Oleh: M. Aris Munandar*
Sejarah peradaban manusia di Indonesia telah mengarungi waktu yang cukup lama. Dinamika persoalan adalah makanan sehari-hari setelah merasakan nikmatnya kemerdekaan. Jerih payah pendiri bangsa dan negara Indonesia sudah sepantasnya sepadan dengan perkembangan manusia di Indonesia hingga saat ini. Namun corak itu sepertinya bagaikan pinang dibelah dua. Kehangatan berwarganegara bukan lagi menjadi aspek utama yang dahulunya merupakan corak khas bangsa Indonesia yang komunal, tapi tendensi kekuasaan yang berubah menciptakan mala sosial pada masyarakat marginal terkhusus bagi masyarakat hukum adat. Padahal corak itu sudah seyogyanya patut diaktivasi guna menopang terciptanya fondasi harmonisasi dalam hegemoni kekuasaan pada setiap masanya.
Perspektif peradaban dalam konteks agraria tentunya memerlukan sebuah stratifikasi pemikiran sebagai bagian intelektual profetik. Konsepsi reforma agraria memiliki dimensi yang berorientasi pada nasionalisme bahkan lebih luas lagi yakni universialisme. Adalah pola kehidupan yang komunal menjadikan bangsa Indonesia sebagai tempat untuk menciptakan momentum peradaban yang berbasis agraria. Mengingat nusantara dipenuhi pulau dan tanah dengan sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Dengan demikian perlindungan pengelolaannya harus mencakupi dua aspek yakni aspek pengelolaan negara dan adat.
Hukum Adat Sebagai Instrumen Penegakan Hak Ulayat
Hukum adat adalah salah satu subsistem hukum yang ada di Indonesia. Keberadaan hukum adat sebagai instrument pelaksanaan tertib sosial menjadikan Indonesia sebagai negara yang moderat namun tetap mengedepankan kepentingan sosial universal. Hukum adat dikatakan sebagai instrument penegakan hak ulayat karena cikal bakal dari hukum adat itu sendiri adalah berasal dari adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat hukum adat yang kemudian dikristalisasi menjadi sebuah tatanan hukum yang dikenal dengan istilah hukum adat (adatrecht). Istilah hukum adat sebagaimana pada uraian sebelumnya telah dijabarkan yaitu berasal dari kata Adatrecht yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronya dalam bukunya yang berjudul De Aceher’s (Orang-Orang Aceh).
Hukum adat dalam konteks hak ulayat juga merupakan salah satu objek kajian konstitusi Indonesia yakni termaktub dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Hal ini menunjukkan bahwa hukum tertinggi Indonesia yakni UUD NRI 1945 juga secara tekstual mengangungkan keberadaan hak adat dalam kehidupan bernegara.
Secara prinsipiel hak ulayat adalah sebuah ideologi masyarakat tradisional yang telah hidup dan mengakar dari zaman dahulu hingga sekarang. Hak ulayat dalam perkembangannya mencakupi beberap dimensi termasuk dimensi agraria (hak atas tanah). Pergolakan politik hukum agraria juga menjadi sebuah corong dalam meningkatkan penjaminan hak ulayat pada setiap masanya.
Reforma Agraria dan Problematika Hak Ulayat di Indonesia
Istilah agraria berasal dari bahasa Latin yakni ager yang berarti sebidang tanah (bahasa Inggris acre). Kemudian bahasa latin aggrarius memiliki arti “yang ada hubungannya dengan tanah, pembagian atas tanah terutama tanah-tanah umum, bersifat rural”. Sedangkan istilah reforma memiliki arti “perombakan”, mengubah atau menyusun, membentuk kembali sesuatu untuk menuju perbaikan (Lihat: Gunawan Wiradi dalam bukunya Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian Agraria).
Persoalan reforma agraria masa kini adalah lebih kepada terciptanya banyak sengketa tanah ulayat. Cita-cita masyarakat hukum adat nampaknya akan menjadi sebuah pohon impian abadi?. Reforma agraria dalam konteks pemenuhan hak ulayat mengalami keterhambatan dalam pemenuhannya. Hambatan itu berasal dari adanya dominasi mayoritas dari kalangan pengusaha yang tidak memerhatikan kepentingan agraria dari masyarakat adat. Pada banyak kasus, masyarakat adat hanya menjadi kacung dalam negerinya. Hal ini disebabkan semangat perjuangan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat dalam memperjuangkan haknya seakan hanya bunyi kecil yang tak diperhatikan oleh pemerintah.
Negara sebagai panglima tertinggi dalam menjamin kesejahteraan masyarakatnya terkhusus masyarakat hukum adat (MHA), mesti hadir untuk mengupayakan hal itu. Diam adalah kebiasaan yang sering didengar oleh MHA dalam kehidupannya. Sepi dalam perjuangan, seakan tanpa dukungan yang layak serta jaminan hukum bagi mereka. Adalah masyarakat hukum adat Kajang yang telah menjadi salah satu pihak yang dirugikan oleh salah satu perusahaan karet yang ada di Bulukumba. Penggusuran secara paksa terlihat seperti ketiadaan kehangatan dalam kehidupan berwarga negara sebagai akibat arogansi dari pihak perusahaan.
Padahal, hak ulayat itu sangatlah indah ketika diperjuangkan secara simultan oleh semua kalangan termasuk pemerintah. Keadilan universal yang katanya sering diagungkan oleh setiap calon presiden bagaikan bualan semata yang tak pernah direalisasikan. Kasus MHA Kajang itu sudah berlangsung dari tahun 2004 hingga sekarang (2019). Bahkan pada tahun 2004 telah menelan korban jiwa. Namun kemana peran negara?
Perjuangan hak ulayat bukan semata perjuangan MHA itu sendiri, melainkan mereka adalah paru-paru bangsa Indonesia. Ketika mereka sakit maka yang akan kena imbasnya adalah seluruh rakyat Indonesia. Diam adalah kata yang paling tidak etis untuk diungkapkan dalam hal ini. Selayaknya memperjuangkan reforma agraria dalam menunjang pemenuhan hak ulayat adalah suatu jalan yang terbaik.
Teringat perkataan seorang sastrawan yang bernama Pramoedya Ananta Toer, dia mengatakan “Seorang terpelajar haruslah adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Suatu ungkapan yang menyayat hati para kaum hedonism yang merupakan kaum terpelajar namun dalam otaknya hanya berisi profit semata tanpa memperhatikan lingkungan yang tertindas. Kalaulah MHA menjadi masyarakat minoritas, maka konstitusi adalah rumah panggung bagi mereka. Konstitusi adalah hukum tertinggi Indonesia, yang senantiasa menaungi MHA di Indonesia. Sehingga tidak ada jalan bagi mereka yang galak akan kekuasaan dan profi dalam melanggar hak ulayat yang telah dijami konstitusi itu.
Kalau mau indah jangan kau ciptakan kegaduhan dalam pikiran. Kalau mau kaya jangan kau makan hak orang lain. Dan kalau cinta tak lagi kau berikan pada masyarakat hukum adat, maka konstitusi akan menstimulasi kepentingan mereka. Perjuangan MHA adalah perjuangan bangsa Indonesia, bukan semata-mata perjuangan MHA itu sendiri.
Penulis mengutip sebuah prinsip yang di pegang erat oleh MHA Kajang Ammatoa Bulukumba:
“Patuntung manuntungi, Manuntungi kalambusanna na kamase-maseanna, Lambusu’, Gattang, Sa’bara nappiso’na”.
(Manusia yang telah menghayati dan melaksanakan apa yang dituntutnya dikawasan adat (Ammatoa), yakni yang menuntut kejujuran, kesabaran, ketegasan, kebersahajaan dan kepasrahan dalam hidupnya). (Sumber: Ammatoa.com).
*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal KAMMI Komisariat Sosial Humaniora Universitas Hasanuddin Periode 2018-2019