Beranda Mimbar Ide Grasi: Hak Prerogatif ataukah Hak Konstitusional Presiden

Grasi: Hak Prerogatif ataukah Hak Konstitusional Presiden

0
istana negara Republik indonesia

Oleh : Ahmad Yani*

Belakangan ini, berbagai media dan kalangan ramai menyayangkan keputusan presiden tentang pemberian kepada Neil Bantleman, terpidana kasus pelecehan seksual siswa Jakarta International School (sekarang Jakarta Intercultural School/JIS). Melalui Keppres No. 13/G Tahun 2019 tertanggal 19 Juni 2019, Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada Neil Bantleman berupa pengurangan pidana sehingga Neil Bantleman dinyatakan bebas. Pemberian grasi tersebut, konon katanya didasarkan atas pertimbangan kemanusian sehingga presiden sebagai kepala negara (head of state) melalui kebijaksanaannyamengeluarkan keputusan tersebut.

Mengenai hak presiden dalam memberikan grasi, beberapa kalangan dan yurispredensi di Indonesia masih belum bisa beranjak dari doktrin lama yang menilai pemberian grasi merupakan hak prerogatif presiden sebagai head of state. Pemahaman ini berimplikasi terhadap belum tersedianya pertanggungjawaban hukum bagi presiden ketika ada subjek hukum yang dirugikan dengan diterbitkannya keputusan tersebut. Padahal ada asas dalam hukum tata pemerintahan bahwa, “tiada kewenangan/ kekuasaan tanpa pertanggungjawaban”.

Memaknai hak prerogatif dalam kekuasaan presiden tidak lain hanyalah kewenangan residu (sisa) atau dengan kata lainkewenangandiskresi yang pada kurung waktu tertentu dianggap legal. Menurut A.V. Dicey, hakprerogatif merupakan nama bagi sebagian kewenangan asli rajayang tersisa, dan dengan demikian menjadi nama residu kekuasaanbebas yang pada saat kapanpun tetap ada di tangan raja, apakahkekuasaan tersebut dalam kenyataannya dijalankan oleh raja atau oleh menteri-menterinya, (baca Grasi sebagai Beschikking).Dalam pelaksanaanya, hak prerogatif presiden di Indonesia kerap dihubungkan dengan berbagai kekuasaan presiden seperti misalnya pemberian grasi sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”.

Padahal hak prerogatif pada prinsipnya tidaklah diatur dalam peraturan tertulis, sebabia merupakan bagian dari kewenangan residu/ kewenangan diskresi (freis ermessen; beleid) dari kewenangan yang telah diatur dalam konstitusi. Misalnya Bagir Manan menyebutkan bahwa hak prerogatif akan hilang ketika telah diatur dalam konstitusi, (Grasi sebagai Beschikking). Maka dari itu penamaan hak proregatif terhadap kekuasaan pemberian grasi oleh presiden yang telah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 [vide Pasal 14 ayat (1)] tidaklah tepat, sehingga kekuasan pemberian grasi oleh presiden di Indonesia—karena telah dimuat dalam konstitusi—merupakan hak konstitusional yang seharusnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum berdasarkan asas “tiada kewenangan/ kekuasaan tanpa pertanggungjawaban”.

Karena pemberian grasi sebagai hak konstitusional presiden —tanpa membedakan kedudukan presiden sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan—, maka konstruksi pemberian grasi di Indonesia yang harus melalui pertimbangan Mahkamah Agung, bertujuan untuk mewujudkan prinsip “cheks and balances” dalam sistem ketatanegaraan, di samping itu menurut penulis untuk mengurangi tindakan penyalahgunaan kewenangan (detournementde pouvier) maupun tindakan sewenang-wenang (willikeur) presiden dalam menggunakan atribusi kekuasaan yang ‘maha luas’ ini. Namun faktanya, beberapa riset terakhir menyebutkan bahwa pertimbangan Mahkamah Agung dalam pemberian grasi tidaklah selalu diperhatikan atau bahkan dikesempingkan oleh presiden. Dalam hal ini, memang harus disadari bahwa amanat konstitusi Pasal 14 ayat (1) dan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menurut penulis belum bisa meninggalkan doktrin lama mengenai hak prerogatif, sehingga tidak ada satupun klausa yang mewajibkan presiden untuk memperhatikan dengan cermat pertimbangan MA.

Hal ini menjadi keprihatinan bersama, meskipun kekuasaan pemberian grasi telah bertransformasi ke dalam UUD NRI Tahun 1945 sehingga merupakan hak konstitusional, namun presiden terkadang mengesampingkan pertimbangan MA dengan dalih pertimbangan kemamusiandan kebijaksanaan presiden sebagai “heaad of statae”, dan dasar inipun juga mengandung mega-multitafsir, tergantung subjek mana yang menafsirkan. Lebih mirisnya lagi, beberapa gugatan yang pernah diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap beberapa surat keputusan pemberian grasi, misalnya pada tahun 2012 Register Perkara Nomor: 92/G/2012/PTUN-JKT.,yang diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Anti Narkotika (DPP Granat) melalui kuasa hukumnya Yusril Ihza Mahendra dkk., terhadap pemberian grasi kepadaSchapelle Leigh Corby yang tertangkap membawa obat terlarangdi dalam tasnya yaitu berupa ganja dengan berat 4,2 Kilogram., namun PTUN menilai bahwa hal tersebut bukan merupakan objek sengkata PTUN. Padahal secara teoritis bahwa keputusan presiden tentang pemberian grasi merupakan keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara (presiden sebagai kepala pemerintahan), tertulis, dan bersifat konkret, individual dan final, serta mengakibatkan akibat hukum, sehingga menyerupai keputusan tata usaha negara (KTUN) yang pada umumnya menjadi objek sengketa PTUN, (baca Grasi sebagai Beschikking).

Karena masih kuatnya doktrin hak prerogatif terhadap penggunaan kekuasaan pemberian grasi di Indonesia, sampai saat ini belum ada mekanisme pertanggungjawaban hukun terhadap penggunaan kekuasaan ini, (baca Grasi sebagai Beschikking). Tentu hal ini sangat mencederai asas dalam hukum tata pemerintahan bahwa, “tiada kewenangan/ kekuasaan tanpa pertanggungjawaban(geen bevoegdheid zonder verant woordelijkheid)”.

Oleh karena itu, penulis masih menaruh harapan besar bahwa penggunaan grasi di Indonesia masih bisa dipertanggungjawabkan secara hukum melalui penerapan konsep‘liability’( tanggung gugat kepada negara/ pemerintah)baik secara secara “faute de personalle” (kesalahan pribadi) melalui gugatan perdata yang diajukan di peradilan umumatas tindakan pemerintah yang melawan hukum (onrechtmatigheidoverheidsdaad)— karena kekeliruan mempertimbangkan pemberian grasi yang berdampak merugikanmasyarakat luas — biasanya didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata; atau secara “faute de service” (kesalahan jabatan) melalui gugutan di PTUN dengan konsekuensi PTUN wajib memiliki konsistensi dalam menangani objek sengkata KTUN termasuk KTUN tentang Pemberian grasi. Di samping itu, pertanggungjawaban terhadap kekuasan yang ‘maha luas’ ini juga masih bisa ditempuh dengan menerapkan konsep pertanggungjawaban ‘rensponsibility’ (pertanggungjwaban presiden kepada parlemen secara politis), berupa impeachment/ pemakzulan presiden terhadap berbagai kebijakan yang mencederai kepentingan umum.

*) Penulis adalah Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT