Beranda Mimbar Ide Piramida Partisipasi Politik

Piramida Partisipasi Politik

0
Muh. Asratillah Senge

Oleh : Muh. Asratillah Senge

Salah satu nawaytu awal dari demokrasi adalah mengoptimalkan partisipasi warga negara dalam ranah politik dan ekonomi. Khusus pada ranah politik, secara teoritis demokrasi adalah sistem politik yang paling terbuka perihal partisipasi. Tapi secara sosiologis, yang teoritis atau yang normatif selalu mengalami deviasi (penyimpangan), dalam realitas keseharian politik sangat jarang bersetia pada khittah-nya.

Begitu pula soal partisipasi, walaupun secara normatif, semua warga negara bebas sekaligus setara dalam melibatkan diri mereka dalam proses politik. Ternyata secara sosiologis, terlihat semacam perbedaan intensitas partisipasi politik. Perbedaan intensitas partisipasi politik inilah yang oleh Roth dan Wilson dalam The Comparative Study of Politics (1980) sebut dengan “Piramida Politik”. Karena Piramida Politik tersebut dibuat berdasarkan intensitas partisipasi politik maka saya menyebutnya dengan istilah “Piramida Partisipasi Politik”.

Roth dan Wilson membagi tipologi partisipasi pemilih berrdasarkan intensitas dan derajat aktivitas politik. Semakin besar intensitas dan aktivitas politik, maka semakin kecil kuantitas orang yang terlibat di dalamnya dan begitu pula sebaliknya. Kelompok teratas dalam Piramida Partisipasi Politik oleh Roth dan Wilson sebut dengan istilah “aktivis”. Siapa itu para aktivis politik ?, yaitu para pemimpin dan para fungsionaris organisasi/gerakan politik tertentu, ataupun fungsionaris dari kelompok kepentingan tertentu.

Para aktivis lah yang merupakan think-thank dalam proses-proses politik. Mereka lah yang merencakan, mengorganisir, mengeksekusi dan menjadi “kata akhir” penilaian proses-proses politik. Biasanya para aktivis ini memiliki orbitnya masing-masing dan pusat orbitnya dapat berupa kepentingan (jangka panjang atau jangka pendek), figur maupun ideologi tertentu. Dalam satu tubuh partai politik tertentu bisa saja terdapat heterogenitas orbit-orbit para aktivis, dan inilah yang biasa sebut dengan “gerbong politik”.

Di bawah lapisan aktivis oleh Roth dan Wilson sebut dengan istilah “Partisipan”. Jika aktivis mengatur tujuan jangka panjang proses politik maka partisipan lah yang menjadi “penerjemah” tujuan jangka panjang tersebut, menjadi langkah-langkah teknis dan taktis dalam mempengaruhi publik. Para partisipan adalah corong organisai/gerakan politik, mereka adalah orang-orag terlibat dalam proyek-proyek sosial, aktivitas-aktivitas kampanye atau marketing politik, para pelobi. Intinya merekalah yang disebut dengan “Petugas Partai”, merekalah yang mengatur segala perihal administrasi dalam sebuah organisasi/gerakan politik.

Di bawah lapisan partisipan ada lapisan pengamat. Para pengamat ini adalah orang-orang terlibat dengan politik secara berjarak. Jika kita mengandaikan proses politik sebagai panggung pertunjukan, dan panggung tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu panggung depan dan panggung belakang, maka para pengamat adalah orang-orang yang setia mengikuti segala bentuk pertunjukan politik di panggung depan. Kelompok pengamat ini dapat kita bagi menjadi dua. Pertama para pengamat yang dilengkapi dengan perangkat teoritis, inilah para pengamat akademis nan profesional dan yang Kedua para pengamat pasif yang melihat peristiwa-peristiwa politik tanpa disokong oleh perangkat lunak teoritik tertentu.

Walaupun demikian kelompok pengamat punya nilai pentingnya sendiri. Mereka adalah orang yang berada di dalam dan sekaligus di luar kontestasi politik praktis. Mereka adalah orang “dalam” karena mereka (khususnya pengamat profesional) mengadakan kontak yang intens (apakah berupa hubungan pekerjaan, diskusi dan sebagainya) dengan para aktivis dan partisipan politik. Tetapi sekaligus mereka dalah orang “luar” karena mereka bukanlah fungsionaris organisasi politik ataupun kelompok kepentingan tertentu. Karena mereka berada di ruang antara, mereka sedikit banyaknya bersikap “tengahan” (mendukung tapi tak fanatik, tidak mendukung tapi tak membenci) dalam proses atau kontetasi politik tertentu.

Lalu lapisan terbawah dari Piramida Partisipasi Politik adalah kelompok “a-politis”. Mereka inilah kelompok dengan kuantitas terbanyak tapi dengan intensitas partisipasi politik terendah. Kenapa kelompok “a-politis” ini ada ?, bisa disebabkan oleh tidak adanya sosialisasi politik, atau dikarenakan mereka tak terlalu berharap banyak terhadap proses politik. Sikap “a-politis” dari kelompok ini berbanding lurus dengan bebrapa variabel, dia berbanding lurus dengan rendah nya tingkat pendidikan, berbanding lurus dengan tiadanya akses terhadap media informasi, berbanding lurus dengan sulit ataupun keterpencilan akses geografis serta berbanding lurus dengan tingkat kesulitan ekonomi.

Kelompok “a-politis” punya kemampuan “kembang biak” yang besar, kenapa demikian ? karena mungkin sudah watak politik, yang menjadikan kekecewaan sebagai salah satu menu utamanya. Dari pemilu legislatif 2009 dan 2014 angka partisipasi pemilih tak pernah menyentuh angka 80 %. Bahkan di beberapa pilkada angka partisipasi pemilih hanya di sekitaran 70 %. Angka ini mungkin sekedar angka statistik di permukaan tapi sebenarnya pantulan dari persoalan yang lebih substansial, yaitu soal legitimasi kekuasaan.

Kita berharap alas dari Piramida Politik Roth dan Wilson, semakin menyempit. Tapi jika mengartikan bahwa demokrasi bukan hanya sekedar soal hajatan 5 tahunan (pemilu, pilpres, pilgub, pilkada) tapi soal bagaimana warga negara bisa mengakses dan turut serta dalam mengarahkan kebijakan politik. Maka partisipasi politik minimalis (sekedar ke kotak suara) tapi tak punya andil vital dalam membaca dan merespon kebijakan-kebijakan publik, sebenarnya masih bisa dikatakan sebagai a-politis. “Suara” yang kita berikan di kota suara pada dasarnya hanyalah penampakan luar dari yang lebih dalam yaitu gagasan dan aspirasi politik, jika “suara” hanyalah sekedar “suara” itu bukanlah partisipasi tapi sekedar adaptasi.

*) Penulis adalah Direktur Profetik Institute

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT