
MataKita.co, Makassar — Komite III Dewan Perwakilan Daerah di Provinsi Sulawesi Selatan,mengadakan kunjungan kerja di Ruang Rapat Pimpinan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Senin (16/4/201). Kunjungan ini diterima oleh Penjabat Sekretaris Daerah Sulawesi Selatan Tautoto Tana Ranggina.
Kunjungan ini dalam rangka mendengarkan masukan perwakilan 24 kabupaten/kota Sulsel terkait Revisi Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Adapun Delegasi8 Senator Komite III DPD RI dipimpin langsung oleh Senator Prov. Sulsel HAM Iqbal Parewangi dengan rombongan terdiri atas Ir. H. Abd Jabbar Tobba (Prov. Sulawesi Tenggara), H. Abdurrahman Abubakar Bahmid (Prov. Gorontalo), H. Oni Suwarman (Prov. Jawa Barat), KH. Muslihuddin Abdurrasyid, Lc.,M.Pdi (Prov. Kalimantan Timur), Dr. Dedi Iskandar Batubara, S.Sos.SH.,M.SP (Prov. Sumatera Utara), H. Muhammad Rakhman, SE.,ST (Prov. Kalimantan Tengah), Hj Suriati Armayn (Prov. Maluku Utara) dan KH. Muhammad Syibli Sahabuddin, S.Ag.,M.Ag (Prov. Sulawesi Barat).
Pada rapat di Kantor Provinsi, acara dibuka oleh Plt Sekprov Sulsel, Tautoto. Dalam sambutannya, Sekprov memaparkan berbagai agenda dan kebijakan pemprov bagi perbaikan mutu pendidik dan tenaga kependidikan. Termasuk menerbitkan kebijakan Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) bagi guru honorer. Terobosan tersebut dilandasi keprihatinan rendahnya gaji guru honorer. Tidak sesuai dengan beban mengajarnya hingga ke daerah pelosok. Sedangkan HAM Iqbal Parewangi dalam pengantar diskusi menguraikan, jika guru belum memiliki kompetensi yang baik, kesejahteraan minim dan terancam profesinya. Maka, sukar diharapkan tumbuh generasi berprestasi. Peserta didik bermutu. Dalam pandangannya, “persoalan yang membelit guru, akarnya, pada UU 14/2005 yang sudah tidak memadai menjamin kesejahteraan dan kualitas guru”. Untuk itu, DPD RI berinisiasi melakukan Perubahan UU 14/2005 secara partisipatif. Melalui penyerapan aspirasi dalam kunjungan kerja ini.
Pada sesi diskusi, rapat yang dihadiri para pemangku kepentingan seperti organisasi profesi (PGRI dan IGI), para guru serta satuan kerja perangkat daerah, mengemuka berbagai aspirasi, pernyataan dan harapan. Seperti Ketua PGRI mengeluhkan tugas guru di UU 14/2005 sangat berat. Mulai dari mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Di sisi lain, pemerintah mewajibkan bagi guru dalam mengurus kepangkatan menulis karya ilmiah. Belum lagi beban mengajar 24 jam seminggu. Sedangkan Kabiro Tata Laksana Organisasi Pemprov Sulsel menggagas, penerapan skema manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) untuk mengatasi guru honorer. “Bila guru honorer diangkat menjadi P3K, masalah penggajian akan lebih jelas serta terlindungi secara hukum”.
Salah seorang guru dari Bone berpendapat, distribusi guru di daerah juga bermasalah. Di Kepulauan Tangkep dan Selayar, terpaksa guru dengan basis pendidikan IPA mengajar Matematika karena tidak ada yang mau mengajar disana. Resikonya, sebagai honorer tidak bisa dibayar honornya dari BOS karena tidak linear. Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) menyatakan keprihatinannya atas berbagai kasus-kasus kriminalisasi guru. “Sulsel paling besar mengalami kasus-kasus guru dipidanakan”, ujarnya. Baginya, revisi UU 14/2005 harus memberikan jaminan hukum agar penegak hukum tidak mudah memidanakan guru. Perlu dibedakan kekerasan dengan tindakan mendisiplinkan siswa.
Sementara, Wakil Pimpinan Komite III DPD RI A.M Iqbal Parewangi menjelaskan, bahwa dari 34 provinsi di Indonesia, hanya ada tiga daerah yang diambil sebagai tempat representasi terkait perubahan Undang-Undang Guru dan Dosen.
“Pemerintah Provinsi Sulsel mengundang perwakilan dari 24 kabupaten/kota, sehingga suara yang terdengar adalah suara represetatif, serta hadir lintas sektor di Sulsel,” jelasnya.
Poin-poin masukan yang diberikan, bahwa pentingnya pemerintah memberikan perhatian pada undang-undang yang baru nanti. Terutama untuk tiga hal, diantaranya, pertama kesejateraan guru, termasuk guru honerer dan guru relawan, “Karena selama ini nama tersebut tidak disebut, kalau guru honerer masih ada honornya, ada guru kita guru relawan yang basisnya hanya keikhlasan, jadi pertama tentang kesejateraan guru,” paparnya.
Kedua adalah tentang kualitas kompetensi profesionalitas guru, untuk hal ini sangat kuat desakan dari Sulsel untuk diakomodir agar diatur sebaik-baiknya dalam undang-undang yang sedang diproses inisiasi perubahannya.
Ketiga adalah perlindungan guru, terutama agar tidak ada lagi murid atau orang tua murid yang memeja hijaukan atau guru dipidana karena mendisiplinkan murid.
“Jadi ada tiga, kesejahteraan guru, kompentensi atau kualitas, ketiga adalah perlindungan guru,” pungkasnya.
Adapun batas waktu usulan inisiatif perubahan Undang-Undang Guru dan Dosen ini diselesiakan oleh DPRD paling lambat Agustus 2018 mendatang.
Usai dari Kantor Gubernur, rombongan Komite III berkunjung ke Kopertis Wilayah 9 di Jalan Bung, bertemu para rektor Universitas Swasta seSulsel.