Oleh: Ermansyah R. Hindi*
Satu dari sekian tokoh yang mengembangkan genre pemikiran filosofis-posmodernisme Perancis adalah Jean-François Lyotard. Ia bersama Derrida, Foucault, dan Deleuze yang sekaligus dianggap tokoh berpengaruh dalam gerakan pemikiran postrukturalis. Minat besarnya pada filsafat dipengaruhi para filsuf besar sebelumnya seperti Nietzsche, Kant dan Marx. Nama terakhir ini menjadi hal yang menarik di Perancis yang ditandai dengan model pemikiran Marxis sekitar dekade 50 dan 60-an. Lyotard dengan lainnya jelas-jelas bukan seorang Marxis, melainkan seorang aneh untuk menjadi ahli fenomenologi yang memaafkan dan tanpa menafikan Marxisme. Entahlah bagaimana tangan dingin Lyotard mampu menganyam dua aliran pemikiran antara fenomenologis dan Marxisme sebagai titik tolak untuk membangun suatu metode khas melampaui pemikiran struktural. Hal itu juga merupakan satu langkah dari titik tolak fenomenologi menuju arah postrukturalisme yang secara esensial langkah itu melika-likukan permasalahan bahasa.
Tidak terlalu jauh dari titik tolak itu, permasalahan bahasa menuju zaman digital diduga bahwa fenomenologi sudah tidak seiring lagi dengan analisis struktural menjadi syarat berlangsungnya pelepasan relasi langsung subyek dengan dunia di luar dirinya. Narasi teks bergumul dan berakhir dalam ketidakpastian makna yang pada akhirnya satu permainan bebas terbentuk. Sebagaiman telah dipahami, bahwa bahasa telah dilepaskan relasinya dengan dunia luar. Sehingga apapun yang terjadi tidak ada lagi hal-hal di luar dirinya. Ketidakhadiran hak istimewa pada makna hingga akhirnya menjebloskan dalam stabilitas maknanya itu sendiri. Lyotard juga percaya pada bahasa yang tidak lagi stabil berhadapan pada sebuah struktur yang bersamaan untuk melepaskan dirinya dari rujukan tertentu. Penyebaran makna ke seluruh arah membuat sebuah perangkap tekstualnya dari representasi kesadaran. Sebagaimana obyek konsumsi, setiap orang akan terperangkap dalam lubang teks dan dalam pemikiran itu sendiri.
Pemikiran yang hanya bertumpu pada homogenitas dan ambiguitas menunjukkan ketercabutan pengetahuan dalam kerangka filsafat metanaratif Lyotard. Hal lainnya juga tidak dapat disangkal, bahwa subyek yang tidak turut campur untuk menstabilkan makna dengan hanya menampilkan pemikiran fenomenologis belaka.
Mengikuti pasangan fenomenologi dan metanaratif, Lyotard telah menemukan titik terang bagi dirinya diantara keterperangkapnya subyek yang berbicara melalui imanensi ruang narasi tekstual. Keterbatasan dirinya justeru lebih memperhatikan permasalahan melebihi kekuatan ilusi karena permainan bebas tanda yang mensolidkannya. Kita lantas menemukan kesulitan untuk memahami ‘Narasi Besar’ (Grand Narrative) sebagai akibat dari kekacauan nalar atau kerapuhan modernitas. Kita seakan-akan menemukan suatu pemikiran baru mengenai narasi-narasi kehidupan di waktu yang lain akan dijalani, luput dari rezim narasi besar yang melegitimasi ilmu pengetahuan. Setelah melepaskan beban struktural sebelumnya, maka tibalah kita pada hubungan yang menandakan kehidupan dan pemikiran kontemporer dengan apa yang disebut posmodernisme yang tidak hanya berhilir-mudik di Perancis, Eropa atau Amerika, tetapi juga di Indonesia. Lebih mujur lagi apabila kita mengetahui, bahwa gagasan modernitas mengucapkan selamat tinggal posmodernisme, sehingga kita hanya menemukan puing-puing dari rasionalitas di tengah sebuah narasi yang lebih kuat dari lainnya dalam kehidupan. Narasi besar mungkin lebih sulit dibayangkan, dimana narasi yang lain dibawahnya bertebaran dimana-mana. Narasi yang satu akan muncul dan lenyap bersamaan narasi lainnya yang mengelilingi di sekitar kita. Ia muncul dari segala arah dan lenyap entah kemana.
Kita tidak menangkap apa makna perbincangan mengenai narasi besar dan seluruh kewaspadaan kita pada posmodernisme. Meskipun kata-kata itu penting, kita seringkali menggerutu tentang istilah narasi besar dan relasi-relasi yang membentuknya. Ataukah kita masih perlu mengajukan kembali pertanyaan mengenai narasi besar. Untuk itu, saya meringkaskan catatan tidak penting; kita kembali pada istilah narasi besar secara terbuka bagi yang lain untuk menyanggah dan bahkan meninggalkannya. Karena saya dan Anda tidak mampu menjelaskan secara rinci, kecuali kesempatan ini hanya dijelaskan secara garis-garis besarnya.
Apa itu narasi besar? Menurut sebagian pendapat ahli, bahwa narasi besar adalah suatu cerita besar dengan segala alur, retakan, celah, dan patahan memiliki legitimasi dalam kehidupan dan pemikiran di bawah rezim universalitas, penyatuan dan totalitas. Begitulah sosok Lyotard untuk melegitimasikan dirinya dengan gagasannya mengenai penolakan narasi besar yang bersifat total, universal dan ambigu dari ilmu pengetahuan dan kebenaran lainnya. Tetapi, tatkala kita mengetahui sesuatu yang dipandang sebagai hal-hal yang menarik dari struktur pemikiran, kita justeru tidak memiliki kemampuan untuk menangkap makna secara gamblang dari narasi yang dibangun. Kita juga melihat perubahan yang beragam ternyata bagaimana menemukan dari suatu permasalahan ke permasalahan lainnya, yang dibicarakan seputar bentuk dan konsep, obyek dan subyek, kata dan benda-benda baru. Karena itulah, narasi besar telah direnggut melalui totalitas bentuk-bentuk rasionalnya sendiri. Kita melihat suatu narasi besar dari rasionalitas yang pada titik terakhir menjadi sesuatu yang tidak masuk akal. Semuanya itu, ia bukanlah inti dari permasalahan yang muncul di tengah kehidupan. Jadi, kita tidak berhasrat untuk membicarakan hal-hal yang membuat pemikiran terjatuh dalam suatu penafsiran tunggal dan perumusan kebenaran yang berlaku secara universal.
Lebih lanjut, perubahan memberi alasan mengapa kita menyebutnya sebagai sebuah kekusutan pikiran. Akibatnya, bentuk rasionalitas yang dipercayai sebagai satu-satunya narasi diantara narasi lainnya tidak memiliki alasan yang sama dalam melihat perubahan yang dapat mengakhiri permasalahan. Kita tidak melihat perubahan, dimana pemikiran kontemporer menghadapi permasalahan seperti penggunaan teknologi yang berpengaruh pada pengetahuan. Syarat dari perubahan zaman tidak lantas menjadi alasan satu-satunya untuk membiarkan diri kita larut dari permasalahan. Ia tidak lebih dari teater kehidupan dimana kita berada dalam pemikiran rasional dari waktu yang sama saja dengan waktu yang lain. Kita juga memikirkan sesuatu sambil tidak menunggu waktu yang tidak sama dengan waktu yang lain membuat gambaran pecah berulang-ulang bersama dengan titik kerapuhan dalam kehadirannnya. Kita pantas menghadapi kenyataan yang akan terjadi dan karena itulah kita berada dalam persimpangan tanpa rujukan nilai.
Di luar diskursus filosofis Barat, perubahan pemikiran menjadi sesuatu yang baru terjadi pada abad ke-20, terutama tema-tema modernitas dan hal-hal yang melampauinya dengan prestasi dari ilmu pengetahuan dan teknologi dengan campur tangan bahasa, teks yang dibentuk sibernetika, pembacaan dan penafsiran atas tulisan dan data pengetahuan yang disimpan. Suatu zaman dimana kita melihat dominasi-legitimasi ilmu pengetahuan sebagai narasi besar, yang menandai keretakan dirinya sendiri secara pelan-pelan setelah dievalusi ulang ternyata tidak mengalami perubahan darinya, kecuali sisi permukaannya.
Dalam urutan waktu kemunculan ilmu pengetahuan dari seseorang yang meringkas bahasa ilmiah, sastra, narasi dan sebagainya tidak dapat memberikan kebenaran tunggal yang diperbincangkan melalui bahasa lisan menjadi sebuah asumsi. Salah satu ciri dari ilmu pengetahuan adalah kemammpuannya untuk melakukan identifikasi yang menurut Lyotard dapat digunakan kategori ucapan yang didefinisikan dalam istilah aturan yang menentukan sifat-sifat dan penggunaannya digunakan dalam ‘permainan bahasa’, seperti sebuah permainan catur ditentukan oleh sejauh mana mereka menggunakan seperangkat aturan dengan memindahkan benda-benda sebagai cara yang tepat (lihat Lyotard, Jean-François, The Posmodern Condition : A Report on Knowledge, Manchester University Press, Oxford Road, Menchester, 2001, hlm. 10). Suatu penggunaan benda-benda yang diidentifikasi melalui ilmu pengetahuan yang digiring dalam permainan bahasa berbeda dengan seseorang yang menyalurkan kebenarannya melalui pemindahan diskursus yang selalu menata ulang dan memperbaiki dirinya. Disinilah permainan bahasa memberikan relasi dengan kebenaran, yaitu oposisi kebenaran terhadap ilmu pengetahuan. Diskursus dan tatanan yang dibentuknya tidak pernah memfinalkan hanya pada satu pengertian dan rujukan dibanding narasi besar yang begitu goyah akibat proses delegitimasi mencerabut akar-akar kepercayaan padanya. Rezim diskursus merupakan celah bagi narasi besar dan permainan bahasa yang berada dibelakangnya, dimana urutan waktu ilmu pengetahuan akan menyatakan “kebenaran telah terungkap atau telah final”. Setiap ilmu pengetahuan menemukan kebenaran, setiap itu pula ketidakpercayaan pada narasi besar melalui suatu permainan bahasa yang keluar dari dirinya sendiri.
Perlukah kita menceritakan bahwa ilmu pengetahuan selalu dibuktikan sebagai salah satu permainan bahasa yang ditemukan dalam asal-usul pengetahuannya sendiri diantara jenis pengetahuan lainnya? Darimana kita memutuskan, bahwa berakhirnya narasi besar berarti proses delegitimasi juga telah berakhir? Siapakah yang bertanggungjawab atas kemungkinan lainnya apabila masih terjadi proses deligitimasi ilmu pengetahuan di abad ini, yaitu manusia digantikan oleh kecerdasan artifisial atau sistem robotik? Dimanakah ilmu pengetahuan dihamparkan apabila tidak tumbuh lagi sebagai sistem yang organik? Kita mengajukan pertanyaan sesuai bertambah panjangnya waktu narasi kebenaran yang satu dengan waktu narasi yang lain bergantung pada sejauh mana penolakan atas dirinya. Begitulah jadinya, mereka menemukan kebenaran atau mentotalisasi pengetahuan ilmiah dengan sesuatu yang rentang kesalahan.
Lain halnya, dalam narasi sosial terdapat kejanggalan dari ilmu pegetahuan modern, sekalipun tidak ada suatu permainan bahasa denotatif didalamnya; ia masih dihantui oleh ketidakmampuan dirinya untuk membebaskan kehidupan dan pemikiran dari satu sistem relasi, seperti hirarki dalam oposisi duaan telah melahirkan kekerasan atas “sang Lain”. Proses delegitimasi ilmu pengetahuan juga beragam dan menyebar dimana-mana, seperti kritik feminisme atas wanita distrukturisasi menjadi “sang Lain” dari pria. Dimana pria dianggap pencipta dan wanita sebagai ciptaan, wanita tidak lebih sebagai bayangan dari pria dalam realitas. Kebenaran ilmiah merujuk pada narasi kesejarahan, titik dimana sisi wanita ditentukan hirarki oposisi duaan. Disitulah narasi tentang pria akan direproduksi dalam sejarah ilmu pengetahuan yang membuatnya berganti dari satu krisis menuju satu krisis legitimasi lainnya. Ilmu pengetahuan sebagai pemegang kebenaran tunggal masih dihadapkan pada hingar-bingarnya dunia luar yang selingi oleh ragam permainan bahasa dengan permainan tanpa aturan. Pembentukan analisis diskursus tentang kaum minoritas dan pinggiran menjadi begitu menarik bagi pengetahuan, karena permainan bahasa akan menghasilkan ketidakhadiran makna lain.
Pengetahuan naratif dan gagasan mengenai narasi besar lainnya memiliki kemiripan totalitas pengetahuan ilmiah, yaitu bahwa kebenaran atau realitas hanya tunggal. Sebagai akibatnya, totalitas ilmu pengetahuan yang menjadi permainan bahasa menundukkan setiap perbedaan dan kotradiksi makna dalam satu sistem dominasi. Sehingga totalitas dari ilmu pengetahuan pada akhirnya akan terperangkap dalam dirinya sendiri disaat ia menyerap begitu saja perbedaan, keterbukaan dan heterogenitas yang menjadi ciri dari seseorang yang mencoba keluar dari bui narasi besar. Dalam suatu masyarakat, totalitas sebagaimana kita ketahui, bukan hanya pemikiran, tetapi juga memuat kecenderungan pada keterpusatan bahasa politik kuasa. Totalitas atas sejarah dan masyarakat dengan ilmu pengetahuan modern. Taruhlah misalnya, ‘peristiwa intoleransi’, konflik antaretnis dan pengucilan terhadap tokoh berpengaruh muncul sebagai akibat cara berpikir secara totaliter. Secara lebih kasar, bahwa totalitas tidak menyenangi perbedaan dan pluralitas dengan menentang keras setiap unsur kekuatan yang bukan dan menyaingi dirinya. Dari alasan tersebut, tidak heran jika narasi yang sering muncul di permukaan akhir-akhir ini adalah narasi politik. Ilmu pengetahuan yang terjatuh dalam totalitas juga menghindari keterlibatan langsung mengenai ketidakadilan dan pemerosotan nilai-nilai kemanusiaan, kecuali struktur permainan akan kebenaran menghilang dalam permainan lainnya.
Berbeda dengan Lyotard dalam membagi suatu permainan bahasa dipengaruhi oleh aturan yang tidak membawa legitimasi dalam diri mereka sendiri. Para pemain dibentuk oleh aturan yang diciptakan di luar dirinya (2001: 10). Dalam proses delegitimasi ilmu pengetahuan, narasi besar berperan untuk mengamati permainan bahasa sebagai subyek diantara permainan memberi obyek perjanjian. Permainan tidak ditentukan sejauh mana ketidakhadiran aturan persis ketidakhadiran legitimasi ilmu pengetahuan. Kemungkinan kecil dari suatu aturan akan mengubah sifat permainan, kecuali kekacauan berlangsung dalam permainan, dimana mereka tidak mampu mendefinisikan perbincangan mengenai siasat dalam suatu permainan. Narasi tidak lebih sebuah penyelewengan di luar kemauan dalam proses legitimasi, kata Lyotard (2001: 30). Sejarah ilmu pengetahuan tidak dapat membangun narasi, kecuali permainan sejati diantara subyek pengetahuan terlepas dari metabahasa umum atau tidak yang penting ditempatkan pada suatu alur berbeda dari asal dimana ia dibentuk. Kita tidak melihat ilmu pengetahuan tanpa metabahasa yang dapat memberikan keragaman bahasa lain agar membuka dirinya dari ruang penerjemahan dan evaluasi (2001: 64). Ilmu pengetahuan tidak harus menjadi agen kebenaran disaat yang pinggiran, partikular dan kontradiksi digambarkan seperti prosedur pilihan pada alat-alat kecantikan, kesehatan atau merek sepatu. Perbedaan sesuai dengan sifat dasarnya yang menunda terus-menerus kesenangan dalam suatu permainan khas. Kita diberitahu bahwa makna dalam sudut pandang filsafat telah direnggut ketransendenannya, kecuali bagian dari suatu permainan kata tanpa rujukan pada realitas, diluar dirinya. Kata-kata bergerak secara bebas dan saling menopang dengan kata-kata lainnya diyakini dikendalikan oleh bukan dirinya. Ketidakhadiran permainan bahasa mengundang kembali kehadiran makna yang menyelimuti ilmu pengetahuan diantara perbedaan akan permainan tanda.
Kita melihat ada dua permainan akan perbedaan: (i) permainan tanpa batas tidak ditentukan oleh fungsi legitimasi narasi-narasi besar, tetapi ambang batas teks dari ilmu pengetahuan tanpa satu permainan bahasa yang berulang-ulang. Ketidakhadiran makna menandai ketidakhadiran legitimasi ilmu pengetahuan. Karena itu, “sang Lain” muncul dalam fungsi pernyataan dan makna yang mewujudkan dirinya sebagai perbedaan celah dan alur permainan. Ketidakstabilan makna tidak berarti sebagai kelenyapan total, tetapi selalu berada dalam perubahan terus menerus terlepas dari kesahihan ilmu pengetahuan. Memang, teks ilmu pengetahuan yang terbukti mengalami proses delegitimasi pun tidak pernah merujuk sesuatu yang stabil, dimana makna masih berubah dalam relasi antara pembaca, pemain atau produser dan keadaan pembacaan atas permainan yang berbeda-bedan; (ii) Permainan bahasa yang menandakan delegitimasi ilmu pengetahuan sebagai akibat dari ketidakhadiran makna didalamnya tidak dibentuk oleh beberapa teks. Dalam wilayah apapun ketegangan akan selalu berbeda tanpa menyandarkan pada rujukan yang yang sama. Karena itu, pengertian mengenai “sang Lain” sebagai ciri khas dari teks dan semua tanda bahasa. Pada satu pihak, sisi kelainan (otherness) merupakan momok yang menggairahkan bagi pengetahuan yang tentu saja permainan bahasa terlibat didalamnya. Kita masih memperhatikan hal-hal berbeda dari yang lain, yaitu narasi kehidupan yang masih melangsungkan titik permainan akan perbedaan dan fragmen-fragmen, pinggiran, heterogenitas, dan partikularitas yang sepatutnya menjadi titik tolak dari pemikiran kita. Di pihak lain, suatu syarat pengetahuan yang bergerak secara terbuka dan bebas muncul setelah totalitas tidak berada dalam kenyataan yang benar-benar nyata. Perubahan yang plural dan berpencar merupakan syarat terciptanya nilai-nilai persaudaraan kebangsaan dan demokrasi. Setiap permainan tanda-tanda dan perbedaan jejak-jejak pengetahuan menunjukkan penolakan atas narasi besar didalamnya akan memperhatikan keterbukaan pada teks, arus perubahan terus-menerus tanpa finalitas, pengetahuan tanpa kebenaran absolut, dan keragaman penafsiran atas realitas baru.
Permainan bebas tanda tidak dapat diukur berdasarkan prosedur ilmu pengetahuan, seperti ditandai oleh pengorbanan, hasrat, kenikmatan, tipu muslihat, pembangkangan, persengkongkolan, dan kesetiaan hanyalah alur cerita akan menyediakan jejak-jejak baru melalui tulisan. Bentuk pengetahuan yang diproses melalui subyek menjadi teks tertulis tidak dapat digantikan dengan narasi yang lain apabila syarat-syarat yang dimiliki telah dikontrol sepenuhnya oleh rasionalitas dominasi dalam kehidupan dan pemikiran. Ada suatu hal menjadi pertanyaan tentang perubahan yang terbalik sebagai pergerakan dari teks tertulis-novel menjadi citra sinematografis yang sama sekali tidak memiliki rujukan pada kebenaran ilmiah. Kita melihat perubahan dalam citra mental tidak semata-mata diambil-alih oleh mesin citra artifisial muncul dan menghilang kembali dalam citranya sendiri. Tetap, ia juga bergerak bersama titik pergerakan warna, volume, dan durasi yang ditopang bahasanya sendiri berganti menjadi suatu kode kecerdasan yang nyata, seperti komputer mengambil-alih kecerdasan otak manusia. Kita mengetahui, bahwa posivitas tidak menampilkan karakter-karekater tertentu pada bentuk-bentuk pengetahuan. Syarat pengetahuan tersebur bersifat a priori menjadi mutlak bagi pembentukan rasionalitas yang pada gilirannya akan keluar dari asal-asul ilmu pengetahuan. Tetapi, posivitas juga tidak menentukan status pengetahuan pada masa-masa tertentu. Permainan bahasa tidak ditentukan oleh posivitas dan posivitas juga tidak mengeluarkan daftar yang memuat apa dari masa sebelumnya telah dibuktikan benar dan telah diasumsikan memiliki status yang diperlukan agar dapat menjeadi pengetahuan. Daftar tentang apa pembuktian lebih lanjut atau tidak, dimana apa-apa yang telah diserap sebagai keyakinan umum dibentuk oleh kekuatan imanjinasi.
Kekuatan dari perubahan yang beragam menunjukkan bagaimana hal itu tidak selalu demikian, yakni hal-hal yang dianggap paling nyata bagi kita selalu dibentuk relasi dari persinggungan masa pemikiran yang rapuh dan rawan. Dari alasan yang sesunggguhnya tidak rasional inilah, sehingga Lyotard mengagumi perubahan besar di tengah sifat dan status pengetahuan yang tidak berubah, kecuali meninggalkan bentuk-bentuk rasionalitas dari zaman modern. Pengujian kebenaran dari ilmu pengetahuan memberi kekuatan khas bagi narasi lainnya atau apa yang ditawarkan bentuk-bentuk rasionalitas seperti narasi-narasi negara kesejahteraan, negara-bangsa, kebebasan dan kriteria kinerja pasar, yaitu ‘menghasilkan semaksimal mungkin dengan biaya sekecil mungkin’ menjadi sulit untuk dipercaya begitu saja.
Berkenaan dengan narasi besar, pemikiran Lyotard nyaris berbalik arah melupakan ilmu pengetahuan yang tidak berkaitan dengan hal-hal yang pernah hidup atau dipaksa hidup. Jika ilmu pengetahuan memiliki tujuan mulia yang ingin dibentuk, maka ia tidak perlu dikaitkan apa yang pernah diperbincangkan atau apa yang perlu diucapkan. Jika itu memang kita menerima suatu diskursus diantara permainan bahasa apalagi dalam narasi besar yang kehilangan legitimasinya sekarang ini. Kecuali jika kita mengatakan, bahwa diskursus yang akan dibentuk sesuai dengan prosedur pilihan keilmiahan dan kriteria eksperimental sebelum kebenaran itu diterima. Pilihan-pilihan apa yang perlu menjadi syarat keilmiahan bagi metanaratif tidak dikaitkan dengan totalitas narasi sejarah, tetapi cukup menjadi ambang batas dari diskursus filosofis dan diskursus ilmiah. Pertanyaan-pertanyaan diajukan pada langkah yang ditempuh oleh Lyotard untuk melegitimasi jenis pengetahuan yang dipandang memiliki prinsip keadilan melalui narasi besar sebagai cara yang sama dalam kebenaran (2001, xxiv). Pilihan-pilihan keilmiahan akan memasuki kelompok tertentu dari narasi besar yang dibiarkan tidak terbentuk secara reguler dalam praktek diskursif dan tidak dapat dipaksa untuk dipisahkan dari pembentukan suatu ilmu pengetahuan, sekalipun mereka tidak bermaksud untuk menghadirkan ilmu pengetahuan tersebut.
Dalam narasi besar, pengetahuan tidak lebih dari penemuan jika telah memenuhi syarat pembuktiannya (demontrasi). Padahal kita melihat, bahwa narasi besar tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan yang ditemukan dalam penguraian naratif maupun refleksi, fiksi, regulasi-regulasi diskursif yang ditangani secara institusional dan kebijakan politik seperti diskursus tentang pendidikan, kesehatan atau pornografi (Foucaldian). Menurut pandangan Lyotard, bahwa pengetahuan mampu bertahan hidup jika ia dipindahkan oleh narasi-narasi yang tidak berada dalam cara yang dibatasi pada fungsi penyampaian. Satu contoh, “Ada makhluk alien di Jakarta” merupakan kalimat yang tidak dapat dibuktikan kesahihannya karena tidak memiliki rujukan yang pasti. Peniadaan kalimatnya tidak ada obyek naratif, kecuali dikatakan lebih benar atau lebih salah daripada bentuk penegasan sebagai cara untuk menghadirkan fungsi penyampaian (enunciative). Mereka tidak hadir dari apa yang didengar itu pula yang dibicarakan (2001: 21). Lantas, mengapa kita harus menyimpulkan, bahwa pernyataan benar dan salah muncul sebagai pernyataan dari hal-hal yang tidak memiliki rujukan apa-apa. Meskipun seseorang memiliki satu alasan lebih ilmiah untuk membentuk eksistensi sebagai cara bagaimana menggantung diri padanya tanpa proposisi yang tidak memiliki rujukan. Lebih lanjut, pengetahuan bukan apa-apa apabila tidak dapat diucapkan seseorang dalam satu atau beberapa praktek diskursus dan ia tiba-tiba diurutkan dalam proses spesifikasi oleh kenyataan tertentu. Wilayah narasi besar dapat dipertemukan dengan praktek diskursus oleh obyek-obyek yang berbeda, tergantung apakah keduanya memerlukan status pengetahuan ilmiah atau tidak.
*) Penulis adalah Sekretaris PD Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto