Oleh: Ermansyah R. Hindi*
Tidak ada yang dapat kita katakan di sini, di saat orang-orang tidak memberikan jalan yang perlu kita tempuh. Kita hanya mengatakan untuk tidak menyembunyikan diri di saat kita tidak mampu berkata apa-apa lagi tentang teror yang melanda di setiap belahan dunia ini. Dalam perselisihan nilai-nilai yang termerosotkan, celah hari-hari yang jatuh yang tidak dapat kita bedakan lagi mana pagi dan sore yang mengakhiri titik kecemerlangannya. Kita mungkin terlalu lama meluap-luapkan semangat untuk menemukan kemampuan memahami sesuatu dan menemukan kemungkinan-kemungkinan permulaan dari pemikiran baru, atau cakrawala mulai redup dari pengetahuan mutakhir tentang manusia yang dibebankan pada mereka yang belum tentu mengerti apa yang akan terjadi esok. Kita belum berakhir di sini untuk mengatakan, bahwa logika dan bahasa yang pertama tidak diprasyaratkan.
Perubahan-perubahan menantikan kemunculan kembali bentuknya yang sama sekali berbeda. Mungkin suatu hari setiap orang akan menantikan datangnya cakrawala lain yang membuat kita tidak mengerti dari sesuatu yang tidak terpikirkan. Dalam pikiran kita, perubahan atau kehidupan yang berlanjut dihadapi oleh peradaban yang rentan. Suatu perjalanan waktu yang mungkin terjadi secara sirkular, eksponensial, linear atau progresif yang disubyektifikasi pada jenis pengaturan biasa seperti pemenuhan kesenangan atas ‘biaya hidup’ yang memadai, dimana setiap orang menuju kekosongan yang bukan berasal dari celah krisis pemikiran. Sejumlah pengalaman memungkinkan untuk memberikan pemikiran mutakhir setelah ketidaksadaran menjadi hakikat manusia yang paling rahasia. Kesadaran berbalik menghadang perubahan yang tidak berfluktuasi lagi, tetapi memainkan peran tersembunyi di balik ketidaksadaran yang membuat pikiran tidak memasuki wilayahnya sendiri. Kita sedang keluar dari wilayah pikiran. Teror, tragedi, dan bayang-bayang tubuh dikorbankannya di bawah terik siang hari menyertainya adalah krisis pemikiran. Semuanya berhenti memikirkan apa yang terjadi dari jauh-jauh hari sebelumnya, pada titik tolak kematian yang merancang alur kehidupan lain dihianatinya. Tidak khayal lagi, teror selalu di luar representasi pikiran. Sebaliknya, setiap orang yang mengutuk, melawan dan mensolidaritaskan dirinya terhadap korban teror(is) dan tragedi yang menumpahinya merupakan kegilaan yang ajaib tanpa orang gila. Kegilaan adalah sarana pengesahan yang layak untuk membalaskan secara beradab terhadap setiap fantasi dan kedalaman yang kosong: kesadaran, hasrat, selera, moral, bahkan agama. Sudut pandang lain dari kritisisme sejarah-kemanusiaan, bahwa teror(is) dalam pengertian murni tidak memiliki hubungan dengan agama yang transendental. Pemikiran bagi orang-orang yang memercayainya tetap bersifat imanen sebagai akibat pemikiran dan penafsiran yang beragam tentangnya. Hilangnya kata-kata yang direpresentasikan dalam bahasa meletakkan simbol suci atau teks sakral telah tidak ada lagi sebelum kekuatannya sirna dalam wilayah pemikiran. Kegilaan juga mengundang pemikiran yang beragam, bukan karena seseorang mengidap penyakit syaraf atau kehilangan ingatan. Setiap teror(is) muncul karena mereka tidak membebaskan dirinya dari pengurungan teks yang setiap saat berubah-ubah, berganti dan bertopeng. Orang-orang akan mengetahui, teks dapat berubah-ubah atau berganti akibat terbagi dua lapisan, yaitu alami dan virtual, asli dan tersembunyi, murni dan tiruan. Teror tidak muncul dari penderitaan, tetapi dalam kenikmatan dan kelimpahan. Dalam kehidupan yang fantastis dan ironis, komedis dan tragis penting dilihat seseorang secara menyeluruh dalam pemikiran radikal supaya terbebaskan dari perangkap fantasi atau kedalaman yang kosong dengan syarat mereka melihatnya sebagai dinamika, irama kehidupan, berseni, silih berganti, muncul, dan lenyap. Dalam kehidupan silih berganti, jalin menjalin bahasa antara penderitaan dan kebahagian di bagian celah itulah mendapatkan kegilaan. Mode pemikiran yang ditunjukkan “di luar” teror(is) tidak berakibat manusia terbunuh bahkan secara massal merupakan bentuk kegilaan yang istimewa yang perlu mendapatkan kedudukan tersendiri dalam kebudayaan yang berbahaya. Setiap kecenderungan untuk mencapai titik tolak dari batas-batas yang tidak terbatas ditandai nilai kemanusiaan yang sekarat. Hanyalah peristiwa tragis menyertai bahasa senyap dari pemikiran nan tragis. Dari kejauhan, orang-orang tidak akan melihat rupa, penampilan atau identitasnya, jika mereka memberhalakannya, berarti bahasa dan logika hanyalah teka-teki yang menyertai ekstriminitas pemikiran analitis dan praktis. Perlukah di zaman ini berpikiran secara analitis-kritis sejauh sebagian orang telah menafikannya dan sebagian lainnya berpikiran praktis? Adakah dan berapa besar peran dari fantasi atau kedalaman yang kosong di tengah kegilaan untuk menentang teror(is)? Apa yang perlu kita tertawakan dalam kebenaran lancung, dari manakah kita memulai berpikir dan meletakkan bahasa yang layak bagi kehidupan? Sepanjang kita telah berusaha untuk membebaskan pikiran dari takhyul dan ilusi kebenaran, kegilaan tidak membutuhkan suatu pemujaan atas analitis dan praktis bagi pemikiran, karena kegilaanlah telah keluar melintasi pikiran sekaligus dari tubuhnya. Sementara itu, orang gila atau neorosis mengembalikan dan membebankan kesadaran dan tubuh dengan caranya sendiri. Selama ada kesempatan mencoba untuk mencubit kulit tangannya atau merabah wajahnya, tiba-tiba tidak terbangun dari tidurnya. Kita berpikir tentang bahaya tidak dalam keadaan terjaga. Kita atau mereka tidak ada lagi dalam bayangan kelupaan akan sekitarnya. Kesatuan bayangan merupakan kekhasan kegilaan. Sedangkan, orang-orang gila secara murni telah membelah, terbelah dan menghianati bayangannya sendiri. Kegilaan ditandai orang-orang yang tidak menyandang orang gila, skezoid atau neurosis. Jalan lain dari bahaya besar dari ketidakgilaan epistemik dengan melakukan penghargaan setulus-tulusnya yang tidak terbeli dengan apapun adalah menggalang solidaritas kemanusiaan untuk semua korban teror-pembunuhan massal tanpa memandang latar belakang etnis, agama, ras, dan budayanya. Disinilah titik ujian dengan bahasa dan logika kemanusiaan yang menghilang dan datang kembali pada kita. Segera kita melupakan sejenak pada kegilaan di tengah hari-hari perkabungan untuk manusia.
Seperti baru saja kita mengusap mata, bukan karena keringat bercucuran, mengalir di sekitar dahi dan pelipis atau debu menempel di permukaan mata dan bahkan linangan air mata, tetapi mengalirkannya. Memang, kadangkala kita tidak mampu mengedipkan mata satu dua kali dan diam mematung melihat suatu pertunjukan yang tidak gratis, sekalipun mereka memainkan permainan tanpa permainan (pembunuhan, pertumpahan darah). Orang-orang Timur perlu bekerja keras untuk mengumpulkan fakta atau bukti-bukti keistimewaan pemikiran analitis-kritis dan praktis yang telah dimiliki manusia dalam episteme Barat dan membuat penyatuan kembali nilai kemanusiaan dalam wilayah pengetahuan yang tidak bisa dihindari. Diskursus tentang kegilaan dan kemanusiaan tinggallah diskursus, bukan karena sesuatu yang tragis lahir diantara diskursus zaman kuno, melainkan kemampuan kita untuk menarik bayangan kejayaan dari ilmu pengetahuan tentang kegilaan ke puncak zaman yang kita gumuli sekarang tidak merahi kembali dalam kesadaran manusia dan hal apa yang kita dapat berkhidmat padanya tanpa tekanan sedikitpun. Tempat perkhidmatan kita di dunia ini paling berbahaya adalah membangun solidaritas (Kompas, 17 Maret 2019 bersama laman lainnya, seperti News dan Straits Time juga melansir tentang ‘solidaritas penduduk Selandia Baru dan warga lainnya di dunia, termasuk Indonesia, menunjukkan solidaritas terhadap korban penembakan massal di dua masjid di Christchurch’. Jumlah korban penembakan massal tercatat 40-an jiwa yang gugur dan puluhan lainnya mengalami luka-luka di masjid Al Noor dan masjid Linwood Christchurch oleh pria bersenjata). Berkabung bersama warga lain. Solidaritas mereka secara spontan nampaknya bukanlah quasi-nilai universal, mereka sangat kuat hubungannnya dengan konsep manusia yang cenderung menggunakan bahasa dan logika tersendiri untuk tidak mengasingkan dan melupakan diri mereka sendiri tentang apa itu manusia dan kemanusiaan menjadi kualitas dalam dirinya yang esensial dan tidak dapat dikurangi. Mimpi dan imajinasi mereka merupakan kesatuan kemanusiaan yang tidak sia-sia dan tetap menjadi teka-teki baginya, seakan-akan logika-matematis dan bahasa-logis tidak bisa menahan jeritan dan perihnya kehidupan melalui perhitungan jumlah korban dan nilai apa lagi yang harus dikorbankan di zaman teror. Lain lagi, kesatuan kemanusiaan yang dimaksud adalah persembahan belasungkawa dan kepeduliannya melalui karangan bunga bersama pesan untuk korban teror dan keluarga yang ditinggalkannya dengan sumbangan makanan halal hingga perlindungan dan keamanan dari warga untuk menemani warga muslim di bawah rasa ketakutan (meskipun teror terselubung lebih berbahaya menghantui pikiran) untuk berjalan sendirian. Kembalinya tanda kemanusiaan telah melampaui simbol-simbol yang melekat padanya. Pada masa kita sekarang ini, bahasa bersama kata-kata yang merasuk di dalamnya tidak lagi menelantarkan kemanusiaan esensial sebagai tanda. Teror dan berakhirnya filsafat dan akan kembali di tengah-tengah kita setelah “yang Sama” dan “sang Lain” benar-benar tidak menyimpang dari pemikiran maju, bahwa kita saudara dalam damai dan tenang dalam keberagaman. Dalam pikiran kita sama sekali tidak terlintas ada upaya untuk membuka kedok masing-masing, karena tanda kemanusiaan dengan solidaritas yang terbangun telah menegasikan kedok tersebut. Terdapat dua tanda bahasa kemanusiaan yang terbentuk pasca teror melalui solidaridas warga, yaitu (i) gagasan persaudaraan hakiki dalam kespontanan yang tidak ternilai, dibandingkan benda-benda lahiriah yang mereka sumbangkan, tawarkan dan dukungkan dari satu warga ke warga yang korban. Kemunculan wilayah bahasa dan logika kemanusiaan begitu aneh dan ganjil berupa pesan-teks tertulis yang mengharukan dari warga: “Saya begitu menyesal bahwa anda tidak aman di sini. Hati kami hancur untuk kehilangan anda dan apa yang telah diberikan kepada keluarga anda. Ketahuilah bahwa kami akan menjaga mereka dan mencintai mereka. Kami tidak akan pernah melupakanmu. Pergilah dengan damai dan cinta” untuk korban ditengah kelenyapan makna dan keruntuhan nilai kehidupan (secara relatif dalam pengetahuan Barat); dan (ii) dalam persfektif sosial dan politik, pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan tidak luput dari kehilangan pusat kekuatannya, kecuali memberikan perhatian yang lebih dekat tanda kehidupan sekaligus kemanusiaan di tengah suasana keterbukaaan dan kedamaian dalam keberagaman yang solid dan menyebar. Tanda dikuatkan melalui rangkaian bahasa, logika dan proposisi antara pemikiran dan kehidupan menampakkan dirinya dalam tatanan yang diimpikan selama ini dengan mengatakan: “Kehancuran mereka berarti kebersamaan bagi kami” begitu menakjubkan. Tanda kemanusiaan dengan sejarah manusia dan pengetahuan yang dikembangkannya tidak sekedar matriks potensi dan kondisi umum (penduduk, tenaga kerja, iklim, kesuburan tanah, model pertanian, industri, dan potensi sumber daya lainnya) menjadi pengulangan dalam penggunaan bahasa-logis yang terakhir. Dimanakah jejak-jejak kehidupan tidak lebih dari pemikiran tentang kemanusiaan yang diragukan dan dipuja-puja?
Tatkala obyek pengetahuan adalah manusia yang berpikir bebas, bermain, berjuang, berbicara, dan bekerja untuk menjawab permasalahan di sekitarnya selalu pada titik rawan menggantikan jarak yang sama pertama-tama dihadapi tidak lain tanda menuju kematian. Dalam keseluruhan wujudnya, dari mana kehidupan akan berakhir di situ pula kematian telah mencatat, merekam dan berbicara pada kita dalam teka-teki apakah kematian sunyi, instan, jelas, tersembunyi, indah ataukah murka dan tanpa perkabungan? Keberadaannnya tidak juga ditemukan melalui orang lain, kecuali diri kita sendiri sebagaimana tanda-tanda kehidupan ada pada diri kita. Kematian memiliki episteme khas dan logikanya sendiri yang tidak menempati representasi pikiran yang dirancang kritis, bebas, inklusif, moderat atau pada alam bawah sadar. Kematian dalam maknanya luas tidak datang dari hasil penelitian dan pengalaman yang lazim ditemukan di luar; kematian bukanlah ruang kata-kata yang memunculkan dan melenyapkan makna dalam bahasa begitu beragam, dari ruang kosong diantara apa yang ingin dibicarakan dan dinarasikan secara tertulis oleh seseorang. Ia juga bukanlah artikulasi ditempatkan begitu saja sejalan dengan tujuan yang dirahi dan sasaran yang ingin dicapai sepanjang perjalanan hidup, dimana tanda-tanda kematiannya bukanlah ‘mode wujud’ yang bisa diberikan pada pengetahuan lainnya. Kematian adalah kematian itu sendiri. Berkat keagungannya, kenikmatannya dan kerahasiannya, dimana logika kematian “bukanlah fase tanda yang luar biasa” yang setiap orang akan mengarunginya. Jika bukan satu-satunya spesies yang berpikir dan “menjadi”, manusia ketika berusaha bukan merujuk pada pengetahuan kembali tentang kebenaran manusia yang menjadi ilusi, tidak terpikirkan tanpa secara tidak langsung berpikir mengenai keterbatasan pengetahuan dan diri manusia yang membuatnya bergairah kembali. Dalam “kematian yang indah” tidak berbicara pada tubuh, tetapi yang jejak-jejak atau catatan, arsip, pemikiran, hasrat, kenikmatan, mimpi, dan cita-cita kemanusiaan dan kehidupan yang telah diwariskan pada generasi berikutnya. Haji Daud Nabi di hari berbahagia itu, hari Jumat satu-satunya hari dimana “kematian yang indah” (beautiful death) mengantarkan pada cemerlangnya kerahasiaan tanda-tanda yang sulit kita pikirkan dan memang selamanya demikian. Sosok martir, pengungsi muslim (dari Afganistan berusia 71 tahun yang melindungi jama’ah lain saat terjadi penembakan keji dan sangat biadab) menandakan juga penghancuran simbol suci (di Masjid Selandia Baru saat Jum’atan hendak ditunaikan 15 Maret 2019). Ia bersama sosok Naeem Rashid, (guru warga Pakistan) menjadi pahlawan dalam serangan teroris. Dalam “kematian yang indah”, apalah gunanya usia, profesi dan bahkan simbol suci tatkala kita tidak berpikir apapun, baik kata-kata, tiruan maupun kemiripan redup dalam kecemerlangannya. Setidaknya, kedua sosok tersebut menjadi tindakan epik yang tidak tertandingi yang telah teroreh dalam pemikiran, dalam tulisan yang lugas, mengalir dan mengulang di setiap kisah sejati untuk menjadi dan menghilang dari kekuatan representasi bahasa. Pemikiran akan memikirkan tatanan heroik dalam suatu pemikiran terus-menerus hidup menjadi jejak-jejak atau tanda kemanusiaan. Begitulah, kematian yang indah diimpikan orang untuk memikirkan pada hari kita sekarang disamping menantikannya pada saat pagi, siang, malam, dan seterusnya silih berganti akan memertanyakan kembali batas-batas pemikiran tentangnya. Menjadi “kematian yang indah” benar-benar murni, bukan metafora atau semantik, tetapi hasrat untuk berpikir.
*) Penulis adalah ASN Bappeda Kabupaten Jeneponto