Oleh : Fajlurrahman Jurdi*
Seringkali kita menghadapi manusia bergerak tanpa “kesadaran”, meskipun kita tak mengerti pada situasi mana “ketaksadaran” itu muncul. Ada satu situasi yang gampang sekali mendegradasi kesadaran manusia, yakni saat manusia berkumpul dalam bentuk kerumunan. jenis berkumpul seperti ini dapat kita lihat pada kebanyakan aksi demontrasi dan aksi protes di jalanan, meskipun memang tidak selalu demikian.
Salah satu kelemahan “massa” adalah gampang tersulut emosi, mudah terhasut dan mereka bergerak tidak dalam “kesadaran individualnya”, tetapi bergerak dalam “kesadaran massa”. Tesis ini misalnya diulang oleh Ellias Canneti dalam Crowds and Power. Bahwa saat individu melebur menjadi massa, ia mengalami situasi “kekosongan” individu, dan situasi ini sangat berperan saat ia memproduksi tindakan. Maka setiap “tindakan massa” tak dapat ditautkan lagi dengan karakter dan identitas individualnya, sebab saat itu sudah tak ada lagi individu.
Karena tak ada individu, maka sebagai massa, manusia kehilangan “tanggungjawab”, sementara kita menyadari, bahwa tanggungjawab adalah benteng terakhir yang menahan tindakan manusia agar menjauh dari kekerasan dan nir-adab. Maka jika ada individu yang melakukan tindakan kekerasan,baik dalam situasi ia sebagai individu maupun sebagai massa, maka ia pasti tak memiliki “tanggungjawab”. Karena dengan tanggungjawab ini pula, manusia dapat diberi hukuman atas perbuatannya, agar dia tau dan bisa belajar atas kesalahannya, dan bisa menjadi pelajaran bagi yang lain agar tidak mengulagi perbuatan yang sama.
Tetapi bagi mereka yang kehilangan tanggungjawab, maka tidak penting baginya tata nilai dan tata sosial, tidak penting pula pranata hukum. Dan massa adalah subyek yang gampang kehilangan tanggungjawab itu, sehingga ia tak peduli pada rule, tata nilai dan kolektivitas. Massa tak sempat berpikir tentang “akibat” dan “tanggungjawab”, karena ia terseret arus. Manusia tercerabut dari Identitas individualnya dan gagap menghadapi jalinan subyek dalam bentuk kerumunan. Itulah sebabnya aksi massa semacam demontrasi gampang disulut emosi dan kemarahan, karena sang individu kehilangan tanggungjawab.
Emosi dan kemarahan yang memperlihatkan betapa massa itu kehilangan tanggungjawab adalah kejadian yang hari-hari ini menimpa kita. Papua membara, fasilitas publik dibakar, dan pekikan kemarahan menggema. Aparat tak mampu mengendalikan, sementara mereka tak punya “lawan”, selain sedang menghadapi dirinya sendiri. Kasus seperti ini seringkali terjadi diberbagai belahan dunia lainnya, dimana massa gampang marah dan terbakar emosi, lalu menghancurkan apa saja yang mereka anggap menjadi obyek yang layak untuk dihancurkan.
Wallahu a’lam bishowab
Makassar, 21 Agustus 2019
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin