Oleh : Muslim haq. M*
Seiring berjalannya waktu tak terasa kita kembali berjumpa dengan peringatan hari reformasi tahun 1998 yang bertepatan dengan 21 Mei 2019. Tentu ini adalah moment yang paling sakral untuk dilakukan evaluasi perjalanan rezim reformasi di negeri ini yang telah memasuki usia 21 tahun pula sebab belakangan ini tentunya banyak kejadian-kejadian yang menjadi potret penodaan terhadap wajah reformasi yang menjadi usang, sebab reformasi seyogyanya hadir dengan membawa semangat demokrasi dan juga kebebasan yang kian dibuka secara luas.
Semangat reformasi yang diperjuangkan massa aksi terdahulu secara besar-besaran, tentunya tak lain daripada menuntut agar kebebasan itu hadir dan berjalan beriringan sebagaimana adanya dalam perjalanan hiruk pikuk berbangsa dan bernegara, sebab rezim orde baru dianggap telah membius kebebasan itu lalu kemudian mengutuknya hingga “mati” tanpa jejak sekalipun. Dengan begitu para mahasiswa pada masa itu melakukan demonstrasi secara besar-besaran di belahan bumi petiwi ini dengan misi melengserkan “rezim orde baru” lalu mengganti dengan “rezim reformasi”. Perjuangan ini telah membuahkan hasil, ditandai dengan tepatnya 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan secara terbuka atas pengunduran dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia sekaligus sebagai cikal bakal berakhirnya masa orde baru yang berkuasa selama 32 tahun.
Reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan dalam berbagai bidang yang komplit baik bidang ekonomi, hukum, politik, sosial atau agama dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan begitu tentunya kehadiran razim ini sangat diharapkan terjadinya perubahan yang tadinya “kebebasan berpendapat di bungkam” menjadi “dibuka secara luas”, lantas apakah ini demikian dalam kenyataannya? Tentu menarik kita ulas secara yuridis sebab indonesia merupakan “negara hukum” sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Konsekuensi sebagai negara hukum adalah tentunya segala aktivitas atau kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah harus sesuai dengan nafas hukum yang bertujuan untuk terciptanya ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Maka dari itu, tentu jaminan Hak Asasi bagi setiap warga negara indonesia yang identik dengan “kebebasan” harus dihormati dan dijunjung tinggi karena itu merupakan hak konstitusional bagi setiap warga negara. Hal ini telah diatur secara konstitusional dalam Pasal 28E Ayat (1), (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Berkaitan dengan itu, muatan tulisan ini lebih memfokuskan pada uraian Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Selanjutnya, hal ini juga diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang berbunyi bahwa: “Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat adalah hak setiap warga Negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, secara bebas dan beratnggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Kemudian apa yang dimaksud di muka umum? Berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) UU No. 9 tahun 1998 yang berbunyi bahwa: “Dimuka Umum adalah dihadapan orang banyak atau orang lain termasuk juga di tempat didatangi dan/atau dilihat setiap orang”.
Namun realitasnya, saat ini justru yang terjadi adalah “kesenjangan” terhadap amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan tersebut, hal ini dapat kita lihat dengan maraknya orang yang awalnya hanya “mengeluarkan pendapat” terhadap pemerintah yang “sah” kendati berujung pada persoalan hukum yang berakhir ke dalam ruang jeruji besi. Tentu fenomena ini sangat tidak lazim, apa tah lagi saat ini merupakan masa rezim reformasi yang notabene membuka seluas-luasnya terhadap kebebasan dalam mengeluarkan pendapat di muka umum. Namun justru sebaliknya, kebebasan itu dibungkam oleh rezim dengan model gaya baru yang mungkin saja serupa dengan model kekuasaan yang otoriter, sebab otoriter merupakan bentuk kekuasaan yang terkonsentrasi pada suatu pemimpin, tanpa melihat derajat kebebasan individu. Karena itu, tidak salah kemudian jika reformasi saat ini dikabarkan telah berada dalam “kegelapan” sebab reformasi seyogyanya hadir untuk melegitimasi aktualisasi dalam “kebebasan” justru berbalik arah, jalan pulang menuju otoriter.
Wallahu A’lam Bisshawab
*) Penulis merupakan Sekbitab. Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Makassar Timur