Oleh : Asdar Nor*
Pentas demokrasi menjadi lahan probalistik partai koalisi. Tak hanya untuk memperebutkan kekuasaan, tetapi juga kepentingan golongan. Kemasan calonnya dipermak layaknya emas yang menghayat qalbu, tetapi pemberian emas gelapnya menjadi candu. Alih-alih memperebutkan kekuasaan dan mengubah wajah Indonesia, tetapi bau egoisme golongan sangat tercium ke seluruh pelosok nusantara. Kekuasaan memang selalu menggairahkan. Mendatangkan yang tak diundang, kembalinya pun dirahasiakan. Berbagai macam semiotic pun bermunculan. Apakah benar-benar ingin berkorban untuk bangsa, atau hanya berkorban untuk kepentingan golongan belaka? Lebih parah lagi jika hanya untuk jiwa dan raga. Lantas di mana letak pengamalan Pancasila? Begitulah, tahta selalu dianggap sesuatu yang membawa berkah. Walaupun didapatkan dengan jalan penuh dosa. Tak banyak yang memperhatikan hal ini. Kebanyakan malah berfokus kepada sensasi. Selayaknya pentas demokrasi menyajikan transparansi, mulai dari pemaparan visi-misi, hingga janji dengan mekanisme pemastian akan ditepati dan ada mekanisme sanksi jika diingkari. Sejatinya pula semua ini diikuti dengan niat luhur untuk mengabdi kepada pertiwi dengan mengenyampikan kepentingan diri. Demi terwujudnya Indonesia yang lebih baik, bermartabat, dan disegani.
Sejatinya tahun 2019 ini benar-benar akan menguji jiwa dan raga. Kredibilitas diri hingga integritas dan harga idealisme jiwa. Bukan tidak mungkin terjadi banyak kamuflase dan metaphor diri atau golongan demi tujuan tersembunyi di balik kontestasi demokrasi. Berbagai muara dapat menguatkan hal tersebut. Kebijakan pemilu yang berubah-ubah baik format maupun teknis, mulai dari president threshold, pemilu yang simultan (pemilihan presiden, DPD, DPR, dan DPRD berbarengan), hingga yang sedang hangat diperbincangkan yaitu problem kotak suara kardus dan mekanisme debat capres-cawapres. Semua itu menambah rumit dan ketatnya persaingan menuju kursi kekuasaan di pentas demokrasi tahun ini. Bisa dikatakan diskursus yang sangat hangat adalah semua dapat terjadi di tahun ini, baik dengan cara elegan maupun pecundang. Di sinilah tolak ukur dan idealisme setiap pribadi di uji. Di kala diri dihadapkan dengan berbagai macam peluang yang tentu menggiurkan. Bahkan tahun demokrasi sebagai parameter untuk mengukur keaslian diri (sifat diri yang sebenarnya) telah menjadi aksioma. Hal ini karena begitu banyaknya tindakan-tindakan yang merugikan bangsa terus berulang dan menjadi lingkaran setan sepanjang hitorisitas panggung demokrasi dilaksanakan.
Dengan berbagai proposisi tersebut, maka telah jelas bahwa pentas demokrasi tahun ini akan menjadi ujian bagi idealisme diri. Hal ini bukan hanya terjadi nantinya, tetapi karena telah terjadi pula di festival demokrasi tahun-tahun sebelumnya. Paling dekat untuk dijadikan pertimbangan dan refleksi adalah pemilu tahun 2014. Begitu banyak money politics yang terjadi tidak lagi menjadi aib yang harus disembunyikan. Indonesia Indicator pada tahun 2014 menyebutkan bahwa dari penelusuran media, terdapat 14.556 pemberitaan terkait pengamanan pemilu legislatif di Indonesia. Dari data tersebut, terdapat sebanyak 3.318 atau 23 persen yang memuat pemberitaan tentang pelanggaran pemilu. Sehingga terlihat jelas, kasus politik uang mendominasi pelanggaran Pemilu Legislatif 2014. Pada tahun 2014 pula, Bawaslu RI telah mengusulkan kepada KPU terkait 10 kontainer bukti kecurangan Pilpres. Semua itu hanya sebagaian kecil, jika diteliti lebih lanjut akan lebih banyak lagi, mulai dari pencoblosan ulang dibeberapa TPS, pembelian suara di Papua, pembagian sembako sebagai bentuk serangan fajar dan masih bannyak lagi.
Intinya, pentas demokrasi benar-benar menjadi penguji kualitas idealisme. Mulai dari capres hingga caleg yang berebut dukungan, di situlah diri di uji. Setiap individu baik calon sebagai peserta pemilu maupun warga negara sebagai peserta pemilih akan di uji keimanan idealismenya. Demikian pula terhadap parpol pengusung dan pendukung yang bersubordinasi dengan calon yang diajukan. Sejatinya perhelatan demokrasi ini dilakukan secara fair play sesuai dengan amanat UUD 1945 tentang pemilu. Tetapi, semakin mendekati hari pelaksanaan pentas demokrasi tersebut, sedikit demi sedikit kesamaran idealisme terus terlihat. Penjahat politik menampakan kebaikan, yang benar-benar baik di cap sebaliknya. Hal tersebut telah menjadi sesuatu yang lumrah, di mana sensasi dipertontonkan dan niat keji dirahasiakan. Hal ini juga tidak terlepas karena iklim demokrasi di Indonesia yang masih diwarnai tiga fenomena buruk yaitu patronase, klientilisme, dan jual beli suara. Dan menjadi pertanyaan yang harus direfleksikan dalam hati, “Berapakah harga idealisme diri ini?”
Semua entitas akan bersikap pragmatis-praktis jika dihadapkan dengan dua kutub antara kejayaan atau kenistaan. Makanya tidak mengherankan jika peserta pemilu mengorbankan semua yang dimilikinya. Bahkan uang dianggap cara yang paling genuine untuk memperoleh kemenangan di tahun demokrasi. Dengan itu, banyak hal dapat dilakukan. Membeli suara, memanipulasi suara, hingga membeli elektabilitas. Intinya bagaimana agar memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya sebagai penunjang kemenangan. Apalagi jika salah satu kontestan mempunyai kekuasaan, misalnya petahana yang mencalonkan kembali. Semuanya dapat diformat sesuai keinginan dan memuluskan kemenangan. Sekali lagi, di sinilah letak idealisme di uji. Apakah idealisme akan menjadi sistem imunitas atau dapat dihargai dengan selembar uang kertas? Semoga saja idealisme diri dapat berekstase agar terhindar dari pragmatisme demokrasi yang menyesatkan diri.
*) Penulis adalah Sekretaris Bidang Hikmah Pikom IMM Hukum Unhas