Oleh : Syarifuddin Jurdi*
Dalam sejarah hidup manusia, selalu ada tiga atau empat blok kekuatan yang saling mendukung, tidak akan sukses salah satunya tanpa ditopang oleh yang lain, tiga kekuatan itu disebutkan oleh Al-Quran “……Qarun, Fir’aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu) (Al-Ankabut 29: 39)”.
Kerjasama antara kekuatan ekonomi (Qarun), penguasa Politik (Fir’aun), intelektual tukang dan stempel (Haman) dan bisa pula ditambahkan dengan Samirin (ahli agama) yang cukup berpengaruh pada zamannya merupakan suatu keniscayaan, keempat aktor ini merupakan satu kesatuan yang utuh. Mereka saling bersinergi dan mendukung untuk mencapai keberhasilan. Siapa saja yang mencoba menghalangi hajat mereka, maka akan dipersulit serta di”habisi” dengan berbagai cara, mulai dari cara yang paling halus, hingga ancaman pembunuhan. Dalam Al-Qur’an “Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi (QS Al-Mu’min [40]: 26)”. Ini jelas bentuk keangkuhan dan kesombongan Fir’aun, tapi yang pasti watak semacam itu ada dan ini hasil dari kerjasama dengan kelompok Haman, Samirin dan Qarun.
Dapatlah kita pahami bahwa sejarah peradaban manusia merupakan replikasi dari peristiwa dan kejadian masa lalu, hanya yang berganti konteks dan aktornya, substansi yang dilakukan pada dasarnya sama. Tokoh agama seperti Samirin dapat ditemukan dalam jumlah yang jamak, mereka merepresentasikan diri dari “agama” yang “ideal” dan keyakinan itu ditransmisi ke masyarakat, sehingga lahirlah kesan “agama” mempercundangi rakyat, agama menjadi alat untuk melakukan penindasan, agama yang berkolaborasi dengan elite politik dan elite ekonomi, agama menjadi sumber legitimasi bagi kekuatan politik dan para pemodal, kadang-kadang dalam hal tertentu agama disertakan untuk ikut dalam peminggiran dan penyingkiran rakyat. Agama dalam tataran ideal harus menjadi sumber nilai dan dasar pijakan dalam setiap tindakan, agama menjadi tuntunan etik/moral bagi siapa saja dalam berbagai pergaulan.
Qarun, Fir’aun dan Haman tak terhitung jumlahnya, kalau kita berkaca pada perebutan kuasa, mulai dari perebutan jabatan Kepala Desa, hingga perebutan kuasa yang lebih tinggi, maka tampaklah wajah-wajah Qarun, Haman, Fir’aun dan Samirin dalam konteks kehidupan masyarakat kontemporer. Mereka selalu menghiasi jagad kehidupan warga, ada yang sangat brutal dalam memperjuangkan kepentingannya, sehingga moral dan etika public tidak lagi diperhatikan, hingga ada yang sangat lembut dan santun, bahkan kelihatan jauh lebih beradab dan bermoral dari begitu banyak elite agama, namun ini hanyalah modus, ya modusnya satu yakni bagaimana memperoleh manfaat yang besar dari setiap langkah dan tindakannya, tanpa memikirkan nasib dan masa depan mereka yang dipengaruhinya. Pada sisi lain, ada kubu Musa yang memperjuangkan keadilan, jumlah mereka tidak lebih banyak dari jumlah mereka yg mampu membangun kolaborasi tadi… pengaruh modernitas dan kehidupan yang makin hedonis turut mempengaruhi relasi antara elite dan rakyat.
Perebutan pengaruh itu berlangsung secara berturut-turut dalam tiga tahun ini, Pada tahun 2018 Pemilukada Serentak diikuti sebanyak 171 daerah, tahun 2019 Pemilu Serentak (Pileg dan Pilpres) dan tahun 2020 kembali Pemilukada Serentak dilaksanakan dengan melibatkan sebanyak 270 daerah, suatu jumlah yang sangat besar. Perebutan pengaruh itu merupakan fase penting dalam perebutan kuasa antar kekuatan, Pemilu bukan hanya sekedar pesta demokrasi, melainkan arena pertarungan dan perebutan pengaruh antar kekuatan, blok kekuatan Fir’aun, Qarun, Haman dan Samirin modern dengan blok kekuatan Musa. Ada dalil, politisi sukses ada politisi yang pandai bermain, dapat membangun aliansi strategis dengan berbagai kelompok.
Perselingkuhan politik antar kekuatan dalam politik kontemporer merupakan suatu keniscayaan. Elite menjadi aktor utama dan rakyat menjadi obyek para pemegang otoritas dan pemegang kuasa, bahkan dalam beberapa kasus, rakyat ketika menyukai elite, mereka mendukung dengan sangat emosional, dan larut dalam konteks perebutan kuasa kaum elite, meski mereka tidak terlalu paham konsekuensi dukungan itu bagi masa depannya.
Wallahu a’lam
*) Penulis adalah komisioner KPU Sulsel dan Akademisi UIN Alauddin Makassar