Oleh : Fajlurrahman Jurdi*
Setelah dinanti lama, dengan lipatan waktu yang tak tentu, harapan hilang-muncul di setiap berputarnya jarum waktu, akhirnya undang-undang Pemilu diberikan nomor. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu telah mengakhiri tiga fase yang melelahkan, yakni: fase pertama, pertarungan, prinsip, ide dan gagasan yang digawangi oleh para ahli Pemilu, aktivis LSM dan pegiat demokrasi lainnya. Fase kedua, adalah pertarungan politik antar partai di parlemen guna menjaga kepentingan mereka agar terkonsolidasikan dan diatur di dalam undang-undang pemilu; fase ketiga adalah pertarungan harapan, dimana semua warga Negara berharap undang-undang pemilu ini dapat dilaksanakan dengan baik, konsisten dan tetap merawat demokrasi kita.
Kedua fase pertama sudah selesai dengan penetapan undang-undang ini, namun fase ketiga masih akan terus dirawat hingga Pemilu selesai. Hal ini berkaitan dengan logika publik yang menghendaki bahwa mereka yang terpilih dan diberi tanggungjawab untuk berkuasa adalah orang-orang yang memiliki kesadaran akan pentingnya publik sebagai preferensi politik.
Belakangan ini, produksi kekuasaan yang dihasilkan oleh Pemilu seperti “limbah” industri yang dibuang di sembarang tempat, busuknya merambah hingga ke desa. Produksi kekuasaan yang dimaksud adalah “pembangunan” yang disertai dengan “pembajakan” terhadap sumber keuangan Negara. Penangkapan demi penangkapan dilakukan oleh lembaga penegak hukum terhadap mereka yang menjadi bandul dalam sistem politik yang ditempati melalui mekanisme pemilu yang demokratis merupakan fakta tentang buruk rupa sistem demokrasi kita.
Baca Juga: Hukum Hampir Tak Pernah Menang
Rezim hukum Pemilu telah disatukan, dalam arti tidak terpisah ke dalam tiga undang-undang yang berbeda sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif dan UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pilpres. UU Nomor 7 tahun 2017 adalah merupakan “kodifikasi” dari ketiga undang-undang tersebut dengan perbaikan-perbaikan yang tentu saja bertujuan untuk meningkatkan kualitas Pemilu tahun 2019.
Dengan berlakunya undang-undang Pemilu ini, maka rakyat menaruh harapan yang besar pada “pembentukan kekuasaan” yang “disortir” oleh rakyat melalui Pemilu dengan ketat. Limbah yang dibuang selama produksi kekuasaan berlangsung tidak terlalu besar dan tidak mengancam kehidupan bersama umat manusia. Kekuasaan yang sejatinya melayani dan menciptakan “rasa nyaman” bagi warga Negara dengan berbagai instrumen yang ada, tidak mengubah prinsip tersebut dengan terus-menerus patuh, taat dan menghormati rules (hukum).
*) Penulis adalah Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin