Beranda Mimbar Ide RUU P-KS, Layakkah untuk Disahkan?

RUU P-KS, Layakkah untuk Disahkan?

0
M. Aris Munandar

RUU P-KS, Layakkah untuk Disahkan?

Oleh : M. Aris Munandar, SH*

Pada prinsipnya, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) diusulkan sebagai salah satu upaya untuk memberantas fenomena yang saban hari ditemui dalam kehidupan sosial yakni terkait kekerasan seksual. Perlu kita garis bawahi terlebih dahulu, dalam hal membahas kekerasan seksual secara komprehensif terdapat aspek penting yang harus diperhatikan yaitu pengertian dari kekerasan seksual itu sendiri. Untuk menguraikan hal tersebut, kita dapat merujuk pada pengertian kekerasan seksual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Yang dimaksud dengan “kekerasan” dalam KBBI adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain atau bersifat paksaan. Sedangkan yang dimaksud dengan “seksual” dalam KBBI adalah berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.

Secara letterlijk hukum pidana, istilah kekerasan dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Namun, kekerasan dalam KUHP tersebut hanya berorientasi pada aspek kejahatan yang bersifat umum seperti penyertaan dalam tindak pidana, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegeraan, kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan terhadap penguasa umum, kejahatan terhadap kesusilaan (dalam hal ini kekerasan tersebut dilakukan dengan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahuinya bahwa wanita tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, memaksa orang untuk minum minuman yang memabukkan), serta beberapa kejahatan lainnya yang bersifat umum.

Sedangkan istilah seksual dapat ditemui dibeberapa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, di mana dalam UU ini kekerasan dalam rumah tangga diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kekerasan diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara tersirat tidak menggunakan istilah kekerasan melainkan menggunakan istilah diskriminasi. Secara istilah memang berbeda, namun unsur dari diskriminasi tersebut bersesuaian dengan unsur kekerasan. Sebagaimana dalam Pasal 1 angka 3 UU HAM dimuat bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Sepintas memang terlihat bahwa diskriminasi dalam UU HAM tersebut memuat hal-hal yang sifatnya universal, namun jika kita lihat dalam salah satu unsur pada pengertian diskriminasi tersebut terdapat istilah “pelecehan” yang menyebabkan “pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang hukum, sosial dan seterusnya”. Hal tersebut secara jelas menggambarkan suatu perbuatan yang berorientasi pada adanya kekerasan yang sifatnya dimensional karena mencakup aspek sosial hingga hukum termasuk di dalamnya adalah pelecehan seksual.

Selain beberapa undang-undang di atas, terdapat peraturan lainnya yang mengatur mengenai unsur-unsur kekerasan seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, di mana undang-undang ini menggunakan istilah “ancaman kekerasan”. Kemudian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia yang menggunakan istilah “pelanggaran hak asasi manusia”.

Setelah menguraikan beberapa peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan kekerasan seksual di atas, muncul beberapa pertanyaan yang tentunya berkenaan dengan RUU P-KS yang akhir-akhir ini menjadi perdebatan pada kalangan akademisi dan organisasi-organisasi mahasiswa. Adapun pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diuraika dengan disertai beberapa jawaban/komentar, antara lain:

1) Bila RUU P-KS tidak disahkan, adakah undang-undang lain yang bisa menggantikan?
Tanggapan:
Peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait kekerasan secara umum (hukum publik) maupun kekerasan yang sifatnya khusus (hukum khusus) telah ada sejak dahulu. Bisa dilihat dalam uraian beberap ketentuan di atas, bahwa pengaturan terkait kekerasan seksual telah termaktub di dalam KUHP yang merupakan undang-undang terlama yang pernah ada di Indonesia dan beberap peraturan perundang-undangan lainnya yang secara gamblang mengatur mengenai pemeberantasan tindak pidana kekerasan seksual baik terhadap anak maupun perempuan. Khusus untuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki masih sangat minim pengaturannya, hal ini hanya terdapat dalam UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Pasal 8 huruf a yang menyatakan bahwa kekerasan sesksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, meskipun pasal tersebut abstrak namun tidak ada batasan bahwa yang melakukan kekerasan seksual harus laki-laki sehingga pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa kekerasan seksual dapat dilakukan baik laki-laki terhadap perempuan maupun perempuan terhadap laki-laki.

2) Maraknya kasus perkosaan akhir-akhir ini, apakah menandakan urgensi untuk segera RUU P-KS?
Tanggapan:
Pada prinsipnya, tindakan perkosaan merupakan suatu perbuatan yang sangat tercela dan tidak sesuai dengan norma-norma sosial. Perbuatan perkosaan juga merupakan salah bentuk kejahatan yang telah diatur sedemikian rupa diberbagai peraturan perundang-undangan sebagai standar etis sosial. Sehingga setiap perbuatan perkosaan patut dicela oleh masyarakat.

