Oleh : Furqan Jurdi*
Ketidakpahaman Presiden dalam pemberantasan Korupsi semakin menampakkan Wajahnya secara vulgar setelah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kekeliruan dan ketidakpahaman terlihat dalam Pasal 17 PP Nomor 43 Tahun 2018 terssebut. Dimana setiap pelapor tindak pidana Korupsi diberikan premi sebesar 20% dari kerugian Negara, dan premi itu ditetapkan senilai 200 juta rupiah. Dalam hal kasus suap preminya disesuikan dengan nilai uang suap itu, tetap dalam angka 20%.
Agaknya pemerintah memahami bahwa penghargaan bagi keikutsertaan masyarakat dalam memberantas korupsi itu harus dibayar dengan uang. Padahal dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan yang bersih, bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisem Pasal 8 ayat (1) menyebutkan Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih.
Perlu ditegaskan bahwa Keikutseraan masyarakat dalam memberantas korupsi adalah merupakan hak sekaligus tanggungjawabnya sebagai warga Negara. Seorang warga Negara yang baik apabila mengetahui adanya (niat) suatu tindak pidana, maka dia wajib untuk melaporkannya kepada aparat penegak hukum.
Peran serta masyarakat dalam menghalangi tindak pidana sudah menjadi ketentuan hukum materil yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 165 KUHP mengharuskan bagi seseorang yang mengetahu terjadinya tindakpidana untuk segera melaporkan kepada penegak hukum. Apabila ia tahu dan tidak melaporkan maka ia akan dihukum. Dalam hukum formil, KUHAP pasal 1 angka 16 yang mengatakan “saksi adalah seorang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penuntutan, dan peradilan tntang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri”. lebih lanjut dalam pasal 1 angka 27 diktakan “keterangan saksi adalah salah satu alat bukti”.
Laporan masyarakat terhadap tindak pidana, lebih khusus lagi tindak pidana korupsi menjadi tanggungjawab secara kolektif. Memang KPK diberikan kewenangan untuk menindaknya, tapi dalam mensosialisasikan serta percegahannya tentu masyarakat harus dilibatkan.
Sementara dalam PP 43 yang dianggap sebagai keikutsertaan itu adalah mereka yang melaporkan tindak pidanakorupsi dan kemudian mendapat imbalan. Disatu sisi kita melihat ini positif, karena ada keinginan pemerintah untuk memberantas korupsi, namun disisi lain ini merupakan sebuah langkah yang sangat ‘naif’ yang hanya akan melahirkan pemberantasan korupsi yang boros. Ada lembaga yang dibiayai oleh Negara, tapi masyarakat ‘dipaksa’ antusias dengan alasan optimalisasi pemberantasan korupsi.
UU Nomor 21 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, menjelaskan keikutsertaan masyarakat ini dalam pemberantasan korupsi, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan umum UU tersebut. Peran serta masyarakat merupakan perwujudan dari pemerintahan yang terbuka, dan merupakan konsekuensi dari kehidupan Negara yang demokratis. Maka peran serta masyarakat dalam memberantas korupsi adalah merupakan bagian dari cara warga Negara mencintai negaranya, cara warga Negara untuk ikut pula mencegah kemungkaran yang terjadi. Jadi kalau amal jariyah itu dipatok dengan harga, maka yang terjadi adalah kolusi untuk mengambil uang Negara dengan cara melaporkan orang lain.
Kolusi itu bisa saja terjadi antara lembaga atau pejabat tertentu dengan menggunakan rakyat dan mereka memperalatnya. Lebih jauh lagi, bahkan ini menjadi bagian dari proses kolusi untuk membangkrutkan Negara dengan dalil menyelamatkan uang Negara.
Disinilah letak ketidakpahaman presiden dalam hal memberantas korupsi. Disatu sisi presiden mengatakan dia tidak akan ikut campur dalam penegakan hukum, disisi lain dia tidak memiliki langkah apapun untuk masalah penegakkan hukum, lebih khusus lagi tentang masalah korupsi ini, hingga akhirnya menganggap bahwa semua persoalan itu selesai dengan imbalan materi, dan itu kita buktikan dengan keluarnya PP 43 ini.
Sebuah Langkah Naif
Saya tidak bisa berpikir objektif dengan keluarnya Peraturan Pemerintah ini. Tapi kalau dituntut untuk objektif maka saya akan menjelaskannya. Secara objektif, Agaknya presiden sedang ingin menyempurnakan citranya sebagai pemimpin anti korupsi. Dan itu positif bagi presiden dan tidak positif bagi perkembangan pemberantasan korupsi Indonesia.
Seingat saya, ketika presiden Jokowi Dodo memimpin Negara ini mulia 2014 langkah pemberantasan korupsi seakan-akan ‘liar’ dan tak menentu. KPK sebagai lembaga Negara yang keberadaannya sebagai Auxiliary State Organ (body) tidak bisa disuruh bergeliat secara independen, karena itu akan menciptakan abuse of power atau abuse of institution. Maka petunjuk dan garis kebijakan presiden harus memiliki ketegasan dalam hal pemberantasan korupsi.
Memang, presiden tidak bisa mengintervensi KPK, tapi sikap presiden dalam memberantas korupsi itu harus konkrit. Sikap konkrit presiden itu setahu saya, beliau tidak mengintervensi penegakan hukum. Padahal semua orang tahu penegakan hukum tidak bisa diintervensi, tapi langkah presiden untuk menciptakan penegakan hukum yang tegas, jujur, adil, dan bermartabat harus konkrit..
Tapi dengan adanya peraturan pemerintah nomo 43 ini Presiden ingin mengirim sinyal yang agak naïf kepada masyarakat. Sebuah kerja kesia-siaan yang berlarut-larut, malah ini beresiko pada Negara. Karena kekeliruan dengan mencari simpati dan dianggap anti korupsi hanya karena memberikan 200 juta kepada pelapor korupsi adalah merupakan sebuah ‘persandiwaraan’ politik yang tertangkap basah.
Seharusnya presiden memiliki langkah konkrit dalam hal pemberantasan korupsi ini, bukan mencari cara untuk menaikkan citra diri dengan menghambur-hamburkan uang Negara. Bahkan dengan tanpa uangpun, antusiasme masyarakat sangat tinggi, tapi pemimpin harus mengedukasi diri kemudian mengedukasi masyarakatnya, sehingga semua langkah pemberantasan korupsi ini tercapai, bukan lagi hanya sekedar untuk dipidatokan ketika pemilu tiba atau ketika pemilihan Pimpinan KPK tiba, tapi benar-benar dilaksanakan secara jujur dan konsekuen.
Wallahualam bis shawab.
*) Penulis adalah Ketua Umum Komunitas Pemuda Madani dan Penulis Buku Festival Pemberantasan Korupsi