Oleh : Safrin Salam, S.H., M.H.*
Persoalan kepemilikan tanah negara secara konseptual dan praktik patut diuji secara hukum olehkarena berdasarkan ketentuan hukum yang mengatur tanah negara di Indonesia masih menggunakan perspektif hukum hindia belanda, sebut saja Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan tanah-tanah negara. PP No. 8 Tahun 1953 yang mengatur tanah negara diberlakukan sebelum hukum tanah nasional dilakukan unifikasi hukum melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan-Peraturan Dasar Pokok agraria. Secara konseptual peristilahan Tanah Negara didalam PP Nomor 8 Tahun 1953 diatur bahwa tanah negara ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara (Pasal 1a). Istilah tanah yang dikuasai penuh oleh negara diartikan bahwa semua hak atas tanah yang tidak dilekati hak maka secara buatan menurut peraturan ini dikuasai oleh Negara. Definisi tanah negara yang dibingkai dengan terjemahan tanah yang dikuasai penuh oleh negara menunjukan hubungan hukum antara negara dengan tanah. Negara sebagai Pemilik tanah dan tanah sebagai objek dari Pemilik tanah yang dimasukkan dalam Doktrin Domein. Doktrin domein yang dipakai dalam Tanah Negara secara konseptual terbagi menjadi 2 (jenis) yakni (a) tanah domein yang bebas (tidak ada hak-hak bumiputera di atasnya), (b) tanah domein yang tidak bebas (ada hak-hak bumiputera yang diakui Pemerintah Hindia Belanda. Pembagian ini menunjukan bahwa tanah negara sepanjang diakui dan/atau tidak diakui oleh negara menjadi milik negara.
Konsepsi demikian makin dipertegas dengan belum adanya kebijakan pengelolaan tanah negara yakni a) perbedaan persepsi tentang tanah negara karena ketentuan tanah negara (PP Nomor 8 Tahun 1953) dikeluarkan sebelum UUPA; (b) perbedaan persepsi antara tanah negara dan hutan negara; (c) tanah ulayat yang kerap dianggap sebagai tanah negara.
Hal tersebut mengakibatkan penetapan dan pengadministrasian tanah negara menjadi makin sulit dilakukan. Dalam praktik, pengadministrasian tanah hak lebih menonjol, sehingga identifikasi dan inventarisasi tanah negara menjadi terhambat. Hasil studi yang dilakukan oleh BAPPENAS menunjukan bahwa terdapat 3 (tiga) pesoalan mendasar seputar tanah negara, yaitu : ketidakjelasan definisi, dasar hukum, batasan hak yang ada dalam tanah negara dan penanggung jawab pengelolaannya. Akibatnya kedepan akan berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan yang menganggu stabilitas sosial ekonomi, keamanan dan kelangsungan pembangunan berkelanjutan, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan khususnya pengaturan tanah ulayat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat.
Jumlah luas areal tanah negara (termasuk hutan) meliputi lebih dari 75 persen dari seluruh areal tanah di Indonesia, maka tentu persoalan konsepsi hukum dan pengaturan kebijakan pengelolaan tanah negara tentu tidak bisa serta merta pedoam hukum hanya berlandaskan pada PP Nomor 8 Tahun 1953. Tanah Negara beserta permasalahan konseptual hukumnya harus segera dibenahi dengan dimasukkannya secara jelas definisi hukum tanah negara, ruang lingkup tanah negara, batasan hak yang ada dalam tanah negara serta penanggungjawab pengelolaannya didalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan yang sementara dibahas oleh DPR RI.
Revisi atas PP Nomor 8 Tahun 1953 yang merupakan produk kolonial belanda harus segera direvisi untuk mengurangi angka konflik pertanahan yang saat ini melanda indonesia. Pengaturan tanah negara sebagai bentuk hak menguasai negara atas tanah di seluruh indonesia sejatinya harus bersandarkan pada semangat Volkgeist (Hukum yang berjiwa bangsa), hukum pertanahan yang mana Negara selalu berpihak pada pemenuhan hak warga negara indonesia sebagaimana amanah Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
*) Penulis adalah Dosen Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton