Oleh : Lestari Bestari
“Ah…kerjanya banyak, tapi ngapa naa cuma begini ji di
dapat,” ucapku optimis, selang tempo lalu. Saya sadar,
saya mengeluh. Merasa apa yang dilakukan, tak selaras
dengan tuah yang mesti diperoleh. Tapi apa iya, saya
berhak mendapat lebih banyak, dari apa yang sudah
ditunaikan?
Setelah mencoba lebih sadar lagi, rupanya tak ada yang
perlu untuk dikeluhkan secara berlebih. Sederhana
alasannya. Pertama, saya bawahan, yang dalam bahasa
akademisnya ‘buruh’, yang dalam bahasa prokemnya
‘kacung’. “Memang kau yang punya rekening, mau minta
banyak? Mikir ko!,” sanggah sisi lain saya menirukan
ucapan Abu.
Kedua, toh memang tak ada kreasi dan kemajuan dari
yang saya kerjakan sejauh ini. Lebih separuh yang
sempat saya jalani memang tak berbeda dengan yang
lain. Klenong-klenong di keramaian, dan cuma memburu
objek yang memang dituntutkan. Tak lebih. Tak ada
inovasi, lebih-lebih kreasi, setidaknya pada bidang yang
saya geluti.
“Jadi kalau capekmu cuma dibanderol seperti itu, yaa
wajar ji. Otak pas-pas kurang sedikit, mau diupah lebih?
Mikir ko!.”
***
Dua pekan lalu, seorang teman berperawakan ‘gammara’,
sempat bercerita soal dirinya yang ingin ‘dibajak’ oleh
perusahaan swasta asal Jerman. Katanya, dia hanya
membutuhkan sebuah sertifikat kebahasaan, untuk bisa
ke negeri peraih 5 kali Piala Dunia tersebut.
Nahas, mimpinya kandas. Skill yang selaiknya diganjar
mata uang Euro (1 euro senilai kurang 15 ribu rupiah),
dihempaskan restu. Orang tuanya belum memberanikan
buah hati kesayangannya untuk merantu ke kampung
halaman Adolf Hitler, juga mungkin tak dapat izin dari
sang pujangga he-he-he.
Kala itu, suasana ‘halaman traktor’ cukup riuh. Seorang
teman sempat berseloroh, “Ini mi dibilang, ada orang itu
skillnya cuma skill-skill 1,5 juta ji. Ada tong itu orang
yang skillnya puluhan juta, tapi begitu mi, tidak ada di
Indonesia itu skillnya, jadi tidak tersalurkan mi. Padahal,
bagus sekali memang itu skillnya.”
Jika mengotak-atik laci milik Larry Page cs, pendapat
saya, negeri ini memang bukan tempat para pelancong
kreativitas domestik. Walau, tak dipungkiri pula, banyak
di antara anak bangsa yang patut dibanggakan dengan
sentuhan otak kirinya.
Masa lalu bangsa ini, seorang yang belakangan sempat
mencicipi singgasana merah-putih selama 1 tahun 5
bulan, pernah dibuang ke Jerman. Ya, Bacharuddin Jusuf
Habibie, yang karyanya lebih dikenal khalayak, lewat
film ‘Habibie & Ainun’, bukan dari apresiasi pemerintah.
Film ‘Upin & Ipin’ yang juga digemari anak-anak hingga
orang dewasa seantero nusantara, yang belakangan juga
rupanya dikreatori oleh pribumi. Dan sederet catatan
yang memiriskan lainnya.
Apakah mereka tidak pernah menawarkan lompatan
idenya ke pemilik modal lokal? Jawabannya tentu pernah
(silakan google sendiri untuk lebih detilnya).
Jika diizinkan berpendapat lebih jauh lagi, yang membuat
negara ini selalu dianggap negara yang MAU maju, yaitu
kurangnya ruang dari para pelaku politik. Semua hal
mesti ditinjau dari aspek politiknya terlebih dahulu.
Pertanyaan sederhananya begini. Kenapa masa wajib
belajar 12 tahun, siswa tak diajarkan tentang politik?
Malah dilarang. Buktinya, saat jelang pemilihan kepala
daerah berlangsung, sang calon diganjar sanksi jika
memobilisasi siswa untuk ikut berkampanye. Aparatur
Sipil Negara (ASN) pun demikian. Sementara,
berbanding terbalik dengan kenyataannya. Kebijakan
politik ialah kebijakan yang begitu mendominasi di
negara yang katanya pernah dijajah 350 tahun ini.
“Jangan ikut berpolitik nak, masih kecil. Nanti kalau
besar baru bisa berpolitik. Belajar saja dulu.” Kira-kira
begitu alibi orang tua atau om-tante jika ditanya tentang
politik.
Loh, kalau sejak dini sudah dilarang, memangnya kalau
sudah besar tidak dilarang, atau sudah jadi halal, begitu?
Dosa jenis apa ini yang dibuat-buat pemegang kuasa
negara ini. Atau kalau mau jujur-jujuran, coba tanyakan
orang-orang di sekitar tentang apa itu ‘politik’? Dan insya
Allah, kita akan menemukan sekelumit tafsir rumit
tentang apa itu politik. Sekaligus penanda, bila para
pelaku politik saat ini, tak ingin jika sejak kecil kita
sadar, bahwa politik yang berlabel itu, cenderung
berperilaku tidak baik.
Anda tahu kenapa sistem pendidikan di Finlandia terbaik
di dunia? Itu karena politikusnya tak ikut campur dalam
pengambilan kebijakan buat regenerasinya. Apa ada
(yang katanya) negarawan berbaju partai, yang berani
lantang untuk melontarkan hal demikian?
Eh, mau tanya sebelum kelupaan, rektor nantinya harus
sepersetujuan Presiden RI ya?
***
Di bilik yang lain, teman kalau berbicara bangsa
melulunya selalu pesimis. Bilang negara tak cocok kalau
bukan khilafah lah, negara tidak cocok kalau bukan
dipimpin oleh militer lah, negara tidak cocok kalau
pemimpin negaranya dipasung hidungnya oleh
almamaternya lah, dan ketidaksepakatan lainnya, yang
penuh dengan teori-teori barat yang kerap usang dan tak
digunakan di negara si pembuatnya.
Dan parahnya lagi, seolah-olah hidupnya selamanya
bergantung oleh negara tempatnya lahir. Padahal, jauh
sebelum Ir Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan,
nenek moyang kita bisa hidup tentram tanpa bendera.
Itu karena apa? Mungkin karena kita merasa sudah
punya pemerintah yang mau mengurusi tetek-bengek
produksi keluhan kita. Dan akhirnya lupa, tiap jiwa
dimodali potensi oleh Sang Pencipta. Atau bisa juga,
mereka yang duluan sadar potensinya, memilih untuk
mengakali kita yang seolah ragu atas skill euro kita.
Sebelum tulisan ini benar-benar apkir di pembaca,
izinkan saya memodifikasi sedikit satu jargon seseorang,
yang katanya mau jadi kepada daerah. Berlatar birokrat
berotak pacak. “Ingin belajar saja dulu, jangan merasa
pintar!”
*) Penulis Alumni jurusan bahasa dan sastra indonesia UNM