Perlu diketahui, bahwa secara umum terjadinya kasus perkosaan bukanlah serta merta mengenai persoalan pengaturan hukumnya, melainkan perlu dilihat dari berbagai macam aspek. Secara teori, seorang ahli hukum bernama Soerjono Soekanto telah menguraikan bahwa dalam hal penegakan hukum terdapat 5 (lima) faktor yang dapat mempengaruhinya, antara lain:
a. Undang-undang itu sendiri (produk hukum);
b. Penegak hukumnya (aparat penegak hukum);
c. Sarana dan prasarana penegakan hukum;
d. Lingkungan sosial; dan
e. Kebudayaan masyarakatnya.
Oleh karena itu, dalam hal menilik kasus perkosaan yang kian marak terjadi akhir-akhir ini bukan hanya berkenaan dengan aspek hukum, tetapi juga memuat kelima faktor penegakan hukum di atas. Tetapi lebih daripada itu, yang penting dipahami bahwa perbuatan perkosaan ini merupakan benalu sosial yang perlu untuk diberantas keberadaannya karena dapat mempengaruhi harkat dan martabat setiap orang sebagai pemangku hak dan kewajiban.

3) Bukankah kejahatan seksual (perzinaan) telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP)?
Tanggapan:
Perzinaan merupakan suatu perbuatan tercela baik secara hukum agama, kebudayaan maupun hukum positif Indonesia. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, pengaturan terkait perzinaan terdapat pada KUHP yang merupakan undang-undangan produk peninggalan kolonial Belanda. Di dalam KUHP perzinaan didefinisikan sebagai perbuatan perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan atas dasar suka sama suka yang salah satu atau keduanya telah terikat dengan ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dengan laki-laki atau perempuan lain. Sehingga dapat diketahui bahwa KUHP mengatur hukuman bagi pelaku perzinaan yang hanya dilakukan oleh orang yang telah memiliki ikatan perkawinan. Sedangkan pelaku perzinaan yang keduanya belum ada ikatan perkawinan dengan pihak lain tidak dapat dihukum. Artinya KUHP belum mampu mengakomodir hukuman perzinaan yang dipahami oleh agama maupun budaya masyarakat.

4) Apa perbedaan kekerasan seksual dengan kejahatan seksual?
Tanggapan:
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa baik kekerasan seksual maupun kejahatan seksual adalah suatu kesalahan (schuld) dalam hukum pidana materiil. Meskipun ada yang membedakan bahwa kekerasan asasnya adalah tanpa paksaan sehingga seksual yang haram bila dilakukan atas dasar suka sama suka bukanlah suatu kejahatan dan kejahatan seksual adalah perbuatan yang melanggar norma dalam masyarakat, melanggar moralitas, dan nilai-nilai agama.

Tetapi, menurut penulis baik kekerasan seksual maupun kejahatan seksual berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah dijabarkan sebelumnya merupakan perbuatan yang sama-sama tercela dan melanggar standar etis masyarakat. Kekerasan seksual dalam pengaturannya telah mendoktrin kita bahwa hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga sehingga secara sempit kadang kita menganggap bahwa perbuatan ini ada dasar suka sama suka. Padahl jika dilihat dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti UU Perlindungan Anak kekerasan seksual ini juga merupakan suatu perbuatan yang tidak dilandasi oleh suka sama suka dan bahkan sangat dapat dicela oleh masyarakat karena merupakan bagian dari kesalahan. Sedangkan kejahatan seksual merupakan istilah yang sangat jarang digunakan dalam hukum pidana sehingga kita kadang membedakan keduanya.

Oleh karena itu menurut pendapat penulis, keduanya tidak memiliki perbedaan yang signifikan karena persoalan utamanya adalah hanya pada penggunaan istilah dan pendefinisiannya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi dalam mewujudkan reformasi hukum pidana di Indonesia memungkinkan istilah keduanya untuk digunakan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada penghapusan kekerasan seksual.

5) Kenapa RUU P-KS harus ditolak?
Tanggapan:
Untuk melakukan penolakan terhadap RUU P-KS ini, perlu dikaji terlebih dahulu aspek-aspek utama yang menjadi kerancuannya, yaitu:
a. Landasan Filosofis RUU P-KS
Jika dilihat pada Konsideran Menimbang draft RUU P-KS dikatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian dimuat juga bahwa setiap bentuk kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapuskan.
b. Landasan Yuridis RUU P-KS
Perlu diperhatikan pendefinisian kekerasan seksual dalam RUU P-KS. Definisi kekerasan seksual sebagaimana dalam Pasal 1 angka 1 RUU P-KS dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan seksual yaitu setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau
dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Berdasarkan uraian pasal tersebut, maka terlihat jelas bahwa kekerasan seksual di sini hanya diartikan sebagai suatu hal yang berkenaan dengan persetujuan dari korban bukan tentang sah atau tidaknya perbuatan tersebut. Dari sisi agama tidak disinggung sedikitpun, hanya hal-hal yang berkenaan dengan ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

c. Landasan Sosiologis RUU-PKS

Pasal 2 RUU P-KS memuat beberapa asas yang dijadikan rujukan pembentukan undang-undang tersebut di antaranya asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-diksriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Dalam pasal tersebut tidak sama sekali dimuat terkait asas Pancasila, agama dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, meskipun hal demikian dimuat pada landasan filosofis RUU P-KS.

Sedangkan dalam Pasal 3 RUU P-KS dimuat tujuan pembentukan undang-undang tersebut yaitu mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, menindak pelaku, dan mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual. Jika dilihat dari tujuannya, memang sepintas sangat mulia. Tapi jika dilihat dari segi penjabaran mengenai tindak pidana pelecehan seksual dalam RUU P-KS tersebut dikatakan bahwa pelecehan seksual merupakan masih delik aduan jika pelecehan tersebut dilakuakn terhadap orang dewasa. Padahal pelecehan seksual harusnya telah masuk pada rana hukum publik jika dilakukan di depan umum atau disaksikan oleh masyarakat. Jika tetap dikatakan sebagai delik aduan, maka ini memungkinkan korban pelecehan yang tidak memiliki pemahaman hukum dapat diintimidasi.

Tibalah kita pada aspek utama dalam membahas RUU P-KS, yakni tentang layak atau tidak layaknya RUU P-KS untuk disahkan. Untuk mengetahui layak atau tidaknya RUU P-KS disahkan, dapat diuji dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahwa terdapat asas dalam pembentukan peraturan perundangundangan yang harus diperhatikan pada saat membuat suatu produk hukum, di antaranya: a) Asas Kejelasan Tujuan, asas ini menjelaskan tentang setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memiliki tujuan yang jelas yang hendak dicapai; b) Asas dapat Dilaksanakan, asas ini menjelaskan tentang setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis; c) Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan, asas ini menjelaskan tentang setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; d) Asas Pengayoman, asas ini menjelaskan tentang setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat; e) Asas Kemanusiaan, asas ini menjelaskan tentang setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional; f) Asas Bhinneka Tunggal Ika, asas ini menjelaskan tentang materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan f) Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum, asas ini menjelaskan tentang setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

Berdasarkan uraian beberapa asas pembentukan peraturan perundang-undangan di atas, jika dikaitkan dengan RUU P-KS, maka terdapat beberapa asas yang menurut penulis tidak koheren dengan RUU tersebut. Asas yang menurut penulis tidak sesuai ialah asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa RUU P-KS tidak secara jelas menjadi Pancasila dan agama sebagai landasan atau asas dari RUU P-KS tersebut. Selain itu, asas lain yang tidak koheren dengan RUU P-KS ialah terkait asas ketertiban dan kepastian hukum. Pada prinsipnya memang dengan adanya RUU P-KS adalah salah satu wujud untuk mencapai kepastian hukum, tetapi belum tentu mencapai ketertiban di dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan definisi kekerasan seksual dalam RUU P-KS yang menguraikan bahwa kekerasan seksual dimaksud hanya yang bertendensi antara setuju dengan tidak setuju. Padahal kekerasan seksual bukan hanya berkenaan dengan setuju atau tidak setujunya seseorang, melainkan juga berkenaan dengan aspek norma agama yang merupakan landasan dalam mencela segala tindakan kekerasan seksual. Dan yang terakhir menurut hemat penulis, asas yang tidak bersesuaian dengan RUU P-KS ialah terkait asas pengayoman. Jika dilihat dalam RUU P-KS mengenai penjelasan pelecehan seksual, maka dapat ditemui bahwa pelecehan seksual merupakan delik aduan. Hal ini tentunya tidak akan menjadi pengayoman masyarakat jika delik tersebut hanya dijadikan delik aduan, karena jika pelecehan dilakukan di depan umum dan disaksikan oleh orang lain sudah sepantasnya pelecehan tersebut menjadi delik umum. Selain itu, dengan menjadikan pelecehan seksual sebagai delik aduan maka akan mempersulit masyarakat yang tidak paham dengan hukum untuk melaporkan kejadian yang menimpanya.

Oleh karena itu, menurut penulis RUU P-KS sebagai salah satu proposal perlindungan masyarakat harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum disahkan. Hal-hal yang perlu diperbaiki adalah terkait asas dan tujuan RUU P-KS. Serta pengharmonisasian antara RUU P-KS dengan undang-undang yang masih memiliki korelasi, keadaan sosial, serta aspek-aspek yang sifatnya prinsipiel harus lebih diperjelas untuk dimuat dalam RUU tersebut.

Hukum adalah untuk manusia bukan manusia untuk hukum, sehingga jika hukum telah lalai dalam mengatur hal-hal yang prinsipiel dalam kehidupan sosial, maka dalam pengimplementasiannya akan pula mengalami suatu disorientasi. Sebagaimana ungkapan seorang sastrawan bernama Pramoedya Ananta Toer, bahwa: “Seorang pemuda haruslah adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Ungkapan tersebut mewakili pikiran seorang badan legislasi yang berwenang merencanakan dan menyusun peraturan perundang-undangan yang sudah semestinya memuat keadilan universal dan proporsional untuk kemaslahatan sosial tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.

*) penulis adalah Sekretaris Jenderal KAMMI Komisariat Sosial Humaniora Universitas Hasanuddin Periode 2018/2019

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT