Beranda Fajlurrahman Jurdi KUALITAS ETIK PENYELENGGARA PEMILU

KUALITAS ETIK PENYELENGGARA PEMILU

0
Fajlurahmam Jurdi bersama ketua KPU RI, Arief Budiman

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Seleksi calon anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sulsel sedang berlangsung dan sebagian sudah selesai sementara sebagianlagi sedang menunggu. Hal ini merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu (selanjutnya disebut UU Pemilu), khususnya di Buku Kedua, Bab I. Tentu saja keberadaan penyelenggara Pemilu-lah yang memastikan kualitas pemilu sebagai sarana demokrasi. Kualitas yang dimaksud tidak saja kecakapan intelektual untuk memahami UU Pemilu yang telah jelas dan tegas mengatur Pemilu, tetapi ada juga kualitas lain yang tersurat di dalam undang-undang ini, yaitu “kualitas etik”.

“Kualitas Etik” penyelenggara Pemilu ini secara imperatif telah dituangkan dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d UU Pemilu yang bunyinya; Syarat untuk menjadi calon anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota adalah “mempunyai integritas, berkepribadian yang kuat, jujur, dan adil”. Ada empat “norma etik” dalam frase tersebut, yakni;

Pertama, mempunyai integritas. Di dalam KBBI versi daring, integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan. Karenanya, Integritas berkaitan dengan kesatuan antara “ucapan dan tindakan”. Dalam konteks penyelenggara Pemilu, integritas adalah ketaatan penyelenggara Pemilu dalam mengambil tindakan untuk melaksanakan “perintah dan larangan UU”.

Kedua, berkepribadian yang kuat. Penyelenggara Pemilu akan berhadapan dengan berbagai tekanan politik dari segala penjuru. Karena Pemilu berhubungan dengan kompetisi berbagai kekuatan yang saling unjuk pengaruh. Orang-orang yang memiliki kepribadian kuat tidak gampang di intervensi dan tidak mudah dipengaruhi oleh para kontestan yang bersaing. Kualitas pribadi yang kuat ini hanya akan dimiliki oleh orang-orang yang punya integritas.

Ketiga, jujur. Dalam KBBI versi daring, Jujur berarti “lurus hati, tidak berbohong (misalnya dengan berkata apa adanya). Karena itu, orang jujur pasti tidak curang sehingga ia selalu mengikuti aturan yang berlaku”. Oleh karena itu, ia tidak dapat dipengaruhi, di intervensi dan dibujuk rayu. Orang jujur pasti memiliki kepribadian yang kuat sehingga memiliki integritas yang dapat diharapkan dalam melaksanakan setiap tahapan Pemilu. Dalam hal ini, seorang penyelenggara pemilu yang jujur akan memutuskan setiap persoalan dengan dasar hukum yang jelas dan terang, sehingga semua orang dapat mengerti dan memahami keputusannya.

Keempat, adil. Orang yang memiliki integritas, mempunyai kepribadian yang kuat dan jujur dapat dipastikan akan adil dalam bersikap terhadap semua kontestan pemilu. Karena itu, mereka yang memiliki “kualitas etik” yang baik dapat menyongsong pelaksanaan tiap tahapan Pemilu dengan argumen demokrasi kualitatif adalah mereka yang dapat melaksanakan empat norma etik diatas.

Implementasi keempat “norma etik” dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d diatas oleh penyelenggara Pemilu melahirkan istilah “netralitas” penyelenggara Pemilu dari segi aktor. Dalam hal ini, para penyelenggara Pemilu dari berbagai tingkatan dapat netral dari “tekanan dan bujuk rayu” politik para kompetitor bila keempat “norma etik” itu melekat bersama mereka.

Atas dasar itu, pelaksanaan tahapan seleksi calon anggota KPU Sulsel yang sudah membuahkan hasil dengan terpilihnya tujuh (7) dari 14 (empatbelas) orang yang diusulkan ke KPU Pusat, dan hasil Timsel di Kabupaten/Kota untuk zona I dan zona II yang sedang menunggu keputusan akhir dari enam orang calon untuk ditetapkan menjadi tiga anggota KPU Kabupaten/Kota terpilih, serta tahapan baru yang sedang dimulai oleh Timsel IV yang meliputi Bantaeng, Sinjai dan Palopo yang sementara berposes. Selama proses berlangsung, tentu saja Timsel mendengarkan juga masukan dari masyarakat, terkait dengan “kualitas etik” mereka serta hal-hal yang bisa mengganggu independensinya apabila terpilih sebagai penyelenggara Pemilu kelak.

Begitu juga juga dengan “kualitas etik” pengawas Pemilu yang digawangi oleh Bawaslu, harus melahirkan manusia-manusia setengah “malaikat” yang mampu menghadapi gejolak tarikan kepentingan politik yang sangat kuat di lapangan disaat sedang melakukan pengawasan.

Dari sisi intelektualitas dan pemahaman akan kepemiluan, latar belakang para kandidat “mungkin” dapat diterima, tetapi tentu akan mengerucut kepada kualitas expert. Dari pernyataan: “kurang tahu, tahu, sangat tahu, amat sangat tahu”, maka Timsel akan memeringkat mereka hingga terpilih yang “amat sangat tahu”. Tentu saja ini bukan persoalan ringan bagi Timsel, karena mereka harus menderivasi berbagai kualitas untuk disatukan, seperti kualitas pemahaman di bidang hukum, politik, IT dan lain-lain.

Tetapi kualitas-kualitas itu harus berkombinasi dengan “kualitas etik” sebagai mesin utama yang akan menjaga independensi dan netralitas penyelenggara Pemilu. Karena amanat yang mereka pikul berkaitan dengan seleksi kepemimpinan di berbagai tingkatan, yang berarti amanat “demokrasi prosedural” yang ada dalam UU Pemilu harus benar-benar mereka jalankan secara kualitatif.

Kehati-hatian Timsel menyeleksi Anggota KPU dengan melihat secara “sempurna” dari berbagai sisi sangat penting, agar publik disodorkan penyelenggara Pemilu yang memiliki “netralitas” untuk menjaga keseimbangan demokrasi kita. Wallahu a’lam bishowab.

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT