Oleh : Rizal Pauzi*
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018 ini diklaim berhasil oleh banyak kalangan. bahkan diapresiasi bahwa prosesnya berhasil. walaupun demikian, pesta demokrasi ini ternyata menyisahkan dua masalah besar. pertama, perang opini lembaga survei yang berujung pada hasil yang jauh meleset hari hasil Pilkada. padahal untuk bisa melakukan survei dan mempublish hasilnya harus terdaftar di KPU sebagai lembaga kredibel. kedua, Real Count KPU yang harusnya bisa diselesaikan dalam waktu 24 jam, namun nyatanya sampai saat ini masih ada daerah yang belum tuntas sampai saat ini (baca : 4 hari). Kedua permasalahan ini menyebabkan saling klaim kemenangan dan rawan akan berunjung konflik.
Sebenarnya jika dianalisis lebih mendalam, persoalan ini subtansinya lebih kepada kepastian informasi publik, setiap warga negara berhak untuk itu, negara pun jelas menjaminnya lewat Undang – undang 14 tahun 2008. Namun sepertinya penyelenggara tidak berusaha memahaminya secara subtansi, tetapi lebih kepada prosedural semata.
Keterbatasan akses informasi ini sebenarnya telah diupayakan melalui penerapam real qcunt melalui website resmi KPU. Hal ini dianggap valid karena data hang di upload disertai dengan format C1 yang langsung berasal dari perhitungan langsung di TPS. namun beberapa statement penyelenggara pemilu yang menganggap real qount belum keputusan akhir dan menunggu perhitungan manual, menandakan bahwa penyelenggara pemilu kita masih gagap teknologi. Terlebih lagi, KPU RI mengakui adanya upaya peretasan website resmi KPU berlangsung terus-menerus. Hal ini menyebabkan website down. Ini semakin mempertegas bahwa tim IT penyelenggara kita masih perlu berbenah.
Penerapan E-Gov dan Lambannya Penyelenggara negara kita
E-Goverment di Indonesia mulai dirintis secara serius sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan pemerintaj berupa Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2001 tentang pengembangan dan pemberdayaan telematika di Indonesia. Inti dari kebijakan ini menekankan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi telematika untuk mendukung good governance dan mempercepat proses demokrasi. Namun sangat disayangkan, setelah 17 tahun penerapan E-Gov di Indonesia, lembaga negara sekelas Komisi Pemilihan Umum belum mampu menerapkan E-Gov dengan baik melalui real Qount KPU melalui website resminya. Hal ini harusnya menjadi perhatian serius pemerintah.
Meretas Jalan Terjal Demokrasi Kita
Pilkada serentak 2018 ini bisa menjadi bagian refleksi untuk memperbaiki demokrasi kita. Walaupun secara prosedural, pelaksanaan ini patut diapresiasi. Namun disisi subtansi masi jauh dari apa yang diharapkan. Justru ada beberapa kasus dimana salah satu kandidat yang mendapatkan mayoritas dukungan masyarakat (baca : survei elektabilitas) di diskualifikasi karena alasan yang tidak dipahami publik, ada juga fenomena “begal”rekomendasi partai yang berujung pada calon tunggal. Dan yang paling mempriharinkan adalah transparansi informasi melalui real count KPU tidak berjalan. ini adalah catatan “jalan terjal”demokrasi kita.
Jika merujuk pada negara maju seperti Amerika Serikat, Laman Stanford menyebutkan mesin pemilihan elektronik telah digunakan pada ajang demokrasi di Amerika Serikat pada dekade 1990an. Di tahun 2004, 30 persen pemilih yang teregistrasi memilih menggunakan mesin pemilihan elektronik untuk memberikan hak suara mereka. Ini menandakan bahwa kita tertinggal puluhan tahun dalam hal penggunaan teknologi dalam sistem pemilihan umum.
Indonesia perlu berbenah, saatnya mengejar ketertinggalan. Olehnya itu, beberapa hal yang perlu dibenahi. Tentu komitmen pemerintah pusat dalam penguatan lembaga KPU. Mulai dari peningkatan kualitas SDM dan infrastruktur khususnya kebijakan pengembangan E-Gov. selanjutnya, perlu regulasi yang tegas terhadap partai politik untuk menjalankan tugasnya sebagai lembaga yang memiliki kewajiban memberikan pendidikam politik kepada seluruh rakyat Indonesia, Terakhir, Negara ini butuh fokus pada pengembangan kualitas Intelektual rakyat Indonesia sesuai amanah pembukaan UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sebab tak ada peradaban maju, yang dirintis melalui jalan tol, pelabuhan, dan megainfrastruktur, tapi dimulai dari spirit dan kualitas manusianya.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Unhas dan Direktur Public Policy Network