Oleh : Zainul Abidin An-Suma*
Kalau politik diartikan sebagai prilaku pragmatis. Maka sisi pragmatis politik bisa dinitegrasikan pada prilaku politik. Dan Prilaku politik pragmatis adalah prilaku politik ketika tidak ada alternative untuk mempertahan yang dianggap bernilai.
Namun ada kebajikan ketika ketika menelaah, pragmatif politik, dari cara pandang obyektive. Seperti kita memilih meludahi sesorang saat kita marah. Namun apakah kita akan meludah mengadah keatas atau meludah menunduk kebawah.
Posisi ini, kita memilihnya untuk membandingkan prilaku pragmatis politik sesorang. Dalam bingkai komunikasi verbal yang tidak etis, namun tidak otomatis digeneralkan prialku nista. Namun citra prilaku tanpa alternative dalam status kehidupan masyarakat terlihat begitu inklusif. Bisa kita bandingkan kisah politik antara Joko dan Maria. Yang dalam realitasnya kehidupan politiknya berada pada posisi puncak dari prilaku pragmatis, tidak memiliki alternative. Namun saya secara bijak dapat menilai drajat kemerdekaannya.
Maria adalah perempuan cantik dan jelita. Maria mungkin adalah perempuan yang ada dikisah Pramoedya Ananta Toer yang ada di Sekitar Stasion Manggarai tempo dulu. Maria adalah Pelacur, dan pelacur adalah profesi yang sangat hina dalam kehidupan manusia. Lebih khususnya bagi seorang perempuan. Melacurkan diri adalah puncak dari kenihilan pilihan. Karena kejamnya kehidupan, mengarahkan manusia pada keadaan kepasrahan. Di Pojok Istana adalah fakta, kehidupan, manusia yang sudah dimatikan pilihanya akibat kejamnya krhidupan.
Joko adalah seorang Torero di Nusantara. Torero adalah penunggang sekaligis penjinak Banteng. Joko setara dengan lakon Azis di film Tenggelamnya Kapal Van The Wich, yang angkuh dan sombong, dengan gaya hidup berfoya-foya dan berjudi, namun Azis penaluk Kuda, akan tetapi hidup dililit hutang. Namun pembeda dengan Joko adalah Joko bisa berdandan dengan rapi dan cantik terkait dengan prilaku sombong dan angkuhnya dan yang masyur dengan Joko adalah, citra kepahlawanan ketika dominasi elitisme mencitakan kegundahan.
Singkat cerita, Jokopun menjadi pahlawan dan diberikan kuasa. Melalui mekanisme suara dominan. Joko naik dengan kebanggaan masyarakat. Melalui kemurnian cinta. Dia terobsesi dengan capaian dengan menjadi seorang Torero. Terpancar dari raut muka dan pesan politiknya. Namun pesan-pesan itu sudah tersimpan dalam jejak kata masyarakat.
Pepatah, seorang pelacurpun ternyata terbukti untuk seorang Joko, “sepandai-pandainya kita melacuri diri kita akan ketahuan juga”. Maka Joko tidak lagi bisa berdandan cantik, dan menipu lagi, sifat kesombongan, keangkuhan, berjudi, dan hutang, tidak tertutupi seperti kulit keriput yang amat tua. Begitu tampaknya Joko pada saat itu. Karena sifat dasar adalah titik tolak prilaku sesorang. Cerita kepahlawanannya menjadi genderang yang menciptakan gelombang yang amat dasyat. Yang mengheningkan cipta pada kematian.
Joko ternyata tidak merasakan, bahwa selama ini. Ketika mendapatkan kekuasaan dia semakin menjadi, membeli bedak dan gincu yang mahal dan berjudi. Tidak tanggung-tanggung, barang itu, diimpor dari Matador, tiongkok, dan Amerika, berjudi di Makao. Sehingga bukan hanya dia pertaruhkan dirinya sendiri, akan tetapi rakyat yang dominan yang mempunyai hanya cinta di obral dengan murah.
Sehingga Cintanya rakyat dia gadaikan. Dan yang lebih menyakitkan lagi, dia berani memenggal kepala rakyàtnya untuk melegitimasi nafsu hutang dan perjudianya. Dan sebelumnya juga dia pernah meciptakan konflik batin dan lahir masyarakat yang mencitainya.
Dari prilaku politik pragmatis Maria dan Joko inilah yang menyendera kehidupan hari ini. Namun tetap kita menilainya secara positif. Dan saya membandingkan ada drajat kemandirian dan kedaulatan dalam diri mereka. Pada sisi keberanian dan pilihan hidup. Sebenarnya politik adalah kebajikan dan apabila pada puncak pragmatis politik. Jangan kita “meludah mengadah keatas”. Karena air ludah kita itu akan mengenai muka kita sendiri.
Meludah keatas ini, seperti yang dilakukan oleh Joko. Politik pragmatis yang mendasarinya, akan mengkarakterisasi prilaku politiknya. Karena ketika kenihilan pilihan, disebabkan oleh prilaku, dan aktifitas yang instan. Diakan membokar keirasionalitas dirinya sendiri. Jadinya kebajikan yang bisa kita nilai, ternyata lebih mulaì seorang pelacur dari pada prilaku politik dari politisi yang penuh dengan dram pencitraan.
Maka pelacur berdandan untuk orang lain. Pemimpin politik berdandan untuk dirinya sendiri.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI)







































