Oleh : Dr. Asmaeny Azis*
Perempuan selalu diberikan pilihan-pilihan spesial dalam politik. Dalam upaya meningkatkan kotenstasi dan kompetisi dalam politik, rezim hukum Pemilu menghendaki agar afirmatif action diterapkan secara lebih ketat dalam menghadapi Pemilu 2019. Hal ini mestinya menjadi catatan bagi perempuan, bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus terus diperbaiki guna meningkatkan kualitas keterlibatan perempuan dalam politik, agar kedepan tidak selalu meminta “kekhususan” dalam menghadapi masa depan politik Indonesia.
Dalam menghadapi Pemilu dengan sistem demokrasi liberal, tidak ada pilihan lain selain bekerja penuh waktu untuk politik. Pekerjaan politik tidak bisa dilakukan sambilan, atau tidak bisa hanya sekedar menitip nama dan berharap berkah dari langit. Bekerja untuk politik adalah pengerahan kemampuan semaksimal mungkin guna menghadapi ketatnya kompetisi dan kontestasi.
Pemilu liberal menghendaki agar individu mandiri, kuat dan mengandalkan modalitas yang ia bangun. Tidak ada trah, keturunan atau jenis kelamin. Rakyat di Negara demokrasi modern, termasuk Indonesia, sudah mulai memiliki kesadaran politik yang baik untuk memilah mana yang baik untuk dipelihara dan dirawat (dipilih) dan mana yang mesti disingkirkan. Dalam hal ini, rakyatlah yang souvereign, yang berdaulat, sehingga dengan kedaulatannya mereka dapat menentukkan.
Untuk meraih suara, kerja-kerja politik yang strategis perlu direncanakan se maksimal mungkin. Konsultas bisa membantu banyak hal, tetapi kualitas individu dan jaringan sosial juga sangat menentukan. Banyaknya uang tidak menjamin keterpilihan seseorang dalam kompetisi politik liberal. Bahkan tak sedikit mereka yang masih berkuasa malah terjungkal. Perempuan berada dalam posisi yang sentral dalam merebutkan posisi politik di Pemilu 2019.
Perempuan harus bisa menggalang massa, merencanakan program dan menyapa komunitas. Dengan demikian, mereka bisa tampil sebagai kekuatan penyeimbang di dalam masyarakat. Pada titik akhir, bukan soal menang atau kalah yang akan diperebutkan, tetapi soal proses dan perjuangan yang tak bisa dnilai. Kemenangan dalam politik hanyalah salah satu tujuan, tetapi proses penyadaran dan pendewasaan, menyambut tali-temali jaringan, merumuskan gagasan konseptual hingga yang paling artikulatif, merupakan persoalan substantif dibanding hanya sekedar soal menang dan kalah.
Maka untuk itu, mari bersama mendorong kekuatan perempuan untuk mengambil peran dalam Pemilu 2019, dengan terus melakukan konsolidasi dan menggalang massa pemilih.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum UMI dan Calon Anggota DPR RI dari PDI-P Daerah Pemilihan Sulsel 1