Beranda Mimbar Ide Mengapa Harus Santri Memimpin Makassar?

Mengapa Harus Santri Memimpin Makassar?

0

Oleh : Adi Taqwa*

Makassar adalah ibu kota sulawesi selatan, yang satu-satunya kota metropolitan dikawasan indonesia bagian timur berdasarkan jumlah penduduk dan infrastruktur. Diumurnya 410 tahun, ragam kemajuan dapat dilihat jelas. Pembangunan infrastruktur menunjukkan angka yang cukup melesat. Apalagi program pemerintah kota makassar saat ini menawarkan program keren dan unggulan.

Ada 7 program unggulan yang saat ini dapat kita lihat dan rasakan dari 19 program yang dicanangkan. Sebut saja, Makassar Tidak Rantasa, Lorong garden, Makassar Home Car (Dottoro’ ta),Makassar smart card, War Room (CCTV), Makasssar care & resque dan pete-pete Smart (walau pete-pete smart ini belum beroperasi). Ini menjadi trobosan yang patut diapresiasi. Namun, kemajuan ini tidak menutupi kesenjangan yang ada.

Angka kemiskinan Kota Makassar pada 2016 mencapai 9 persen. Angka itu sangat jauh berbeda dengan data 2015 yang hanya berkisar 4,38 persen yang menjadi data psikologis sekaligus data sebagai target TKPKD Pemkot (Tim Koordinasi Penaggulangan Kemiskinan Daerah). Semestinya pembangunan infrastruktur dan kemajuan ekonomi sejalan dengan pengentasan kemiskinan. Hal ini menjadi ironi ketika pertumbuhan ekonomi tidak menyelesaikan masalah kemiskinan. Wajar jika kita ber-alibi, “yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”. Belum lagi masalah kesenjangan sosial lainnya, sebut saja “BEGAL” yang menjadi keresahan masyarakat kota makassar.

Inisiasi Walikota Makassar dengan menghadirkan Forum massa semacam Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pamswakarsa). Kelompok yang marak muncul di penghujung kekuasaan Orde Baru atau bisa dikata forum anti genk motor. Tentunya solusi ini tidak memberikan dampak subtantif dalam hal kenakalan remaja. Karena pada realitanya, kenakalan seperti ini “ber-metamorfosis”. Yang awalnya hanya meneror antar genk (red, remaja), meningkat ke peneroran kerumah ibadah dan saat ini meneror masyarakat atau akrab kita dengar “Begal”. Bukan salah jika solusi Pamswakarsa diterapkan namun efek yang diberikan tidak menyentuh pada kesadaran remaja akan perbuatan mereka. Mungkin hanya menyentuh pada kesimpulan “saya melakukan kejahatan” tidak menyentuh pada “perbuatan ini tidaklah baik”.

Sejatinya penyelesain masalah remaja seperti ini tidaklah dengan langsung menyalahkan perbuatan mereka. Setidaknya melakukan pendekatan dengan pendekatan rukhaniah agar sisi kemanusiannnya tersadarakan. Pendekatan Inilah yang tidak dilakukan sehingga wajar ketika masalah ini tidak hilang. Justeru pelaku begal semakin beringas (membacok dan membusur) bahkan korban tidak lagi hanya kehilangan barang-barang mereka tapi nyawa merekapun turut hilang. Hal ini boleh jadi karena respon dari solusi yang ditawarkan oleh pemerintah.

Pemerintah lupa dengan pentingnya pendekatan Rukhaniah, sehingga nilai-nilai seakan terabaikan. Menjadi sebuah jawaban ketika masalah kesenjangan sosial diarahkan pada pendekatan rukhaniyah (nilai). Mari kita menengok kehidupan santri selama dipondok pesantren yang sarat akan nilai. Di pondok pesantren, santri diajarkan ilmu agama, umum, keterampilan dan kepemimpinan yang kesemuaannya tidak lepas dari Nilai (value). Dengan kondisi kota makassar saat ini yang “gersang” akan nilai, bukan tidak mungkin makassar membutuhkan SANTRI sebagai pemimpim. Seperti penanganan begal yang saat ini lupa akan pentingnya pendekatan dengan nilai.

Dengan bekal nilai-nilai kesantrian, pembangunan kota makassar tidak hanya menunjukkan pada angka-angka, tetapi juga “menyegarkan” pembangunan kota makassar dengan kearifan lokal dan rukhaniah. Olehnya itu, harus santri yang memimpin kota makassar.

*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Darul Aman Gombara) dan Ketua KORKOM IMM UNHAS

 

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT