Beranda Mimbar Ide Sungguh Ateislah Cintamu!

Sungguh Ateislah Cintamu!

0

(bagian dua; Relasi Pujangga dan Pejuang)

Oleh : Adi Taqwa

“bukan kusetujui dengan ceritamu, ‘mencintai tidak selamanya memiliki’
Namun, saat ini kumencintaimu dengan pelbagai cara.
Ya, karena itulah yang terkendaki sekarang.
Diriku memang pandai menghibur diri, namun rasaku untukmu tetap terpongah bagai mawar yang tak bermawar.
Rapalan do’aku tetap nyaring berkumandang,
Isakan candu sepi tetap membayangiku,
Mengharapkan dirimu segara datang mengusirnya.

(kelak jika kita bertemu)
Dihadapanmu, diriku tersungkup malu memandangmu, namun dihadapan-Nya, namamu lantang kusebut dalam do’aku.
Serpihan do’aku hanya satu, terima aku disisimu.”

Fulan kembali terjebak dalam lamunan pengantar tidurnya. Sesekali mata ia pejamkan menelusuri bayang-bayang perjuangan cintanya. Cinta pada wanita yang ia pandang sebagai wanita dengan cintanya yang ateis.
Cintanya yang ateis bukan berarti dirinya tertutup dengan lelaki.
Dalam penilaian fulan, fulanah adalah wanita yang terbuka, pergaulannya tidak terbatasi dengan sekat-sekat pergaulan* ataupun strata.

walau ia keturunan ningrat, sifatnya yang sederhana membuatnya disenangi dikalangannya.
Ke-peka-an dengan orang-orang disekitarnya menjadi pujaan tersendiri bagi fulan. Ia pun bercelatuk tentang ke-pekaan fulanah saat bersamanya.
“rintik hujan mengantar rindu pada kenangan manis.
Langkah romanmu menyisir jalanan yang dibasahi hujan, sesekali kau menengok kebelakang, mencari dan menyapaku, sesekali kau menyeruku, tidak sakit ji kaki ta’?
Sambil menahan perih, kepalaku menggeleng tidak.
Ya, kala itu jalannya bercadas. Dan kakiku bertelanjang tanpa balutan apa-apa.
Kau tetap berjalan didepanku, -200 langkah dari basecamp, kau menghampiriku. Berjalan disampingku dan bercerita riang akan pose-posemu yang tertangkap mantap pada jepretan hapemu.
Kuperhatikan, bulir hujan mengeliri rupamu, sebahagian menggelinding hingga bibir dan dagu, sebagian merintik dibulu matamu dan jatuh menyapa jalan.

Alhamdulillaah sampai maki’ …
Seruku…. “
Tersungging senyumku kala memory kebersamaan dengan fulanah ia ingat-ingat.
Bukan sekali tidurnya diantar dengan bayang-bayang perjuangan. Bagi fulan, menjadi hal yang aneh ketika pulas dengan cepat menghampiri rebahan kepalanya dibantal.

***
Secara lughawi (bahasa) pejuang adalah orang yang berjuang. Sedangkan berjuang adalah kata kerja dari juang. Mereka yang berjuang untuk kemerdekaan atas penjajahan adalah pejuang kemerdekaan, yang disebut sebagai pahlawan. Mereka yang berjuang untuk agama adalah mujahid*, yang akhirnya akan disebut Syahid* sepeninggalnya. Dan mereka yang berjuang atas cintanya juga pejuang, yang dikenal dengan ‘pujangga’.
Sejatinya, yang berjuang untuk kemerdekaan bangsanya didasari karena ‘cintanya’ pada tanah air.

Yang berjuang untuk agamanya juga didasari karena ‘cintanya’ pada agama.
Apatahlagi seorang pujangga yang berjuang atas cinta.
Bagi mujahid, cita-cita syahid dapat diraih ketika jasadnya sudah terpisah dengan roh dimedan jihad. Namun pujangga, sudah tersemat ketika ‘kehakikian cinta’ sudah bergelantung dimata. Walau mujahid dan pujangga bukanlah sesuatu yang bisa dikomparasikan.
Pujangga bukan hanya seorang sastrawan. Penulis puisi, prosa ataupun dongen-dongen yang menyibak imajinasi.

Pujangga adalah pejuang. Pejuang yang berjuang untuk ke-hakikian cintanya.
Sekiranya pujangga hanya menulis puisi, prosa ataupun kata-kata romantis, maka pujangga bukanlah pejuang. Tapi PROFESI yang disenangi ataupun karena kepentingan komersil.
Bagi fulan, pujangga tidak berhenti pada arti kata normatif.

***
Angin malam mengantar hujan menyisir kota, menekup tubuh dalam hangat atas deraian hujan yang menyapa, menyanda paha dengan paha, ataukah menyilat kaki diatas sofa yang bersilat.
Hujan bercerita seolah menembang kenangan kala itu, menekan pundi ingatan pada ilusi rasa yang semu, menyerap kesemuan bagai kunang-kunang dalam sadar.
Seorang teman pernah bertanya,
“jadi masih mau lanjut? Sekalipun kau tahu kalau kemungkinan untuk memilikinya itu kecil?”
“selama saya masih bertuhan, yakinku pantang surut (cinta)”
“jadi kau ibaratkan cintamu sama dengan keyakinanmu dalam betuhan ?
Bukankah Tuhanmu telah memperingatkanmu janganlah kamu mencintai seseorang melebihi cintamu kepadaku,”
“insya’allah pada porsinya. Cinta pada tuhan tetap, dan saya mencintai hambanya bukan untuk menuhankan hambanya, melainkan untuk menyempurnakan agamaku (keyakinan),”
Jawabku.
Yaa, jalan (hidup) kita masih panjang. ”

Sepertiga malam memasuki waktunya. Fulan belum lagi terlelap dari lamunnya. Suasana yang suntuk nan sunyi memacu kontemplasi pada ingatan fulan. Sahutan jangkrik dan deruan nyamuk ditelinga menemani tatapan kosongnya pada atap. Seolah atap adalah karibnya yang setia menampung keluh-kesah cintanya.

Seketika cicak menyapa dengan bunyinya yang khas seolah menegur. Menegur akan kebuaian fulan saat itu. Sadar dengan itu, fulan beranjak membasahi tangan, mulut, wajah, siku, telinga, ubun-ubun dan kaki. Dibasuhnya dengan tertib hendak ia laksanakan shalat Lail. Selesai ia menengadahkan tangannya pada sang Maha Cinta selepas shalat, diusaplah wajahnya dengan penuh keyakinan. Bertambahlah keyakinannya kala itu, kalau perjuangan cintanya adalah proses ke-Hakiki-an cinta dalam mencintai.

Seperti dialognya dengan dirinya sendiri,

Kenapa kamu masih saja mencintainya, walaupun kamu tau kalau kalian tidak akan bersatu,?
Sama alasannya kenapa saya bernafas, walaupun saya tau suatu saat saya akan mati.
Yang kuyakini saat ini, dia akan mencintaiku pelan-pelan.
Setelah keyakinannya bertambah, lelap pun menyapa tidur malamnya yang singkat.
Dalam keyakinannya, fulan adalah pejuang. Pujangga yang berjuang atas cintanya.*

Note; Elaborasi kumpulan puisi “Mengejar Kesempurnaan Cahaya”

*)Penulis adalah ketua Korkom IMM Unhas

 

 

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT