah kenyataan (warheit) menghadapi krisis sosial-ekonomi di massa lampau dan seharusnya (dichtung) di masa depan, sebagai suatu percontohan kearifan lokal maupun nasional yaitu ideologi bangsa, Pancasila.

Untuk itu, kata Ashoka, para Santri jangan memandang sebelah mata terhadap tani yang sekaligus bermakna pada kehidupan dan masa depan bangsa sebagai tanah dan air yang tidak terpisahkan dengan kemajuan Tani dan Santri.

“Kehidupan adalah tani dan tani adalah kehidupan. Dengan ideologi dan karakter bisa menguatkan persatuan pengorganisasian agar maju bersatu dengan kelompok lain sebagai perbedaan bukanlah musuh melainkan bergotong-royong untuk mengubah beban menjadi tantangan, dan tantangan dapat menjadi kenyataan. Keharusan dan kenyataan harus berjalan searah dan seiring bagi Santri dan Tani,” tutup Ashoka.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT